Beberapa minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Harry dan Selena. Akad nikah diselenggarakan di gedung Alexan Group milik ayahnya, Aiden. Dan resepsi akan diselenggarakan pada malam harinya bersamaan dengan William dan Ella.
Aiden dan Haira benar-benar menjaga ketat Harry malam tadi. Mereka mengurung Harry di kamar agar ia tidak lupa lagi hari pernikahannya. Mereka juga sampai menyuruh pengawal menjaga setiap pintu rumah itu agar Harry tidak keluar.
Pernikahan pun segera dimulai. Pernikahan kali ini penuh drama karena Harry harus latihan terus agar pada saat ijab qobul dilakukan, ia tidak salah menyebut nama.
Hingga pada akhirnya para saksi dan tamu mengucapkan kata "SAH" sebagai pertanda bahwa pernikahan tersebut telah sah di mata agama dan hukum.
Aiden dan Haira mengucapkan syukur atas lancarnya pernikahan Harry dan Selena.
Pada malam harinya, resepsi pernikahan pun dilakukan. Kedua pasang pengantin yang sebenarnya tertukar itu duduk di pelaminan bak raja dan ratu. Semua rekan bisnis Aiden dan Haira juga si kembar turut hadir dalam pernikahan megah malam itu. Teman-teman Selena juga datang. Mereka terdiri dari anak-anak pejabat, artis, hingga pengusaha kaya raya.
Namun lain halnya dengan Ella. Ia tak kedatangan seorang teman pun karena ia tidak punya teman akibat dirinya yang punya sifat kejujuran yang tinggi.
Kebanyakan tamu berbisik tentangnya. Bisikan itu terdiri atas hinaan dan perbandingan antara dirinya dan Selena yang high class.
"Lihatlah, bagaimana bisa wanita miskin begitu menjadi istri seorang William Alexander? Ibarat bumi dan langit. Bagai pangeran dan Cinderella saat masih jadi upik abu." Memandang sinis.
"Benar! Aku dengar William dijodohkan dengan wanita itu karena kasihan pada wanita yatim piatu sepertinya." Memandang rendah.
"Wah, mujur sekali nasibnya. Aku juga mau hidup miskin jika jodohku sultan begitu. Sudah kaya, tampan, CEO pula." Memandang dengan kagum.
"Lihatlah perbedaan dirinya dengan Selena anak pengusaha sukses. Sangat jauh sekali. Bagai majikan dan pembantu. Aduh, aku iri sekali padanya." Memandang dengan sedih.
"Selena, kenapa kau diam saja? Apa kau tidak bahagia?" bisik Harry yang sejak tadi memerhatikan raut wajah Selena.
"Ini perjodohan, bukan keinginanku. Bagaimana aku akan bahagia?" tersenyum getir.
"Aku tahu. Tapi, berbohonglah untuk malam ini. Demi kedua orang tua kita. Tidakkah kau melihat raut kebahagiaan di wajah mereka?" Harry memerhatikan kedua orang tua mereka yang sedang tertawa bahagia dibalik wajah yang semakin keriput. Ia berjanji dalam hati jika ia tidak akan mengecewakan mereka meski sebenarnya ia tidak ingin menikah dengan Selena yang sama sekali tidak ia cintai. Tapi apakah ia akan mengingat janji itu?
Selena juga memerhatikan kedua orang tuanya yang sedang tertawa bersama orang tua Harry. Tampak jelas kebahagiaan di wajah mereka.
"Kau benar, maafkan aku. Aku akan tersenyum demi mereka." Selena menunjukkan senyuman manisnya. Kecantikannya bertambah sempurna.
Sementara itu, William terlihat lesu. Jelas sekali karena ia tidak menyukai keramaian dan pesta seperti ini. Apalagi menjadi pusat perhatian. Belum lagi menyalami semua tamu yang kini membuat kakinya kram karena terlalu lama berdiri. Sedangkan Ella menikmati malam itu karena hiburan di pesta itu adalah dangdut kesukaannya. Jika saja ia tidak menjadi pengantin, pasti ia sudah bernyanyi satu album lagu dangdut dengan suara cemprengnya. Belum lagi ibu mertuanya yang juga menyukai dangdut bisa jadi berduet dengannya menyanyikan lagu keong racun kesukaannya.
*****
Pesta meriah telah usai. Para tamu sudah pulang karena malam yang semakin larut.
Malam ini, Selena akan langsung ikut ke rumah Harry yang letaknya agak jauh dari rumah Aiden dan Haira. Sebelum diboyong kesana, orang tua Selena memberikan nasihat pada putrinya tentang menjadi istri yang berbakti pada suami. Aiden dan Haira juga menasihati Harry meski itu hanya akan menjadi angin lewat bagi Harry yang pelupa.
"Selamat ya, Har." Ella memberikan selamat kepada Harry.
"Terima kasih, El, semoga kau bahagia dengan William." Harry membalas jabat tangan Ella.
"Selamat ya, Sel, semoga kalian bahagia." Ella menjabat tangan Selena dan memeluknya.
"Terima kasih, tapi bisakah kau memanggilku dengan lengkap?"
"Iya, Selena." Ella tersenyum.
"Selamat ya, Harry, Selena." William menjabat tangan Harry kemudian Selena.
"Terima kasih, kau juga," sahut Selena sambil tersenyum.
Mereka pun berpisah malam itu. Pulang ke rumah masing-masing dan memulai kehidupan masing-masing.
Sepanjang perjalanan, Selena masih saja murung.
"Jangan murung, aku berjanji akan mengingat semua yang tidak kau sukai. Aku tidak akan melakukan kesalahan padamu."
Selena sedikit menyunggihkan senyuman. Harry memang bukan tipenya, namun ia bukanlah pria yang buruk.
"Aku tidak suka pembicaraan kita didengar. Bisakah kau mengemudi?" tanya Selena.
"Tentu, Pak Usman, berhenti." Harry menepuk punggung supir pribadinya itu agar berhenti.
Mobil tersebut pun berhenti. Usman segera keluar setelah diperintahkan Harry. Ia pulang dengan mobil pengawal yang ada di belakang mereka. Namun sebelum itu, ia bertanya pada Selena. "Nona, apa Nona yakin?"
"Tentu saja. Kenapa? Mau marah? Sudahlah, pergi sana!" Selena mengisyaratkan dengan tangannya hingga Usman pergi.
Harry mengambil alih kemudi sedangkan Selena tetap berada di belakang.
"Aku juga tidak suka dikawal. Bisakah mereka pulang duluan?"
Harry mengangguk lalu menelepon pengawalnya agar mereka pulang duluan. Harry masih memakai jam tangan yang terhubung dengan alarm tanda bahaya yang ada pada setiap para pengawal.
Setelah para pengawal pulang duluan, Harry pun mulai melajukan mobil. Namun di tengah perjalanan, Selena mendadak haus. Ia meminta Harry untuk berhenti di minimarket dua puluh empat jam untuk membeli minuman.
Saat Harry sedang membelikannya minuman, tiba-tiba saja Selena mendadak ingin buang air kecil. Ia pun menyusul keluar menuju kamar mandi yang ada di sana.
Harry yang sudah selesai berbelanja langsung masuk ke mobil dan mengemudikan mobilnya. Ya, sepertinya ia lupa bahwa Selena tadi bersamanya.
Dengan santai ia pun melajukan mobilnya menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Harry turun sendirian dan itu membuat para pengawal heran. Hingga salah seorang bertanya padanya.
"Tuan, dimana istri anda?"
"Istri? Siapa?" Harry tampak bingung. Ia kembali mengingat-ingat.
"Astagfirullah, Selena!" Harry kembali masuk ke dalam mobil dan menyusul Selena yang masih ada di minimarket. Ia merasa sangat was-was memikirkan keadaan Selena sekarang. Apalagi ponsel Selena terbawa olehnya.
Para pengawal juga mengikutinya agar ia tidak lupa kenapa ia kembali kesana.
Sementara itu, Selena kebingungan melihat mobil Harry sudah tidak ada. "Astaga! Seberapa parah dirimu, Harry!" Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
Dengan wajah bingung dan kesal, Selena menunggu Harry di pos satpam setelah sebelumnya menyuruh Satpam keluar dari posnya dengan ancaman yang beraneka ragam.
Cukup lama Selena menunggu hingga akhirnya ia melihat mobil Harry datang. Dan benar saja, saat sudah sampai, Harry lupa tujuan kedatangannya ke sana. Hampir saja ia masuk ke mobil, namun pengawal yang baru sampai kembali mengingatkannya tentang Selena.
Selena datang dengan rasa kesal yang membuncah. "Apa maksudmu meninggalkanku di sini!" Selena berusaha untuk berbicara dengan suara pelan namun penuh tekanan.
"Maafkan aku. Aku lupa kalau kau tadi bersamaku."
"Menurutmu bagaimana perasaanku saat menunggu di pos satpam? Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku masuk ke dalam pos satpam."
"Iya, maafkan aku. Makanya duduklah di samping ku atau aku akan lupa lagi."
"Aarghhh." Selena menggerutu sambil masuk ke bangku depan mobil itu.
Harry ikut masuk dan mereka pun pulang ke rumah. Waktu yang harusnya hanya setengah jam, menjadi dua jam karena Harry melupakan Selena. Pantas saja tadi Usman menanyakan hal aneh. Ternyata ini penyebabnya. Selena yakin bukan hanya ia yang pernah mengalaminya. Pasti Usman juga sering ditinggal saat bepergian kemana-mana.
Malam ini benar-benar melelahkan. Waktu terbuang sia-sia karena Harry. Dan malam ini benar-benar menjadi malam yang panjang untuk Selena.
Sesampainya di rumah, Harry dan Selena masuk ke dalam rumah besar milik Harry."Mana kamarku?" tanya Selena yang menguap tiada henti karena sangat mengantuk. Sekarang sudah jam satu dini hari ketika mereka menginjakkan kaki di lantai rumah itu.Harry menepuk dahinya."Kenapa? Apa kau lupa mempersiapkan kamar terpisah untuk kita?" Selena membelalakkan matanya. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Iya, aku...lupa."Selena kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Baiklah, kita lewati saja ini. Aku ingin segera tidur. Dimana kamarmu?""Ada di lantai dua." Harry menunjuk ke atas."Baiklah, hoaaam." Selena segera melangkah menapaki anak tangga satu persatu."Tunggu, sebenarnya kau tidak perlu....""Ssssstttt, aku mengantuk." Selena melanjutkan langk
"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran."Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa."Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua.""Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William."Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira."Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah."Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa.""Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya."Kenapa? Apa kau Keb
William kembali ke kamar hotelnya untuk menemui Ella. Sebelum ia pergi, ia sempat melihat bahwa benda yang seperti kepala berambut hitam yang terombang-ambing di tengah laut adalah sebuah wig entah punya siapa.William telah sampai ke kamar hotel. Ia melihat Ella sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap keluar jendela."Ella.""Mandilah, Will, air laut tidak bagus berada lama-lama di tubuhmu." Ella tidak menoleh. Ia masih terus menatap hamparan ombak di lautan."Ella, aku...""Nanti kau bisa sakit jika tidak mengeringkan tubuhmu." Masih tidak menoleh."Aku ingin....""Aku sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Mandilah, sebentar lagi dia akan datang." Kali ini Ella menoleh sambil tersenyum.William pergi ke kamar mandi. Ia terus memikirkan reaksi yang diberikan Ella. Senyuman barusan itu bukanlah senyuma
Selena dan Ella tengah asyik memakan hidangan makan malam di restoran hotel. Sesekali Selena terlihat menggerutu tentang kejadian yang baru saja mereka alami. "Memangnya mereka pikir mereka siapa? Seenaknya saja memanfaatkan tampang kembar mereka.""Kenapa kau kesal sekali?" tanya Ella."Bagaimana aku tidak kesal. Tadi itu aku berdansa dengan William dan rasanya sangat tidak nyaman." Selena memotong daging steak dengan kasar hingga menimbulkan suara. Menumpahkan semua rasa kesalnya pada makanan lezat itu."Apa kau menyukai William?" Ella menunggu reaksi di wajah Selena."Awalnya. Aku kira bersama dengan orang yang sama diamnya seperti aku akan membuat hidupku lebih nyaman. Ternyata membosankan. Baru beberapa menit aku berbincang dengannya rasanya sangat tidak nyaman." Selena mengaduk minumannya lalu menikmatinya dengan sedotan."Tapi William masih menyukaimu."
William dan Ella sudah sampai di kamar mereka. Secepat mungkin William menurunkan Ella karena rasanya tangannya hampir patah."Will, apa kau yakin baik-baik saja?" tanya Ella yang melihat William mengibas-ngibaskan kedua tangannya berkali-kali."Tidak, aku hanya ingin meregangkan ototku saja. Ayo makan bersama, aku sangat lapar." William membuka paper bag lalu menatanya di atas meja dengan piring-piring yang tersedia di dalam kamar itu.Ella masih terngiang-ngiang daging steak dua juta yang belum habis tadi. Ia duduk dengan lesu dan memakan makanannya."Apa tidak enak?" tanya William yang heran melihat reaksi Ella."Enak, tapi aku menyayangkan sisa steak tadi. Harusnya kita bungkus saja." Ella memainkan sendok di atas piringnya."Ketahuilah, Ella, sekarang steak itu sudah ada di tempat sampah atau di perut seseorang. Menyesal pun tidak berguna. Steak sudah pe
Keesokan paginya, Ella yang baru saja bangun dari tidur terkejut kala merasakan ada sesuatu yang berat tengah menekan perutnya. Samar-samar ia melihat dan ternyata itu adalah tangan William. Mata Ella terbelalak. Bukan hanya karena William tengah memeluknya, namun juga karena melihat tubuh bagian atas William polos tanpa baju. Bentuk tubuh atletisnya berhasil membuat Ella tertegun. Sepertinya, karena kepanasan, ia membuka bajunya dan karena tidak nyaman di sofa, ia tidur di ranjang bersama Ella.Ella berusaha menggeser tangan William dari tubuhnya. Itu bukanlah hal sulit baginya karena pada dasarnya tenaganya memang lumayan kuat. Itulah kenapa kemarin gebrakan tangannya di restoran membuat meja restoran itu bergetar.Jika saja William sudah membuka mata, mungkin saat ini Ella akan berpura-pura menjadi wanita lemah.Ella berjalan ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Setelah itu, ia bersantai di balkon kamar hotel ters
Waktu terus berlalu, hari ini adalah jadwal kepulangan William dan lainnya. Mereka merasa sangat puas setelah berlibur di negara itu.Ketika sudah sampai bandara, mereka sudah dijemput oleh supir masing-masing. Tidak ada pengawal sesuai permintaan William. Memang sejak kecil, ia dan Harry tidak mau dikawal seperti raja. Mereka ingin hidup seperti biasa.Sepanjang perjalanan, Ella lebih banyak diam. Ia melihat ke luar jendela mobil sambil memikirkan sesuatu."Apa kau senang?" William membuka suara."Aku senang. Ini kali pertama aku ke negara itu." Menoleh ke arah William dan tersenyum."Kau bisa ke negara manapun yang kau mau. Swiss, Korea, Spanyol. Kemanapun yang kau suka.""Kenapa kau malah mengatakan ini? Apa kau ingin berlibur lagi? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Maksudku, tidak ada CEO yang tidak bekerja kecuali di dalam cerita novel." Ella menatap William
William dan Ella baru saja sampai rumah. Mereka segera membersihkan diri di kamar masing-masing.Pada malam harinya, mereka makan malam bersama. William tampak diam dengan wajah dinginnya. Sesekali Ella melirik berharap William mau membuka pembicaraan. Namun sampai makan malam selesai, William tak juga berbicara.Hingga saat Ella melihat William memakai pakaian yang tidak biasa, ia memberanikan diri untuk bertanya."Mau kemana, Will?""Apa aku harus memberitahumu kemana pun aku pergi?" Menatap dingin."Aku hanya bertanya. Kenapa kau marah?""Karena itu, jangan campuri urusan pribadiku."William pergi meninggalkan Ella yang masih diam mematung. "Apa salahku? Aku kan hanya bertanya?" gumam Ella sambil tertunduk sedih."Siti." Ella menghampiri kepala pelayan di rumah itu."Iya, Nona."