~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~
____________________________
"Manusia tak pernah benar-benar mengerti, alasan Tuhan mengirim seseorang lalu mengambilnya kembali."
~¤~
Oriel.
Gadis yang lebih tua beberapa tahun dari Caroline itu dikenal sebagai kakak Caroline. Akan tetapi, itu kebohongan besar.
Caroline merupakan anak tunggal.
Lagi pula, seharusnya, Caroline lah yang menjadi kakak Oriel. Sebab, saat Caroline menemukan Oriel mengemis di jalanan, gadis itu baru berusia sembilan tahun. Terlihat kumuh dan menyedihkan. Sampai akhirnya, Caroline memberi Oriel hidup yang lebih layak. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia memperlakukan orang lain bak keluarga sendiri. Bahkan lebih baik daripada saat ia memperlakukan ibunya.
Oriel istimewa, dia berbeda. Betapa pun sulitnya, Oriel tetap mencoba memahami keadaan Caroline yang selalu di usia 17 tahun. Itulah mengapa Caroline memilihnya. Oriel senantiasa mencoba memahaminya dan memperlakukan Caroline layaknya manusia normal. Yah, walaupun ada satu hal yang tidak akan pernah bisa Oriel pahami, bahwa Caroline benar-benar ingin mati dan berhenti jadi abadi.
Caroline tidak ingin terus hidup seperti ini. Suatu saat, ia mungkin akan melihat Oriel pergi. Kemudian, bertemu dengannya kembali setelah gadis itu bereinkarnasi.
Tidak ada yang salah dengan pertemuan itu. Caroline seharusnya senang, amat sangat senang. Hanya saja, Caroline sudah lelah terus dilupakan.
Pertemuannya dengan kedua orang tuanya, Caroline pikir, adalah sebuah keajaiban. Akan tetapi, sekarang Caroline lebih merasa bahwa hal itu adalah siksaan; hukuman baru untuknya. Padahal ia masih belum usai bertanya-tanya, apakah kesalahannya di masa lalu teramat besar? Sebegitu salahnya mencintai seseorang yang berasal dari kasta berbeda?
Tidak pernah Caroline temui jawabannya, dan sepertinya, beberapa pertanyaan memang tidak akan pernah bertemu jawabnya.
"Carol?!"
Suara itu mengejutkan Caroline. Membuatnya sedikit tersentak, dan tentu saja, membuatnya keluar dari ratapan masa lalu yang tak pernah usai.
"Ada apa? Melamun lagi?" tanya Oriel, gadis itu menatap Caroline yang sedari tadi melamun di meja makan. Mengabaikan berbagai kata yang sudah keluar dari mulutnya.
Oriel tahu apa yang menjadi beban pikiran Caroline. Akan tetapi, sampai sejauh ini, mungkin ... sampai separuh dari sisa usianya, ia sebagai adik tidak bisa membantu apa-apa. Yah, bingung juga harus melabeli dirinya sebagai kakak atau adik Caroline.
Ah, itu tidak penting. Satu hal yang tidak akan berubah adalah Oriel akan selalu mengingat Caroline. Apa pun yang terjadi, Oriel berjanji akan selalu mengingatnya. Sekalipun di kehidupan keduanya.
"Kau saja yang antar, ya?" pinta Oriel sesaat setelah keheningan tercipta di sela-sela perbincangan mereka.
Saat sampai di rumah tadi, Caroline langsung memberikan makanan dari Bibi Odelia. Ia berkata bahwa satu kotak makanan lain seharusnya diberikan untuk pemilik rumah yang berada tepat di sebelah mereka; tetangga baru mereka. Oriel langsung mengerti dengan hal itu, karena setelah beberapa hari tinggal di Perumahan Gladiolus, ia dapat melihat bahwa mengantar makanan kepada tetangga baru adalah sebuah tradisi di sini. Sebuah norma tak tertulis yang ditaati para penghuninya.
Ketika Caroline hendak menolak, cepat-cepat Oriel berucap, "Ini perintah, sebenarnya."
Caroline menatap Oriel datar, gadis ini semenjak berusia lebih tua darinya jadi lebih melunjak.
Kemudian, tanpa berucap sepatah kata pun lagi Caroline berlalu sembari membawa makanan yang akan diberikan kepada tetangga barunya. Caroline tidak suka beramah-tamah sebenarnya, hanya saja ia ingin mematuhi ucapan sang ibu. Ia tak ingin seperti dulu, selalu menjadi gadis pembangkang. Hal yang membuatnya menyesal di kemudian hari.
Dengan enggan Caroline mengetuk pintu rumah di samping kanan rumahnya. Dalam hati kecilnya ia berharap sang pemilik rumah tidak ada dan tidak akan pernah membuka pintu untuknya.
Akan tetapi, tampaknya semesta memang tidak pernah memihaknya. Bunyi kenop pintu yang diputar terdengar beberapa waktu setelah Caroline mengetuk pintu.
Disusul suara. "Siapa?"
Caroline bergeming. Matanya terpaku kepada seseorang di depannya, ia pria yang sangat Caroline kenal. Yang tidak mungkin dan tidak akan pernah Caroline lupakan. Kenangan tentangnya tersimpan apik di memori Caroline.
"Maaf, cari siapa?"
"Ini." Caroline menyodorkan makanan kepada pria itu dengan suara tercekat. Sesuatu seperti baru saja menghantam dadanya, memberinya tamparan telak dan kian membuat napasnya tertahan. Kali ini, semesta akan menyiksa lagi. Dengan pertemuan baru bersama orang dari masa lalu.
"Oh, terima kasih. Hari ini banyak sekali tetangga yang memberi makanan, kalian sangat ramah. Sekali lagi, terima kasih, ya."
Caroline mengangguk pelan. "Iya, Paman ...."
"Kau bisa memanggilku Paman Charles," ucapnya ramah.
Samar-samar Caroline tersenyum kecut, ia tahu nama itu yang akan terucap. "Aku Caroline, Paman Charles."
"Kau yang tinggal di mana, Nak?"
"Di seb—"
Seseorang memotong ucapan Caroline. Padahal, susah payah gadis itu mengembalikan suaranya yang sempat tercekat. Susah payah gadis itu mencoba untuk terlihat baik-baik saja, tetapi semesta terus saja memberi kejutan kepadanya.
"Ayah!"
Dan orang itu muncul dari balik punggung Paman Charles. Merealisasikan ketakutan Caroline secara tidak langsung. Caroline tak pernah berharap bertemu wajah itu lagi, tidak jika ia akan dilupakan untuk ke sekian kalinya. Rahang laki-laki itu masih setegas dulu, tatapannya masih terasa begitu menusuk, dan alisnya selalu bertaut, semuanya sama seperti dulu. Hanya saja, Caroline penasaran, apa cinta dan ingatan lelaki itu masih sama dengan yang ada di masa lalu?
Caroline juga amat penasaran, apa mungkin peluknya masih sehangat dulu? Sudah lama Caroline tak mendekapnya.
"Chaiden," lirih Caroline. Setelah sekian lama air matanya kembali meronta. Seluruh tubuhnya berteriak untuk memeluk laki-laki itu. Mendekapnya dan tak membiarkannya pergi lagi.
Gumpalan air mata yang menggunung di pelupuk matanya semakin memanas. Jantung Caroline pun kehilangan temponya. Laki-laki itu, wajah itu, Caroline sangat merindukannya. Sampai tanpa aba dan tanpa kendali, sepasang kaki Caroline berlari ke arahnya. Menghambur ke dalam pelukannya.
Mendekapnya erat dan menumpahkan segala lelahnya di dada bidang laki-laki itu. Caroline semakin tak terkendali, ia memeluk Chaiden lebih erat. Mencari-cari kehangatan yang sudah lama ia rindukan. Sesuatu yang selama ratusan tahun ini ia butuhkan.
~¤~
Pagi kembali menyapa, mentari pun kembali bersinar indah, memamerkan kilauan cahaya miliknya. Walaupun sebagian penontonnya masih bermimpi dan enggan untuk membuka mata, ia tetap tak terlihat goyah.
Caroline ingin seperti mentari, tetapi ia terlalu takut untuk itu. Sebab mentari selalu seorang diri, tiap orang yang berada di dekatnya pasti terbakar mati. Sedikit mirip dengan apa yang sedang ia alami.
"Carol, kau harus ke perpustakaan hari ini. Ambil buku tahunan siswa, jika sulit minta saja pada pustakawan di sana," terang Oriel.
Entah sudah berapa lama gadis itu mengoceh, sedang Caroline masih sibuk dengan dunianya. Dengan berbagai hal yang baru saja terjadi, dengan cara semesta menyiksanya lagi.
"Hm," balas Caroline pada akhirnya.
Oriel menghela napas lelah. "Carol, kita tunda penyelidikan ini untuk sementara, ya? Setidaknya sampai kau merasa jauh lebih baik."
Caroline menggeleng. "Aku bisa."
Oriel membisu. Ia memperhatikan Caroline lagi dengan saksama. Gadis itu sedang tidak baik-baik saja, setelah sekian lama, matanya kembali sembab. Sangat aneh untuk seseorang yang sudah hidup ratusan tahun.
Pandangan kosong Caroline hari ini, jauh lebih hampa dari hari sebelumnya. Ia terus saja memandang ke luar jendela, menikmati sinar mentari yang menyusup dari sana. Akan tetapi, jiwanya kosong. Raganya entah sedang singgah di mana. Terkadang Oriel tak habis pikir, mengapa Tuhan memberikan gadis sebaik Caroline cobaan seberat itu? Padahal yang Caroline butuhkan hanya mati dan bereinkarnasi. Layaknya orang-orang yang kemarin ia temui.
"Jangan terlihat mencurigakan, kasus kita ini penting," tambah Oriel. Ia mencoba untuk mengalihkan perhatian Caroline dan bertindak bak orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Satu hal yang ia sadari, mencoba bersikap biasa saat orang di depannya jelas sedang tidak baik-baik saja ternyata cukup menyakitkan.
Ia seperti ikut berduka dengan segala macam luka yang dialami Caroline.
"Hm."
"Carol!"
"Apa?" sahut Caroline.
"Kau paham?"
Caroline mengangguk sebagai balasan.
Oriel mendengus. "Awas, jika kau gagal."
"Apa aku pernah gagal?"
Oriel kembali mendengus, Caroline irit sekali bicara, sekali pun bicara membuat orang naik pitam. Namun, Oriel juga tersenyum tipis. Ia berharap kasus ini bisa menjadi kesibukan baru Caroline, dan berhasil mengalihkan perhatiannya dari jalan hidup yang rumit. Meskipun hanya sementara waktu.
"Kau mau berangkat?" tanya Oriel saat melihat Caroline beranjak dari duduknya.
"Hm."
"Hati-hati, ingat kasus ini harus cepat selesai, jika tid—"
"Ori," geram Caroline, ia merasa jengah dengan ocehan si detektif itu. Oriel ini memang pandai, tetapi menyebalkan dalam waktu bersamaan.
"Hehe, baiklah hati-hati."
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Caroline berjalan meninggalkan rumah. Sebisa mungkin ia tidak melirik ke samping rumahnya, ia mencoba untuk tidak mencari-cari apa pun di sana. Dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa seseorang yang kemarin ia temui, hanyalah ilusi.
Sebelum Caroline benar-benar meninggalkan pekarangan rumah, tiba-tiba seekor anjing menghampirinya. Anjing itu melompat-lompat seraya mengitari kaki Caroline, ia pun terkekeh dibuatnya. Hampir saja ia lupa mengucapkan pamit pada Will, anjing peliharaan Ratu Odelia di masa lalu. Keajaiban lain yang turut menyertainya. Karena entah bagaimana, anjing itu juga hidup abadi sama seperti dirinya. Sekarang jadi masuk akal kenapa Ratu Odelia bersikeras Caroline membawa anjing itu.
Sejak hari itu, hari di mana hanya tersisa ia dan anjingnya, Caroline menamainya Will. Alasannya sederhana saja, karena sang pemilik anjing adalah ayahnya, William.
Caroline berjongkok dan mengelus anjing itu, sesekali ia menciumnya, dan tertawa geli sesaat kemudian karena anjing itu balik menjilatnya.
"Dah, kau baik-baik di rumah, ya?"
Itu adalah kalimat terakhir yang Caroline ucapkan pagi tadi. Setelahnya, ia berangkat ke ORIS dan bersiap menjalani hari monotonnya.
Lagi-lagi semuanya seperti biasa, tak ada yang istimewa. Hingga saat pelajaran pertama dimulai, orang itu datang. Orang yang tak pernah ingin Caroline temui, orang yang menjadi alasan Caroline bisa selemah ini. Iya, orang itu, Chaiden.
"Silakan perkenalkan dirimu." Seorang guru mempersilakan Chaiden untuk memperkenalkan diri.
Pandangan Chaiden fokus ke depan tanpa memperhatikan sekeliling. Ia terlihat angkuh dan ambisius. Namun, entah mengapa tiba-tiba ia mengarahkan tatapannya ke arah Caroline, membuat gadis itu bergeming sejenak. Ditatap oleh orang yang dulunya pernah sedekat nadi, tetapi sekarang sudah tak sehati membuat dadanya merasa sesak.
Akhirnya Caroline memutuskan untuk berpaling ke arah jendela di samping tempat duduknya, ia enggan melihat apalagi mendengar suara itu. Suara yang sejujurnya ia rindu.
"Kalian bisa memanggilku Garvin."
Darah Caroline bagaikan berdesir saat mendengar suara itu lagi. Walau dengan nama yang berbeda, Caroline yakin ia adalah Chaiden. Kekasihnya. Seseorang yang mencuri sebagian dari diri Caroline.
"Hanya itu?" tanya guru yang mengajar atas perkenalan Chaiden yang begitu singkat. Ah, ataukah harus dipanggil Garvin?
"Baiklah, kau boleh ambil tempat duduk yang kosong," pungkas sang guru.
Caroline tak lagi mendengar suara Chaiden ataupun guru yang mengajar, hanya bisik-bisik para siswi yang ia dengar. Mereka memuji ketampanan Chaiden, mengomentari sikap dinginnya yang memesona, dan terus saja memenuhi gendang telinga Caroline dengan satu nama. Sementara Caroline sendiri masih enggan berpaling dari jendela. Hingga tiba-tiba terdengar suara kursi yang berdecit tepat di samping Caroline, tangannya mengepal begitu kuat secara otomatis. Mendadak ia memiliki firasat buruk. Susah payah ia menoleh ke arah samping, dan benar saja dugaannya, Chaiden duduk tepat di sampingnya. Membuat dadanya berdentam tak karuan.
Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali. "Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang. "Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline. "Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?" "Mengamatimu." Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!" "Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom." "Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong
Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden."Melamun lagi, huh?"Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di si
"Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk
Caroline sedang merapikan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, saat embusan angin datang bersama seseorang yang menyerukan namanya. Orang itu berambut pirang dan berwajah ceria saat menyapa Caroline. "Carol!" Caroline yang saat ini meraih jaket hitam lusuh untuk dikenakan tidak sedikit pun memberi Frank balasan. Tidak dengan bergumam ataupun melirik meski hanya sebentar. Kendati demikian, laki-laki berambut pirang itu tidak sedikit pun kehilangan keceriaannya. Masih dengan nada bersemangat yang serupa ia mengajak, "Ayo ke perpustakaan hari ini." "Aku tidak ke sana," balas Caroline tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. "Tidak jadi menemui Dorothy?" Mata biru langit milik Frank menatap penuh tanda tanya tepat ke arah mata hazel gadis di depannya. Yang membuat Caroline nyaris berdecak kagum karena keindahan matanya. "Hm." "Ada apa? Bukankah kasusmu harus diselesaikan?" "Kasus?" Kali ini gadis bermata hazel yang menampilkan tatapan bertanya. Antara merasa h
"Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Oswald."Frank benar, Caroline pun sepemikiran dengannya. Ia tidak pernah menyangka—dan cukup yakin orang lain pun sama—ada tempat seperti ini di Kota Oswald. Arsitekturnya terlihat sangat kuno—seperti telah di desain sejak puluhan ribu tahun lalu—dengan warna krem dan cokelat keemasan yang mendominasi. Meskipun warnanya telah kusam dimakan cuaca dan usia, tetapi tetap tidak menghilangkan kesan mewah sekaligus tradisionalnya.Bangunan-bangunan yang menjulang berhimpitan itu mirip pertokoan yang dulu pernah ia lihat di Oswald Kingdom, London merupakan salah satu tempat yang menurut Caroline menyerupai Oswald. "Ini pasar?" cetus Caroline saat ia yakin kalau tempat yang saat ini mereka jelajahi memang sebuah pasar. Sadar bahwa ia yang dihadiahi pertanyaan, secara refleks Garvin menoleh ke arah gadis di sampingnya. Mata cokelat terang yang dibingkai sepasang alis tebal itu menatap Caroline dalam. "Ya, dulunya." Caroli
A Place Without A Name***Caroline semakin menggila, gerak bibirnya semakin brutal. Begitu pun dengan Chaiden, pandangannya sudah dipenuhi api gairah yang Caroline tidak yakin laki-laki itu bisa menahannya. Tepat ketika Chaiden mengecup leher jenjang Caroline, saat itu pula Caroline terkekeh sembari berkata, "Kita tidak mungkin melakukannya di sini, 'kan?" Ini hutan. Caroline cukup yakin ada banyak binatang buas di dalamnya. Lagi pula, terlalu sembrono jika mereka harus melakukannya di sini. Maksudnya, hei, Caroline adalah seorang putri mahkota, ia bisa melakukannya di tempat yang lebih layak. Akan tetapi, Caroline tidak yakin Chaiden mendengarkan. Laki-laki itu tetap dengan aktivitasnya. Lidahnya menelusuri kulit putih Caroline dari mulai tulang selangka sampai ke belakang telinga. Begitu berulang-ulang sampai-sampai Caroline tak mampu menahan desahannya. Ia juga tidak sanggup untuk menolak—karena ia pun menginginkannya—alhasil ia hanya menengadah dengan jari-jemari yang terus memai
Suasana di dalam panti asuhan sungguh di luar perkiraan Caroline. Ia pikir suasananya akan sedikit menyeramkan atau setidaknya keheningan tanpa alasan akan menyambut mereka. Akan tetapi, yang menyambut mereka adalah segerombolan anak-anak. Anak-anak itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mencoret-coret tembok, bermain kejar-kejaran, saling melempar makanan ke wajah satu sama lain, dan yang paling Caroline tidak habis pikir adalah...."Hei, lihat! Apa yang sedang dilakukan bocah itu?!" Frank berteriak sambil menunjuk anak laki-laki yang berada di atas lemari. Anak laki-laki itu juga yang membuat Caroline tidak habis pikir dengan tingkahnya. Lemari yang dinaikinya berada tepat di belakang meja resepsionis dan berisi pelbagai macam dokumen. Seorang pegawai—yang Caroline duga adalah resepsionis—sedang membujuknya agar mau turun. Dari arah lorong beberapa pegawai atau mungkin para suster berdatangan, sebagian dari mereka meminta anak-anak untuk tenang dan kembali ke kam
Lampu-lampu mulai mati secara otomatis, menyisakan lentera tradisonal yang terpasang di sepanjang lorong. Tidak terlalu membantu sebenarnya. Lorong-lorong panjang itu tetap didominasi kegelapan dan suasana terasa hampa. Garvin sendiri kehilangan kata-kata untuk waktu yang cukup lama. Mungkin pelbagai hal menjadi pertimbangannya. Caroline sudah tidak berharap banyak saat Garvin berujar, "Aku tidak tahu jawaban yang kau harapkan, tetapi, ya. Dia bukan ayahku." Dunia seperti berhenti berputar, indra-indra Caroline bak berhenti berfungsi untuk sesaat. Ada sesuatu yang menjalari tubuhnya, yang membuat darahnya terasa berdesir. Entah perasaan macam apa yang saat ini bertahkta di hatinya. Akan tetapi, saat ini ia cukup yakin kalau Garvin bukan Chaiden. Atau dengan kata lain, ia mulai begitu goyah, mungkin dugaannya selama ini salah. Meskipun reinkarnasi terjadi, tetapi biasanya tidak banyak hal yang berubah. Beberapa orang yang semasa hidupnya baik hanya terlahir kembali untuk membuat memo