Share

[2] Mereka yang Bereinkarnasi

~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~

____________________________

"Beberapa pertemuan terasa menyakitkan, meskipun bagian dari hal yang didambakan."

~¤~

Beberapa minggu kemudian....

Caroline.

Gadis dengan usia tujuh belas tahun itu tengah berjalan dengan tempo yang teratur, rambut cokelat keemasan miliknya berkibar searah dengan embusan angin. Setelah berjalan beberapa meter dari halte bus, akhirnya ia sampai di depan gerbang Origin High School.

Gerbang itu menjulang tinggi dengan bagian atas bak bentuk segi tiga. Warna emas klasik yang membalut benda terbuat dari besi itu memantulkan cahaya mentari, membuat permukaannya tampak mengkilap.

Bersama Caroline, ada ratusan siswa yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, memainkan ponsel, atau sekadar menelisik keadaan sekitar seperti yang Caroline lakukan sekarang. Kendati demikian, mereka memiliki alasan yang sama, yaitu menunggu gerbang Origin High School terbuka.

Pukul tujuh tepat, menara yang ada di dalam wilayah ORIS menyebarkan bunyi denting jam. Bersamaan dengan itu, gerbang ORIS pun terbuka lebar. Para siswa langsung mengambil langkah lebar dan memasuki wilayah ORIS. Caroline yang masih mematung di tempatnya beberapa kali terkena senggolan dari siswa yang tak sabaran. Beberapa di antaranya menggerutu karena Caroline menghalangi jalan. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka hanya lewat dan tak acuh.

Suasana itu ... membuat Caroline déjà vu. Begitu banyak manusia yang memasuki gerbang, tak teratur dan berbagai macam obrolan saling sahut-menyahut. Bedanya, saat ini tidak ada kobaran api.

Setelah menetralisasi perasaannya dari kenangan masa lalu, Caroline mulai mengayunkan sepasang kakinya dan melangkah teratur dengan anggun. Menapaki jalan menuju gedung utama ORIS.

Tak seberapa lama, langkah kakinya kembali terhenti tepat di depan pintu masuk lobi, tempat yang cukup jauh dari gerbang utama. Bangunan ini lebih mirip asrama penyihir alih-alih sekolah di zaman modern. Semua arsitekturnya tampak antik dan klasik, mengingatkan Caroline pada sebuah tempat yang pernah menjadi istana untuknya.

Caroline jarang sekali mengagumi atau menghentikan kegiatannya hanya untuk menikmati sebuah arsitektur, tetapi ia menjadi lebih melankolis saat sejak menginjakan kaki di Kota Oswald.

Sekarang, Caroline tidak ingin membuang waktu dengan wisata masa lalu. Hal itu hanya akan membuatnya tersiksa oleh rindu. Ia pun berjalan memasuki lobi dan menghampiri meja resepsionis. Menanyakan tempat yang harus ia tuju kepada petugas di sana. Segera setelah mendapat jawaban, Caroline berjalan ke arah lorong di sebelah kanan. Ia melewati koridor demi koridor. Beberapa di antaranya sepi, sedang yang lain diisi segerombolan siswa yang langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Caroline.

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, Caroline akhirnya tiba di depan ruang guru. Ia baru saja hendak membuka pintu kuno itu, tetapi seseorang dari dalam sana mendahuluinya.

Setelah bunyi kenop pintu mengudara, Caroline dibuat terkejut dengan seseorang yang baru saja ditangkap penglihatannya. Orang yang masih memegang kenop pintu itu pun tak kalah terkejut melihat kehadiran Caroline.

Beruntung, Caroline sudah sering menghadapi situasi seperti ini. Sehingga seterkejut apa pun ia, raut wajahnya akan tetap datar tanpa menunjukan emosi apa pun. Sangat berbeda dengan seseorang di depannya.

"Violine?" kaget orang itu.

Caroline dengan sengaja memiringkan kepalanya, menampilkan wajah kebingungan yang terlihat imut. Sangat kontra dengan kepribadiannya. Pada detik berikutnya, ia sedikit membungkuk seraya tersenyum. "Saya Caroline, Bu. Murid pindahan."

Orang itu membentuk huruf O dengan mulutnya. "Ah, saya pikir kamu ... kamu...."

"Seseorang dari masa lalu?" potong Caroline.

"Ya. Tapi seharusnya dia seusia saya, jadi tidak mungkin itu kamu."

Caroline tersenyum tipis mendengar penuturan guru di depannya. Bila telinga bisa mendengar isi hati seseorang, maka saat itu pula guru di depannya akan tahu kalau Caroline membatin, "Ya. Yang kau maksud adalah aku, Daisy."

"Jadi, siapa namamu?"

"Caroline."

~¤~

Waktu terasa berjalan lebih cepat, mengambil beberapa kesempatan Caroline untuk sekadar istirahat. Setelah menjalani hari pertamanya sebagai murid ORIS, sekarang saatnya Caroline kembali ke rumah dan mengistirahatkan tubuhnya.

Bus yang ia tumpangi berjalan dengan kecepatan konstan, kemudian berhenti di sebuah halte dan beberapa penumpang pun naik. Di kursi tempatnya terduduk, Caroline tengah memperhatikan jalanan, kendaraan umum dan beberapa mobil pribadi yang hilir mudik pun menjadi objek penglihatannya. Ketika bola matanya menelisik ke sana-kemari, tiba-tiba pandangannya terhenti, sesuatu berhasil menarik seluruh perhatiannya. Ia terus memperhatikan objek itu. Bahkan ketika bus mulai berjalan, kepalanya ikut menoleh ke belakang, seolah tak ingin kehilangan objek yang begitu menarik.

Caroline pun memutuskan untuk berpaling saat objek yang ia perhatikan telah hilang ditelan jarak. Ia memejamkan matanya sembari menekan punggungnya ke sandaran kursi, seperti tengah melampiaskan suatu emosi. Hatinya membatin, "Aku hanya berhalusinasi."

Mungkin karena hari ini cukup melelahkan, Caroline jadi berhalusinasi melihat seseorang yang selama ini ia cari. Pertemuan tak terduganya dengan Daisy, seorang kawan lama yang kini sudah menjadi guru sosiologi, cukup membuatnya terkejut. Dan ia yakin, masih ada banyak kejutan yang harus ia hadapi di sini, di Kota Oswald.

Halte demi halte telah Caroline lewati, hingga akhirnya ia sampai di halte nomor 7 dan bergegas untuk turun. Dari halte ia berjalan memasuki sebuah perumahan yang terlihat kuno. Perumahan Gladiolus namanya. Rumah-rumah yang ia lewati terbuat dari batu bata merah dan ditumbuhi tanaman merambat, bukan kotor atau tak terawat, melainkan semua rumah di perumahan ini memang seperti itu.

Melangkah semakin jauh ke dalam perumahan ini selalu membuatnya teringat masa lalu. Saat kota yang dipenuhi hiruk pikuk kendaraan masih berupa kerajaan.

Saat ia masih menjadi gadis normal.

Saat ia masih bisa menua.

Dulu, telah lama sekali.

Kini, Caroline hidup dengan jiwa yang telah lama mati walaupun raganya abadi. Gadis tujuh belas tahun ini tak sudi hidup abadi, tetapi takdir yang tertulis ternyata sekejam ini. Bagi gadis zaman sekarang, penuaan merupakan hal yang sangat dihindari. Namun, bagi Caroline penuaan merupakan hal yang sangat ia nanti.

Abadi, hal yang lebih buruk dari sekadar kematian. Caroline menyadari itu sekarang.

Abadi hanya akan membuatmu menyaksikan kematian dan kelahiran ribuan kali. Kematian orang yang kau sayang. Lalu, melihat orang itu terlahir kembali. Masih dengan wajah yang sama, juga senyum yang sehangat di masa lalu. Bagian menyedihkannya, ia tak dapat mengingatmu.

"Caroline."

Caroline tersentak dari lamunannya, lalu menoleh ke arah panggilan itu berasal. Pandangan Caroline disambut senyum hangat oleh seseorang yang dulu Caroline panggil ibu. Senyumnya masih sehangat dulu.

"Baru pulang?"

Caroline tersenyum, senyum yang dulu tak pernah ia tampilkan di depan sang ibu. "Iya."

"Boleh aku meminta tolong?"

"Tentu," jawab Caroline seraya mengangguk.

Mereka berjalan beriringan memasuki salah salah satu rumah. Rumah sederhana dengan pintu bercat hijau, dan taman bunga yang berada tepat di halamannya. Sejak pertama kali tinggal di perumahan itu, Caroline sudah penasaran tentang siapa pemilik rumah ini. Sampai pada akhirnya, beberapa hari yang lalu ia dipertemukan dengan sang pemilik rumah. Saat itu pula Caroline tersadar, bahawa semesta memang paling tahu cara menyiksanya.

"Ini hari pertamamu sekolah di ORIS, ya?"

Caroline mengangguk, matanya tak pernah berhenti memperhatikan wajah itu. Munafik jika Caroline bilang ia tidak rindu.

"Nah, Caroline apa kau bisa membantuku untuk mencicipi masakan ini?" tanya Bibi Odelia saat langkah kaki mereka telah sampai di dapur rumahnya.

Caroline tersenyum tipis seraya berkata, "Kau berbohong, Bibi."

Perkataan Caroline dibalas dengan kekehan kecil. "Iya-iya, aku berbohong. Sebenarnya aku ingin mengajakmu dan kakakmu untuk makan malam bersama, sebagai sambutan dari kami karena kalian warga baru di sini."

"Tetapi kalian begitu sulit untuk ditemui," lanjutnya.

"Odelia!"

Panggilan itu menginterupsi interaksi antara Caroline dan sang ibu. Ya, seharusnya Caroline masih bisa memanggil sosok di depannya ibu. Toh, tak ada mantan ibu, 'kan?

"Aku pulang!" Seseorang merentangkan tangannya ke arah Bibi Odelia yang langsung disambut dengan pelukan.

Caroline memperhatikan adegan itu, saat ibunya memeluk sang ayah dan saat sang ayah memberikan kecupan pada kening sang ibu. Dulu, ayahnya tidak sehangat itu.

"Hei, Caroline?"

Caroline tersenyum ke arah sang ayah, tidak, sekarang hanya tetangganya. "Hai, Paman William," sapa Caroline seraya sedikit membungkuk.

"Kau terlalu kaku, Nak." William terkekeh.

"Ayo kita makan," ajak Bibi Odelia.

"Di mana Agatha?"

"Dia di atas."

"Agatha!"

"Agatha, makan malam!"

"Iya!"

Suara demi suara itu menyapa indra pendengaran Caroline, sementara ia masih setia memperhatikan interaksi keluarga kecil ini. Ada banyak kehangatan asing di dalam sini, sesuatu yang tak pernah Caroline dapatkan saat dua orang di hadapannya masih berstatus orang tuanya. Agatha, putri dari kedua orang tuanya, putri baru mereka, kini ikut bergabung di tempat makan.

"Hai, Caroline!" sapa Agatha dengan wajah riangnya.

"Hai," balas Caroline tentu dengan tersenyum. Di depan keluarga kecil ini Caroline tak pernah ragu untuk menampilkan senyum, walaupun dalam senyumnya tersirat kesedihan yang mendalam. Serta rasa iri yang tak tertahankan.

Mereka makan dalam keheningan, sesekali Agatha membuat lelucon dan Paman William memintanya diam, lalu Bibi Odelia tertawa seraya meminta suaminya untuk tidak berlebihan. Rasa sakit itu tanpa permisi hinggap di hati Caroline, semakin melekat daripada sebelumnya, sesak pun membelenggu dadanya. Teramat menyiksa. Harusnya, Caroline yang ada di posisi Agatha sekarang. Ah, Caroline terlalu kaku untuk seriang Agatha, bukan?

Makan malam telah usai, satu per satu dari mereka mulai meninggalkan tempat makan, tentu dengan pamit kepada Caroline terlebih dahulu. Hingga akhirnya Caroline tinggal berdua dengan Bibi Odelia.

"Agatha, bantu ibu!" teriak Bibi Odelia.

"Malam, Bu!" sahut Agatha sambil berlari menuju kamarnya. Ada gelak tawa kecil yang menghiasi wajah riang itu.

"Anak itu," geram Bibi Odelia sambil tersenyum memandang kepergian putrinya.

"Aku bantu." Caroline berdiri dari duduknya dan mulai merapikan piring kotor.

"Ah, kau anak yang baik, Caroline."

Caroline hanya tersenyum miris mendengar penuturan itu.

"Kau tahu ada warga pindahan baru di perumahan ini?"

Caroline mengernyit. "Aku dan Oriel?"

Bibi Odelia menggeleng. "Mereka baru saja datang kemarin, hanya selang beberapa hari setelah kedatanganmu."

Diam menjadi hal satu-satunya hal yang Caroline lakukan sekarang. Ia tidak tahu harus merespons atau menjawab apa. Hal itu membuat Bibi Odelia terkekeh. "Kau dan kakakmu terlalu sibuk, padahal orang itu tinggal di samping rumah kalian."

"Ini, kau bawa untuk kakakmu, dan ini untuk tetanggamu." Bibi Odelia menyerahkan dua kotak makanan kepada Caroline.

"Kau harus beramah-tamah dengan tetanggamu, Caroline. Suatu saat kau akan membutuhkan bantuan mereka," lanjut Bibi Odelia.

"Baiklah, terima kasih."

Caroline menerima kotak makanan yang diberikan kepadanya. Ia bertekad, di kehidupan yang kali ini, ia akan banyak mendengarkan nasihat ibunya. Ya, meskipun ia harus memanggilnya Bibi sekarang.

"Aku pamit pulang."

"Hati-hati di jalan, Caroline!"

Sebelum benar-benar pergi, Caroline mengangguk seraya tersenyum tipis. "Tentu."

~¤~ ✡ ~¤~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status