Share

REINCARNATION
REINCARNATION
Penulis: Cr-Azy

Prelude

Pada periode yang lalu, merengkuhmu tak pernah semenakutkan ini. Awan sehitam jelaga, tak pernah menangis sesendu hari ini.

- Wajah tanpa tuan

•••

Seperti ada tangan penuh duri yang meremas jantungnya, rasa nyeri tak berwajah itu mengalir ke seluruh tubuh. Mata cokelat terang kepunyaanya ditutupi gumpalan air. Ia pantang menangis, tetapi bahkan rasa sakit itu lebih parah daripada luka bakar di telapak kakinya.

Ia, Chaiden, tak pernah mengira jika konsekuensinya akan sebesar ini. Dengan memikirkannya saja sudah semenyakitkan ini, lalu bagaimana saat hari itu datang? Saat ia melihat kekasihnya mendapat kutukan akibat dari kesalahan yang mereka lakukan. Kendati demikian, ia masih belum paham bagian mana yang salah dari mencintai? Lalu, ada satu pertanyaan yang senantiasa menjadi pikirnya. Sebetulnya, siapa yang berhak mengatur hati seseorang? Apakah para bangsawan yang memiliki banyak emas? Atau para hakim yang katanya memiliki ilmu seluas lautan? Atau tidak satu pun dari kami?

“Ini lebih dari sekadar melanggar hukum, Mr. Blackton. Kau telah melewati batas, kau melawan semesta.”

Chaiden tercenung, ditatapnya wajah Ratu Odelia. Di balik mata hazel itu, tergambar apik rasa khawatir yang Chaiden yakin ditujukan untuk putrinya, yang tak lain adalah kekasih Chaiden.

Menundukkan kepala dan sekumpulan kata pun keluar dari bibir Chaiden. “Yang Mulia, mencintai bukan sebuah kesalahan.”

“Lalu—“

Chaiden dengan sembrono memotong ucapan Ratu Odelia seraya mendongak. “Jika yang kami perbuat melawan semesta. Lantas, mengapa tidak kalian biarkan kami hidup bersama? Biarkan semesta menjalankan tugasnya. Biar semesta yang memberi kami pelajaran. Bukankah kau bilang hanya semesta yang mampu memberi pengampunan? Lantas mengapa harus kalian yang memberi kami pelajaran?”

Rahang Ratu Odelia mengeras. Ia memandang Chaiden yang terikat di atas kursi. Bara api di telapak kakinya sudah mulai padam, tetapi tidak dengan keberaniannya. Bahkan, tak sedikit pun penyesalan tercipta. Tampaknya Ratu Odelia mulai paham kenapa putrinya begitu mencintai lelaki ini.

Berbagai macam siksaan telah dia dapatkan. Namun, hanya satu yang berhasil menyentuh keberaniannya; fakta mengenai sesuatu yang akan terjadi selanjutnya. Sesuatu yang juga akan menyakiti putrinya begitu dalam. Atas segala yang telah dia lakukan, Ratu Odelia tahu bahwa lelaki ini pantas dicintai. Ratu Odelia akan memberi lelaki ini restu untuk bersama putrinya, jika saja mereka setara.

Tak peduli seberapa besar cinta mereka, mereka hanya bocah polos yang tak tahu apa-apa. Walaupun layak dicintai, Ratu Odelia lebih dari mengerti kalau sesuatu yang harus terjadi akan tetap terjadi.

“Kau lelaki pintar. Tapi tidak cukup pintar untuk menjaga putriku,” tukas Ratu Odelia setelah menghilangkan simpatinya lebih dulu. Hukum tetaplah hukum.

Sementara Chaiden hanya bisa memandang punggung Ratu Odelia yang perlahan menjauh. Berharap perannya sebagai seorang ibu lebih dominan daripada sebagai seorang ratu. Berharap ia dengan berbesar hati akan mencabut hukuman untuk putrinya. Mendengar fakta bahwa kekasihnya akan dalam bahaya, jauh lebih menyakiti Chaiden daripada pecut yang kini dilayangkan ke arahnya.

•••

Oswald Kingdom.

Tak ada yang tidak tahu di mana dan bagaimana Oswald Kingdom berdiri, sejarahnya yang melegenda tak mungkin jika tidak menjadi bahan pembicaraan dari mulut ke mulut. Raja pendirinya—Raja Oswald—yang terkenal bijaksana memang telah tiada berabad-abad lamanya. Namun, Oswald Kingdom tetap berdiri dengan angkuh. Hingga kini berada di bawah kepemimpinan Raja William, dan kemungkinan besar akan dilanjutkan oleh kepemimpinan putrinya, Caroline. Sebab, Caroline merupakan anak semata wayang Raja William.

Akan tetapi, satu-satunya penerus kerajaan justru membuat kesalahan besar. Caroline menjalin kasih dengan Chaiden, seorang Blackton; kasta rendah dalam sistem pemerintahan Oswald Kingdom.

Telah tertulis dalam peraturan mutlak kerajaan, jika seorang Halu tidak diperkenankan jatuh cinta atau menjalin kasih dengan Grissham ataupun Blackton. Seorang Halu hanya ditakdirkan bersama seseorang dari kasta Halu, jatuh cinta pada kasta di bawahnya merupakan dosa besar.

“Kau melakukan kesalahan besar, Putriku.”

Caroline menoleh ke arah datangnya Ratu Odelia. Sosok yang sangat dihormati oleh seluruh penduduk Oswald, serta sosok yang sangat ia cintai. Ibunya, wanita tangguh yang telah menempanya untuk menjadi gadis hebat, tetapi ia malah menjadi gadis tak tahu diri.

“Jatuh cinta bukan kesalahan ataupun sebuah dosa, Yang Mulia,” tukas Caroline dengan sapaan formalnya, wajahnya tanpa ekspresi. Sama seperti Chaiden, tak satu pun ketakutan berhasil menyelinap ke dalam dirinya.

“Ibu menyayangkan keyakinanmu.” Ratu Odelia berjalan mendekati Caroline. Ia berdiri di samping putrinya yang tengah memandang jauh ke luar jendela. Mungkin ke arah semak belukar yang menjulang di antara pagar-pagar, atau ke arah langit berwarna jelaga yang membentang di seluruh kerajaan, atau mungkin tidak satu pun sesuatu di depan sana.

“Cinta tak selalu membawa bahagia, Caroline.” Suara serak Ratu Odelia terdengar, mengalun menyedihkan terbawa angin malam.

Tanpa aba Ratu Odelia mengelus rambut Caroline, menyalurkan kehangatan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ibu. Ada sesuatu yang tertahan di antara kedua bibir sang Ratu yang terbuka, lalu terkatup rapat lagi. Meskipun digumuli rasa penasaran, tetapi Caroline tetap bungkam. Membisu dan tak sedikit pun menampilkan gurat sendu, atau sedikit rasa sesal seperti yang diharapkan sang Ratu.

Caroline mudah merasakan berbagai macam emosi. Namun, tidak dengan penyesalan. Ia jarang menyesal atas apa yang ia putuskan dengan sepenuh hati. Toh, setiap keputusan memiliki risikonya sendiri.

Suara ketukan pintu menginterupsi dari balik kamar. Menyelinap di antara keterdiaman dua orang perempuan dengan ikatan darah itu. Kemudian, menyusul suara terbukanya pintu dan kalimat yang tidak perlu mendapat balas.

“Mohon maaf. Waktunya ritual, Yang Mulia.”

Setelah kepergian pelayan, Ratu Odelia menatap Caroline sendu. “Tak mau memberi Ibu satu pelukan?”

“Yang Mul—“

“Tak perlu bersikap formal saat kita hanya berdua, Carol,” potong Ratu Odelia.

“Untuk apa pelukan, Ibu? Balasan yang aku dapat bukan kematian.” Lagi-lagi Caroline berucap tanpa ekspresi. Ia berhasil tidak merasakan apa pun, atau justru sesuatu menghalanginya untuk menggunakan hatinya.

Ratu Odelia tersenyum. “Kau akan tahu, ada hal yang lebih buruk dari sekadar kematian.”

Caroline menatap sang Ratu, tepat ke arah mata berwarna hazel yang senada dengan miliknya. Detik berikutnya, ia memeluk sang ratu pelan dan begitu dalam. Pada beberapa menit yang ia lalui, ia berharap sang ratu hanyalah seorang ibu dari suami yang tak memiliki kedudukan. Ia benci menjadi bangsawan.

Ratu Odelia melepas pelukan putrinya dengan enggan, menatap mata putrinya dalam-dalam sebelum berucap, “Chaiden menunggumu.”

Mereka berjalan menyusuri koridor demi koridor bersama hening yang menemani. Embusan angin menerbangkan beberapa tirai jendela, menimbulkan bayang sporadis yang entah mengapa terlihat tragis. Tak disangka Caroline memulai pembicaraan lebih dulu. Memecah atmosfer aneh yang sempat tercipta.

“Ibu,” lirih Caroline.

“Aku sangat mencintai Aiden. Aku tau dia merasakan hal yang sama, bahkan mungkin ia memiliki cinta yang lebih besar. Kalaupun tidak sesuai dugaan, aku akan tetap mencintainya. Sebagaimana Tuhan senantiasa mengampuni hamba-hambaNya.”

Ratu Odelia mengukir senyum kecut. “Meskipun Chaiden berbohong atas segala kata cinta yang pernah ia ucap, apa kau akan tetap mencintainya?”

Caroline bergeming. Ia mempercayai Aiden, lebih dari apa pun yang pernah ia percayai sebelumnya. Bahkan jika dengan bersama mereka harus meregang nyawa, Caroline tidak pernah menyesal melakukannya.

Sementara di halaman belakang istana, tempat macam-macam ritual dilakukan kini sudah dipenuhi dengan orang-orang yang membentuk lingkaran. Mereka mengenakan jubah hitam, menutupi sebagian wajahnya dan hanya menampakkan seringai mengerikan. The Circle Of Life, nama tempat itu. Tempat yang tak pernah Caroline jamah sebelumnya, karena memang bagian dari tempat terlarang. Lantai pualamnya memiliki garis melingkar besar, ditambah berbagai macam ukiran yang tampak erotis. Namun, ukiran itu lebih mirip sihir alih-alih ukiran yang dibuat pengrajin. Beberapa di antaranya memiliki garis yang bersinar, sedangkan yang lainnya kusam dan terabaikan.

Ada tujuh macam dosa yang tergambar, tetapi hanya ukiran-ukiran manusia telanjang yang menarik atensinya. Seolah ukiran itu dibuat memang ditujukan untuknya. Sepatu kaca Caroline berhenti tepat di atas ukiran wanita tanpa busana dan pria berkalung anjing yang tengah memeluknya.

Tepat di titik itu pula Chaiden berada. Kakinya berdiri rapuh menunggu kedatangan Caroline. Wajahnya tampak menyedihkan dengan ketampanan yang tak pernah padam. Bekas luka nyaris memenuhi seluruh tubuhnya, tetapi tampaknya lelaki itu tak peduli sama sekali. Ia malah mengkhawatirkan Caroline yang jelas-jelas bersih tanpa luka.

“Kau baik-baik saja?”

“Apa tak ada pertanyaan yang lebih penting?” ketus Caroline. Dia tak habis pikir, bagaimana sebenarnya otak kekasihnya ini bekerja? Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan benar, tetapi tetap Caroline yang ia khawatirkan.

“Dasar bodoh!” umpat Caroline pelan.

Di sana tidak hanya ada Chaiden. Namun, ada juga seorang penyihir berjubah hitam. Warna hitam nan aneh, nyaris menyerupai lubang hitam yang tak berujung. Setelah diam memperhatikan Caroline dan Chaiden, agaknya penyihir itu mulai menyiapkan sesuatu.

Penyihir itu, Dorothy namanya, ia memberikan aba kepada Caroline dan Chaiden untuk mendekat. Kendati demikian, hanya Chaiden yang mengerti aba-aba itu. Seolah-olah lelaki itu telah dilatih untuk ini, ia bak telah mengetahui apa yang harus dilakukan.

Sepasang lengan kasar Chaiden meraih pinggul Caroline. Sementara Caroline mulai mengalungkan tangannya di leher Chaiden, dituntun oleh lelaki itu. Tatapan mereka terpaku satu sama lain. Di antara banyaknya waktu yang mereka lalui bersama, Caroline berani bersumpah kalau hari ini tatapan Chaiden tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Chaiden seperti akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi, lantunan sebuah lagu yang dinyanyikan orang-orang berjubah lebih dulu menginterupsi.

Si penyihir memegang sebuah buku usang, ia tampak tengah memimpin alunan melodi yang dinyanyikan. Bersamaan dengan itu, Chaiden mengecup bibir Caroline seraya membisik, “Aku tidak pergi.”

Dentingan jam berikutnya, hanya nyanyian aneh yang terdengar. Nyaris memecahkan gendang telinga Caroline.

Manusia-manusia penuh dosa

Bersatu dalam lingkaran lara

Bersama menuju neraka

Tuhan

Buat mereka kesakitan

Beri mereka pelajaran

Sebuah perpisahan

Sebuah perpisahan

Sebuah perpisahan

Neraka pun tak sudi

Menenggelamkan mereka dalam lautan api

Biarkan salah satunya pergi

Meninggalkan yang lain sendiri

Sebuah perpisahan

Sebuah perpisahan

Sebuah perpisahan

Kebersamaan

Menjadi kemustahilan

Kesendirian

Menjadi kemutlakan

Sebuah perpisahan

Sebuah perpisahan

Menyambut kesendirian

Manusia-manusia penuh dosa

Berpisah dalam lingkaran lara

•••

Komen (2)
goodnovel comment avatar
AK-17
keren. ............
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
whaooo........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status