Share

[4] Wajah yang Sama

Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali. 

"Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang. 

"Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline. 

"Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?"

"Mengamatimu." 

Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!"

"Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom."

"Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong nan sarkas sepertimu disebut anggun dan baik hati?"

Caroline melihat ke arah buku yang tengah dipegang Chaiden. Buku itu menampilkan ilustrasi putri Oswald Kingdom, yang tak lain adalah dirinya, dengan kisah hidup yang menyertainya. Juga kata-kata yang mengagung-agungkan para penghuni istana, termasuk dirinya. Ternyata sedari tadi Chaiden membaca buku tentang orang-orang istana, dan laki-laki itu terpaku memperhatikan Caroline dalam bentuk gambar. 

Chaiden kembali berbicara, "Hei, lihat! Mereka bahkan mengatakan kau memesona, sedangkan yang aku lihat kau benar-benar menjengkelkan." 

"Beraninya kau!" Caroline menggeram. 

Tak seberapa lama, Caroline mengambil paksa buku itu dan melemparnya ke sembarang arah. Setelah itu, suara khasnya yang dibalut amarah menyapa gendang telinga Chaiden. 

"Jika ingin mengamatiku, kenapa tidak secara langsung?! Kenapa kau perhatikan gambar itu dan mengabaikanku? Apa aku terlihat lebih cantik saat di dalam kertas?!" 

Napas Caroline tampak tersengal setelah mengucapkan kalimat itu. Ia benar-benar kesal. Sejak pertemuan pertamanya dengan Chaiden, laki-laki itu selalu saja mengabaikannya. Padahal, laki-laki lain di seluruh penjuru kerajaan sangat ingin bertemu dengan Caroline. 

Setelah melihat Caroline selesai dengan ucapannya, Chaiden melangkah mendekat ke arah gadis itu. Pelan dan mengintimidasi. Tatapannya menusuk tepat ke manik mata Caroline, ia tak berniat untuk mengalihkan pandangan sedikit pun. Benar-benar hanya Caroline yang menjadi objek penglihatannya. 

Hal itu membuat Caroline merasa gugup. Sebelumnya, tak ada seorang pun yang berhasil mengintimidasi Caroline, kecuali sang raja. Akan tetapi, tatapan Chaiden benar-benar baru baginya. Sepasang mata itu tampak meneduhkan di bawah kedua garis alis yang tegas, tetapi tatapan meneduhkan itu terlalu dalam. Memberikan kesan menakutkan dan romantis di saat yang bersamaan. 

"Apa yang akan kau lakukan?" lirih sekali suara yang Caroline keluarkan. Maklum saja, detak jantungnya semakin tak terkendali seiring dengan jarak yang semakin dekat di antara keduanya. 

Caroline nyaris tidak bisa bernapas, bahkan ia kehilangan wibawanya saat dengan lancang Chaiden menarik pinggulnya. Lengan lelaki itu yang lain berjalan di atasnya punggungnya dengan teramat pelan. Mulai dari punggung bagian bawah, hingga berakhir di punggung atas Caroline yang tak terbalut gaun. Otomatis telapak tangan Chaiden yang agak kasar bersentuhan langsung dengan punggungnya. Laki-laki itu menekan telapak tangannya di sana, sampai membuat Caroline terdorong mendekat. 

Tubuh keduanya benar-benar menempel, hanya tersisa jarak beberapa inci di antara wajah mereka. Caroline bisa merasakan hangat embusan napas Chaiden, bau roti dari tubuh laki-laki itu  menguar dan memenuhi penciumannya. Ia nyaris terbawa suasana dan hendak mencium bibir kenyal Chaiden, jika saja kekehan laki-laki itu tidak menggema di telinganya. 

"Yang kulakukan adalah mengamatimu, Nona," kekeh Chaiden sembari menyelipkan anak rambut Caroline ke belakang telinganya. 

"Dan apa yang sedang kau lakukan? Menikmati sentuhanku, hm?" 

Ejekan Chaiden membuat Caroline kembali menguasai kewarasannya, ia langsung mendorong dada bidang laki-laki itu kuat-kuat. Mundur satu langkah dan bersiap mengomeli Chaiden dengan berbagai kata sumpah serapah. Namun, laki-laki itu lebih dulu berkata, "Tidak usah menyangkal, matamu mengatakan segalanya tadi."

Caroline terdiam. Ia sungguh dibuat malu sekarang.

"Lain kali, jika ingin menggangguku jangan pada jam kerja. Datanglah ke tepi dermaga setiap pukul sembilan malam. Sampai jumpa, Nona," pungkas Chaiden, kemudian ia berlalu dari hadapan Caroline setelah memberi penghormatan. 

Perlahan bangunan-bangunan kerajaan di pandangan Caroline mengabur, semakin buram seiring menjauhnya Chaiden dari jangkauan. Sampai pada akhirnya, semuanya berubah menjadi putih, bahkan sosok Chaiden pun mengabur di pandangannya. Semakin jauh dan semakin tak terjangkau penglihatan. Kemudian, pemandangan di depannya berubah menjadi lapangan baseball, beberapa manusia tengah sibuk beraktivitas di sana. 

Di sisi lain Caroline pun sudah tak mengenakan gaun bangsawannya. Tak ada mahkota di kepalanya. Yang ada hanyalah topi baseball dan seragam olahraga khas Origin High School. 

Ia telah sepenuhnya kembali dari nostalgia masa lalu. Sebab di sinilah ia berada sekarang, lapangan baseball Origin High School, tengah menjalani mata pelajaran olahraga bersama teman-teman sekelasnya. Terlihat seperti gadis normal pada umumnya, tetapi ia jelas-jelas berbeda dari mereka.

Kringgg.... 

Bunyi bel berdering teramat nyaring, memenuhi seantero sekolah dan berhasil menghentikan kegiatan teman-teman sekelasnya. Banyak di antara mereka yang bergegas meninggalkan lapangan dan beralih menuju kafetaria, sedangkan sisanya tetap bermain baseball walaupun jam pelajaran telah usai. 

Tak usah bertanya mengenai Caroline, karena gadis itu masih bergeming di tempatnya. Memperhatikan seorang siswa yang masih sibuk dengan tongkat baseballnya, badannya sudah bermandi keringat. Tangannya bahkan berkali-kali mengusap kening, menghalau keringat yang hendak menyentuh matanya. Kedua alisnya yang tertaut pun turut menjadi perhatian Caroline dan ia berani bersumpah, bahwa setiap pahatan wajahnya sangat mirip dengan Chaiden. 

Tidak. Melainkan Caroline memang percaya kalau Garvin adalah Chaiden, kekasihnya. Seseorang yang Caroline pikir tidak akan melupakannya, meskipun telah lahir untuk yang kesekian kalinya. Namun, semesta memang tidak pernah suka melihatnya bahagia. Hingga untuk kesekian kalinya, Caroline bertemu dengan seseorang yang begitu penting di hidupnya, dan untuk kesekian kalinya pula, Caroline telah dilupakan begitu saja. 

Kenangan tentang hubungan mereka, benar-benar tak bersisa bagi Chaiden.

"Kenapa kau juga menjadi bagian dari mereka, orang-orang yang melupakanku, Mr. Chai?" 

***

"Hei, Carol!" 

Caroline menoleh ke sumber suara. Hasilnya, seorang laki-laki berambut pirang lah yang menyapa penglihatannya. Laki-laki itu bertubuh lebih pendek darinya, dengan wajah ceria yang menambah kesan imut dalam dirinya. Caroline sedikit tidak percaya kalau laki-laki itu adalah teman sekelasnya. 

"Ayo ikut denganku!" 

Laki-laki itu menarik lengan Caroline tanpa meminta izin terlebih dahulu. Caroline yang diperlakukan seperti itu, bergeming di tempatnya, bahkan ia menepis tangan laki-laki itu. 

"Kau siapa?"

Laki-laki itu memiringkan kepalanya, tatapannya tampak seperti bocah polos yang sedang terheran-heran. "Bukankah kita sudah pernah kenalan? Beberapa hari yang lalu, di hari pertamamu, kau lupa? Aku Frank, namaku Frank " 

"Ah, ya." 

"Karena kau tidak punya teman, jadi ayo ke kafetaria bersamaku."

Di kala laki-laki itu hendak menariknya lagi, Caroline menyela, "Aku ada urusan lain."

"Oh, ayolah, kau tidak diizinkan menolak, Nona." 

Lagi-lagi Frank hendak menarik pergelangan tangan Caroline lagi, tetapi kali ini seseorang melepasnya. Menepis tangan Frank dengan cara yang cukup kasar. 

"Dia tidak mau." 

Frank menatap Garvin tak suka, begitu pun sebaliknya. Atmosfer di sana mendadak agak menegangkan. Namun, yang Caroline lakukan hanyalah memperhatikan wajah Garvin. Menelusuri setiap lekuk wajah laki-laki itu dengan kedua bola matanya, hasilnya, dari sisi mana pun Caroline yakin dia adalah Chaiden. 

"Jangan ikut campur," tegas Frank dengan nada rendah yang sangat kontras dengan wajahnya. Image imut yang tadi melekat bak lenyap tertelan embusan angin. 

"Aku ada urusan dengannya, Frank," sela Caroline. Ia tidak sepenuhnya berbohong, karena memang harus ada yang dibicarakan antaranya dengan Garvin. 

"Tapi Carol—"

"Bisa tinggalkan kami berdua, Frank?" Pertanyaan Caroline yang satu ini dihiasi nada perintah yang teramat kentara. Ia benar-benar mengusir Frank rupanya. 

Dengan wajah tertekuk yang imut, Frank berlalu dari hadapan mereka. Menyisakan atmosfer canggung yang tercipta antara dua insan yang mendadak bisu itu. 

Tak ada sepatah kata pun yang berhasil lolos dari bibir Caroline. Suaranya entah hilang ke mana, ia malah tergagu memperhatikan Garvin. Sementara laki-laki itu pun mulai merasa risih dengan tatapan Caroline, sampai akhirnya ia membuka suara lebih dulu. "Bisa bertindak lebih sopan? Cukup kejadian semalam saja yang kelewatan, paham?" 

Caroline tersenyum kecut. Semalam, ia sungguh hilang kendali dan memeluk Garvin secara tiba-tiba. Akan tetapi, ia tak pernah mengira bahwa hal itu akan membuat laki-laki yang ia kira Chaiden merasa risih.

"Semudah itu kau melupakanku?" lirih Caroline, tetapi tetap berhasil masuk gendang telinga Garvin. 

"Apa semua yang sudah kita lalui setidak berharga itu?" 

Tidak ada sumpah serapah ataupun kata-kata kasar yang menjadi balasan dari Garvin. Laki-laki itu sama terdiamnya dengan Caroline. Ia memang merasa tidak pernah mengenal bahkan bertemu gadis itu sebelumnya, tetapi setiap tatapan dan kalimat yang gadis itu lontarkan, berhasil membuat sesuatu di dalam dirinya tersentil. 

Garvin tidak suka saat sepasang mata hazel itu menatapnya dengan luka yang amat kentara. Ada perasaan bersalah aneh setiap Garvin melihat Caroline. Dan sejak pertemuan pertama mereka semalam, tak dapat Garvin mungkiri bahwa ada sesuatu dari dalam diri Caroline yang seolah menariknya mendekat. 

Semua perasaan aneh yang Garvin rasakan, perlahan menimbulkan satu pertanyaan. Apa mereka memang pernah bertemu di kehidupan sebelumnya?

Akan tetapi, alih-alih menanyakan pertanyaan itu pada Caroline, atau mencari jawabannya seorang diri. Garvin justru bertukas, "Aku tidak percaya dengan ucapanmu." 

Rangkaian kata itu sukses membuat Caroline terbahak. Tipe tawa yang memilukan, alih-alih membahagiakan. Suara gadis itu pun berubah menjadi serak saat ia berkata, "Kalau bisa, aku akan membawamu ke masa lalu. Tempat di mana dunia hanya milik kita berdua."

***

Cr-Azy

I write this part in the middle of the night, dan gatau apakah isinya make sense haha. Hope u guys enjoy it (≧▽≦)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status