Share

[1] Dalang dari Segala Penderitaan

Ibu sangat mencintaiku, sebesar aku membencinya.

- Caroline

•••

Malam menjadi lebih panjang setelah tragedi hari itu; setelah nyanyian terkutuk nyaris merusak gendang telinganya. Duduk di atas bukit di tepi pantai tak pernah semenyenangkan dulu. Dulu seseorang duduk di sampingnya, meminjamkan Caroline bahunya, mereka larut dalam hening yang dihancurkan deburan ombak. Namun, itu adalah sebuah masa yang tidak bisa kau datangi kembali; masa lalu.

Sekarang Caroline hanya duduk seorang diri, memandang jauh ke ujung samudra di depan sana. Dengan hati yang terus mendamba, berharap waktu bisa berjalan atas kehendaknya. Dan membawa orang itu ke dekapannya, lagi.

"Carol."

Caroline benci suara itu. Entah sejak kapan, yang pasti suara itu adalah salah satu hal yang tidak ingin ia dengar lagi.

"Sayang, Ibu mempunyai sesuatu—ah tidak, seekor anjing yang harus kau lihat."

Caroline melirik sebentar, hanya untuk mendapati Ratu Odelia dengan seekor anjing di sampingnya.

"Aku tidak tertarik, Yang Mulia. Anda bisa pergi dari sini." Setelahnya, ia pun kembali memandangi samudra. Mengabaikan Ratu Odelia begitu saja.

"Carol, kau akan menyukainya," bujuk Ratu Odelia. Berharap hati putrinya sedikit melunak.

Sementara Caroline menoleh dengan tatapan yang tidak ingin ia dapatkan. Bagaimanapun, sakit rasanya ketika ia menjadi dalang dari penderitaan putrinya. empat tahun berlalu, tetapi putrinya masih dengan tatapan kecewa yang sama; yang teramat menyiksanya.

Perlahan sinar dari mata Caroline berubah menusuk. "Apa kau berpikir seekor anjing bisa membuatku melupakan Chaiden?"

Ratu Odelia mengendik. "Ibu bahkan tidak memikirkannya, tetapi jika iya kenapa tidak?"

Ada kemarahan di dalam bola mata Caroline. Rasa dendam akan apa yang telah dilakukan Ratu Odelia benar-benar berhasil membakar seluruh kasih sayangnya. Ia sungguh-sungguh membenci manusia di hadapannya, amat, teramat, sangat. "Apa kau tahu apa yang telah kau ambil dariku?"

Pertanyaan itu membuat Ratu Odelia terdiam beberapa saat. Yang baru saja Caroline ucapkan, menunjukkan betapa banyak yang telah ia renggut dari putrinya. Betapa berharga sesuatu yang telah ia ambil. Dan betapa dalam luka yang telah ia ukir. Hal itu cukup untuk membuat hatinya kembali merasa bersalah, cukup untuk membuat hatinya tersentil. Meskipun ia mampu menyembunyikan segalanya dan hidup dalam sandiwara, tetap saja, naif jika ia mengatakan bahwa ia tidak menyesal.

Sementara Caroline masih dengan amarahnya menatap Ratu Odelia penuh sangsi. Entah harus dengan kata apa ia ungkapkan rasa bencinya, karena tak ada kata "sangat" yang benar-benar mewakili kebenciannya terhadap manusia di depannya. Seorang wanita dengan gaun terindah di sepenjuru negeri, dengan tiara tercantik di kepalanya, dan dengan hati terkotor yang pernah ia tahu. Bagian tersialnya, orang itu adalah ibunya. Seseorang yang seharusnya ia hormati dan sayangi sepenuh hati.

"Dia hanya seorang Blackton, Carol." Kalimat itu meluncur dengan mudah dari bibir Ratu Odelia. Sangat kontradiktif dengan hatinya yang digumuli rasa bersalah.

"Dia kekasihku, Yang Mulia. Laki-laki Blackton itu kekasihku." Caroline membalas dengan penuh penekanan. Seolah pernyataan itu benar-benar harus dideklarasikan.

"Ya, dia kekasihmu. Dan dia meninggal empat tahun lalu."

"Itu karena ulahmu!"

Caroline beranjak dari duduknya. Menatap Ratu Odelia nyalang, sungguh, ia tidak mengerti sudut pandang bagian mana yang digunakan Ratu Odelia dalam menghadapi hal ini.

"Itu karena kau. Kau yang membuatnya begitu," bantah Ratu Odelia.

"Aku?" tanya Caroline skeptis.

"Ya. Seandainya kau menikah dengan pria pilihan Yang Mulia Raja, seorang Halu. Chaiden tidak akan berakhir tragis."

Caroline memicing. "Jika itu salahku. Apa kematian ayah juga kesalahanmu?"

Melihat Ratu Odelia membisu, Caroline kembali mengeluarkan suara, "Tentu, ya. Kau yang membuatnya melakukan itu."

Nada ketus yang amat kentara di dalam kalimat Caroline menusuk begitu dalam bagi Ratu Odelia. Ia sadar, ia telah kehilangan putrinya empat tahun lalu.

"Berhenti bicara omong kosong, Carol." Namun, tetap saja. Ia selalu mengatakan hal sebaliknya dari yang ia inginkan, dari yang ia rasakan. Ia selalu hidup dalam kepura-puraan, membuat putrinya semakin tenggelam dalam lautan kebencian. Sungguh, ia adalah gambaran dari aktor berbakat sungguhan.

"Ayahku mati karena dirimu, kekasihku pun begitu. Dan sekarang aku bukan lagi putrimu. Aku membencimu, sangat."

•••

Benda kemerahan itu semakin mengamuk, menenggelamkan apa pun yang dilewatinya. Menggulung-gulung begitu tinggi dan tidak memiliki kendali. Sementara orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing, berlari ke sana-kemari demi menghindari keganasan api itu.

Caroline yakin istana akan habis sebentar lagi, ia harus membawa Ratu cepat-cepat pergi dari sini. Tangannya sudah hendak menarik Ratu Odelia bangkit, tetapi sang Ratu menahannya.

Sorot matanya sudah tak setegas biasanya, atau bahkan kemarin, saat wanita ini masih sempat berdebat dengannya. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya termegap-megap, mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Caroline tak banyak bicara, ia hanya diam menunggu sesuatu yang ingin dikatakan Ratu Odelia agar segera menyapa gendang telinganya.

"Carol...."

Entah mengapa, panggilan itu membuat Caroline merinding sekarang. Ada perasaan takut aneh yang menyelimutinya. Membuatnya lupa akan benci yang menghuni di dada.

"Kita buang-buang waktu. Pintu gerbang sudah dekat, jadi sebaik—"

"Apa pun yang terjadi, kau harus membawa anjing itu bersamamu," potong Ratu Odelia.

Caroline melirik ke arah anjing peliharaan Ratu yang sedari tadi menjadi saksi bisu. Anjing itu tidak sedikit pun bergerak ketakutan saat api melahap nyaris seluruh bagian istana. Ia diam, mematung, dan memperhatikan sang Ratu. Itu sedikit membuat Caroline terharu. Hanya sedikit.

"Ibu ... sa-sangat mencintaimu," ungkap Ratu Odelia dengan susah payah.

Ratu Odelia menggenggam pergelangan tangan Caroline. Mungkin ia ingin menggenggamnya dengan erat, mencoba menyalurkan apa pun yang ingin ia sampaikan melalui genggaman itu. Akan tetapi, tubuhnya sudah terlalu lemah. Alhasil, ia hanya menatap putrinya sendu, betapa ia mencintai gadis itu. Bahkan sejak sebelum gadis itu lahir, ia benar-benar mencintai putrinya, lebih dari apa pun yang bisa ia cintai di dunia.

Dengan agak tertatih, tangannya mengelus rambut Caroline. Menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga putrinya. Menelisik betapa rupawan ia. Ratu Odelia berharap suatu hari nanti bisa menjadi ibu yang baik, seorang ibu yang tak bertakhta sebagai Ratu. Hanya seorang ibu. Tanpa mahkota dan apa pun yang dapat membebani langkahnya.

Dengan sangat pelan ia menarik kepala Caroline mendekat, meninggalkan kecupan di keningnya. Cukup lama dan terasa hangat yang Caroline rasakan. Gemuruh di dada Caroline semakin menggebu, ada perasaan aneh yang menahannya. Sesuatu yang mendorongnya untuk tetap di sana, menemani sang Ratu menemui ajalnya.

"Kau harus pergi."

"Aku akan tetap di sini, aku tidak akan mati kau tahu itu," kilah Caroline. Perasaan takut kehilangan itu benar-benar menahan niatnya untuk pergi.

Senyum terbit dari bibir Ratu Odelia saat melihat kilatan rasa khawatir pada netra putrinya, saat itu pula ia merasa telah kembali memiliki putrinya. Ada rasa bahagia yang begitu menyenangkan yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Hanya dengan sedikit rasa khawatir dari Caroline, ia akan menutup usianya dengan bahagia.

Dengan suara agak serak, ia bertutur, "Justru karena itu. Luka-lukanya akan menetap sementara kau hidup abadi, Carol...."

"....pergilah."

Bertepatan dengan itu, terdengar ledakan dari istana. Membuat gumpalan api semakin menggulung, asapnya bak memenuhi seisi bumi, menenggelamkan warna biru cerah milik sang langit.

Ratu Odelia membiarkan tangannya jatuh menyentuh tanah. Sementara Caroline beranjak dengan perasaan ragu, langkahnya terasa amat berat. Ia membenci Ibunya, ia tidak berbohong mengenai hal itu. Kendati demikian, rasanya tetap sulit kalau harus membiarkan seseorang mati dimakan gumpalan api, sementara kau bisa saja membawanya ikut pergi.

Dengan segala perasaan bimbang yang tersisa, Caroline bangkit dan pergi meninggalkan istana. Menggendong anjing kesayangan Ibunya ikut serta. Ia tak menoleh sedikit pun. Tidak sama sekali. Tidak untuk melihat Ratu Odelia meregang nyawa.

Di sisi lain, sang Ratu memandang punggung putrinya penuh makna. Bersamaan dengan setetes air mata yang berhasil jatuh, ia berucap lirih, "Maaf atas segala kesalahan yang pernah Ibu pilih."

Tak seberapa lama, pandangan Ratu Odelia mengabur. Yang terakhir kali dilihatnya adalah sosok Caroline yang berbalik, kembali berjalan ke arahnya. Putrinya terlihat amat khawatir. Akan tetapi, langkahnya selalu tertahan, tubuhnya selalu terdorong oleh orang-orang yang berlarian. Bahkan orang-orang itu tak peduli bahwa Caroline adalah seorang putri. Sebelum Caroline benar-benar ditenggelamkan oleh kelopak matanya, Ratu Odelia tersenyum tipis. Tipikal senyum perpisahan yang juga menandakan kedamaian.

"Violine!"

Suara itu menyusup ke dalam telinganya, menghentikan langkah Caroline yang hendak melawan arus para manusia yang tengah lari dari kobaran api.

"Violine!"

Lagi, suara itu terasa menggema di seluruh sudut kerajaan. Namun, anehnya, hanya Caroline yang mampu mendengarnya. Hanya Caroline yang diinterupsi gerakannya, bahkan ia sampai terjatuh saat orang-orang yang berlari benar-benar tak terkendali.

"Violine, wake up!"

Ia terinjak, terdorong, dan kesulitan untuk bangkit. Sedangkan suara itu terus memenuhi gendang telinganya, meneriakinya, membuatnya menutup telinga kuat-kuat dengan kedua tangan. Ia terisak di antara kekacauan, tersisih, sembari memeluk dirinya ketakutan.

Di sisi lain, anjing kesayangan Ratu Odelia berbaik hati menemaninya. Layaknya manusia yang memiliki simpati, anjing itu mengelus kepala Caroline menggunakan tangannya.

"Wake up!"

Tiba-tiba, sesuatu seperti menarik kesadaran Caroline. Membuatnya pening bukan kepalang. Sampai akhirnya, ia terbangun di atas kasur empuk dengan napas terengah-engah. Tubuhnya bak mandi keringat sekarang, pendingin ruangan yang ada di sana sama sekali tidak membantu. Caroline sadar, sudah sepenuhnya sadar, dan ini bukan lah kali pertama Caroline memimpikan hal yang sama. Bahkan setiap detailnya tak pernah terlupa sedikit pun.

Mimpi itu, tidak, kenangan itu benar-benar menjelma menjadi mimpi buruk baginya. Menghiasi hampir setiap malamnya dan terkadang merusak jam tidurnya.

"Are you okay?"

Pertanyaan itu keluar dari bibir seseorang yang memanggilnya Violine tadi. Caroline tahu siapa pemilik suara itu sekarang. Dia adalah Oriel, dulu adik angkatnya, tetapi sekarang menjelma menjadi gadis cantik yang lebih cocok menjadi kakaknya. Sebab usia Oriel bertambah, tetapi Caroline tak sedikit pun menua.

Caroline hanya memberikan pandangan kosong pada Oriel, dengan sedikit gumam untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

"Kau bermimpi tentang Ibumu lagi?"

Meskipun benci mengakuinya, tetapi tak dapat dimungkiri kalau perasaan hangat itu menyetubuhinya setiap kali seseorang menatapnya dengan perasaan khawatir, seperti yang dilakukan Oriel saat ini. Wanita ini terlihat sangat tulus, Caroline diperlakukan seperti keluarga sungguhan.

"Tenangkan dirimu, setelah itu kita berkemas," pungkas Oriel sesaat setelah mengelus rambut Caroline.

"Kita mau ke mana?" tanya Caroline pelan. Ia masih kehilangan sebagian suaranya.

"Kau sudah tinggal terlalu lama di kota ini, orang bisa tau kau tidak menua."

"Hanya karena itu?"

Oriel berhenti sejenak. "Nope. Ada kasus yang harus aku tangani, dan itu tidak di sini."

"Kau bersiaplah, aku akan membuatkan identitas baru untukmu." Oriel beranjak pergi setelah mengungkapkan hal itu, ia membuka lemari pakaian dan mulai mengemasi barang-barangnya sendiri.

"Caroline," tukas Caroline tiba-tiba.

Oriel terdiam, mengernyit tak mengerti. Bahkan ia menghentikan gerakan tangannya yang tengah memasukkan baju ke dalam koper.

Oriel tak perlu mengajukan tanya, karena Caroline sendiri yang memberikan penjelasannya. "Aku ingin memakai nama itu."

"Baiklah, Violine—oh tidak, Caroline."

Mereka bertukar tatap. Mata indah keduanya memiliki binar yang berbeda, yang masing-masing membawa maknanya sendiri.

•••

Beberapa hari kemudian....

Benda besi itu berjalan konstan dengan empat roda di bawahnya. Entah bagaimana caranya bekerja, Caroline tidak paham dan memang tidak mencoba memahaminya. Satu hal yang pasti, benda itu berhasil membawa Caroline dan Oriel sampai di kota tempat tinggal baru mereka.

Kota ke sekian yang harus menjadi rumahnya. Entah sudah berapa lama Caroline pindah dari satu kota ke kota lain, mengubah nama dan segala hal tentangnya. Semua itu ia lakukan tak lain dan tak bukan agar tak ada yang mengetahui kondisinya, tak ada yang menyadari bahwa Caroline hidup abadi.

Caroline bukan tipe gadis romantis seperti Oriel. Pemandangan apa pun di luar sana, yang saat ini menjadi perbincangan Oriel karena katanya sangat cocok untuk menikmati akhir pekan bersama pasangan, tidak sedikit pun menarik minat Caroline. Ia tetap terpejam, sembari mendengarkan apa pun yang dikatakan gadis di sampingnya.

Agak berisik dan mengganggu telinga sebenarnya. Namun, itu lebih baik daripada tak mendengar suaranya sedikit pun. Hidup mengajari Caroline banyak hal, termasuk menghargai eksistensi seseorang yang masih ia miliki. Yang masih ditangkap indra-indranya. Sebelum mereka tak dapat dilihat lagi.

"Nah, Vio—ah Carol. Kita tinggal di sini sekarang. Di Kota Oswald," ungkapan Oriel membuat Caroline membuka kelopak matanya yang tertutup. Bahkan kini agak membelalak, terbuka sedikit lebih lebar dari biasanya. Sesuatu telah berhasil menarik atensinya.

"Oswald?" Ada nada keterkejutan di sana, tetapi Caroline cukup pandai untuk tidak terlalu menampilkannya.

"Ya." Oriel masih sibuk dengan setirnya, sambil memperhatikan sekeliling dengan tatapan penuh minat. Senyum semringah tidak pernah lepas dari wajah rupawan miliknya. Sampai akhirnya, ia menyadari ada yang janggal dari keterdiaman Caroline.

Oriel memalingkan wajahnya ke arah Caroline dan mendapati gadis itu tengah membisu, dengan pandangan yang terus menelisik apa pun yang dilewati mereka, di luar jendela sana. Padahal Oriel tahu, seharusnya tak satu pun hal di luar sana menarik minat Caroline.

Gadis itu sudah hidup ratusan tahun, tinggal di banyak kota, dan seharusnya Oswald tak memiliki apa pun untuk kembali menarik minatnya memandang dunia. Kecuali ... kecuali sesuatu pernah terjadi di kota ini, Kota Oswald.

"Carol, ada yang salah?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AK-17
Bahasanya enak banget buat dinikmati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status