Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali.
"Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang.
"Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline.
"Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?"
"Mengamatimu."
Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!"
"Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom."
"Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong nan sarkas sepertimu disebut anggun dan baik hati?"
Caroline melihat ke arah buku yang tengah dipegang Chaiden. Buku itu menampilkan ilustrasi putri Oswald Kingdom, yang tak lain adalah dirinya, dengan kisah hidup yang menyertainya. Juga kata-kata yang mengagung-agungkan para penghuni istana, termasuk dirinya. Ternyata sedari tadi Chaiden membaca buku tentang orang-orang istana, dan laki-laki itu terpaku memperhatikan Caroline dalam bentuk gambar.
Chaiden kembali berbicara, "Hei, lihat! Mereka bahkan mengatakan kau memesona, sedangkan yang aku lihat kau benar-benar menjengkelkan."
"Beraninya kau!" Caroline menggeram.
Tak seberapa lama, Caroline mengambil paksa buku itu dan melemparnya ke sembarang arah. Setelah itu, suara khasnya yang dibalut amarah menyapa gendang telinga Chaiden.
"Jika ingin mengamatiku, kenapa tidak secara langsung?! Kenapa kau perhatikan gambar itu dan mengabaikanku? Apa aku terlihat lebih cantik saat di dalam kertas?!"
Napas Caroline tampak tersengal setelah mengucapkan kalimat itu. Ia benar-benar kesal. Sejak pertemuan pertamanya dengan Chaiden, laki-laki itu selalu saja mengabaikannya. Padahal, laki-laki lain di seluruh penjuru kerajaan sangat ingin bertemu dengan Caroline.
Setelah melihat Caroline selesai dengan ucapannya, Chaiden melangkah mendekat ke arah gadis itu. Pelan dan mengintimidasi. Tatapannya menusuk tepat ke manik mata Caroline, ia tak berniat untuk mengalihkan pandangan sedikit pun. Benar-benar hanya Caroline yang menjadi objek penglihatannya.
Hal itu membuat Caroline merasa gugup. Sebelumnya, tak ada seorang pun yang berhasil mengintimidasi Caroline, kecuali sang raja. Akan tetapi, tatapan Chaiden benar-benar baru baginya. Sepasang mata itu tampak meneduhkan di bawah kedua garis alis yang tegas, tetapi tatapan meneduhkan itu terlalu dalam. Memberikan kesan menakutkan dan romantis di saat yang bersamaan.
"Apa yang akan kau lakukan?" lirih sekali suara yang Caroline keluarkan. Maklum saja, detak jantungnya semakin tak terkendali seiring dengan jarak yang semakin dekat di antara keduanya.
Caroline nyaris tidak bisa bernapas, bahkan ia kehilangan wibawanya saat dengan lancang Chaiden menarik pinggulnya. Lengan lelaki itu yang lain berjalan di atasnya punggungnya dengan teramat pelan. Mulai dari punggung bagian bawah, hingga berakhir di punggung atas Caroline yang tak terbalut gaun. Otomatis telapak tangan Chaiden yang agak kasar bersentuhan langsung dengan punggungnya. Laki-laki itu menekan telapak tangannya di sana, sampai membuat Caroline terdorong mendekat.
Tubuh keduanya benar-benar menempel, hanya tersisa jarak beberapa inci di antara wajah mereka. Caroline bisa merasakan hangat embusan napas Chaiden, bau roti dari tubuh laki-laki itu menguar dan memenuhi penciumannya. Ia nyaris terbawa suasana dan hendak mencium bibir kenyal Chaiden, jika saja kekehan laki-laki itu tidak menggema di telinganya.
"Yang kulakukan adalah mengamatimu, Nona," kekeh Chaiden sembari menyelipkan anak rambut Caroline ke belakang telinganya.
"Dan apa yang sedang kau lakukan? Menikmati sentuhanku, hm?"
Ejekan Chaiden membuat Caroline kembali menguasai kewarasannya, ia langsung mendorong dada bidang laki-laki itu kuat-kuat. Mundur satu langkah dan bersiap mengomeli Chaiden dengan berbagai kata sumpah serapah. Namun, laki-laki itu lebih dulu berkata, "Tidak usah menyangkal, matamu mengatakan segalanya tadi."
Caroline terdiam. Ia sungguh dibuat malu sekarang.
"Lain kali, jika ingin menggangguku jangan pada jam kerja. Datanglah ke tepi dermaga setiap pukul sembilan malam. Sampai jumpa, Nona," pungkas Chaiden, kemudian ia berlalu dari hadapan Caroline setelah memberi penghormatan.
Perlahan bangunan-bangunan kerajaan di pandangan Caroline mengabur, semakin buram seiring menjauhnya Chaiden dari jangkauan. Sampai pada akhirnya, semuanya berubah menjadi putih, bahkan sosok Chaiden pun mengabur di pandangannya. Semakin jauh dan semakin tak terjangkau penglihatan. Kemudian, pemandangan di depannya berubah menjadi lapangan baseball, beberapa manusia tengah sibuk beraktivitas di sana.
Di sisi lain Caroline pun sudah tak mengenakan gaun bangsawannya. Tak ada mahkota di kepalanya. Yang ada hanyalah topi baseball dan seragam olahraga khas Origin High School.
Ia telah sepenuhnya kembali dari nostalgia masa lalu. Sebab di sinilah ia berada sekarang, lapangan baseball Origin High School, tengah menjalani mata pelajaran olahraga bersama teman-teman sekelasnya. Terlihat seperti gadis normal pada umumnya, tetapi ia jelas-jelas berbeda dari mereka.
Kringgg....
Bunyi bel berdering teramat nyaring, memenuhi seantero sekolah dan berhasil menghentikan kegiatan teman-teman sekelasnya. Banyak di antara mereka yang bergegas meninggalkan lapangan dan beralih menuju kafetaria, sedangkan sisanya tetap bermain baseball walaupun jam pelajaran telah usai.
Tak usah bertanya mengenai Caroline, karena gadis itu masih bergeming di tempatnya. Memperhatikan seorang siswa yang masih sibuk dengan tongkat baseballnya, badannya sudah bermandi keringat. Tangannya bahkan berkali-kali mengusap kening, menghalau keringat yang hendak menyentuh matanya. Kedua alisnya yang tertaut pun turut menjadi perhatian Caroline dan ia berani bersumpah, bahwa setiap pahatan wajahnya sangat mirip dengan Chaiden.
Tidak. Melainkan Caroline memang percaya kalau Garvin adalah Chaiden, kekasihnya. Seseorang yang Caroline pikir tidak akan melupakannya, meskipun telah lahir untuk yang kesekian kalinya. Namun, semesta memang tidak pernah suka melihatnya bahagia. Hingga untuk kesekian kalinya, Caroline bertemu dengan seseorang yang begitu penting di hidupnya, dan untuk kesekian kalinya pula, Caroline telah dilupakan begitu saja.
Kenangan tentang hubungan mereka, benar-benar tak bersisa bagi Chaiden.
"Kenapa kau juga menjadi bagian dari mereka, orang-orang yang melupakanku, Mr. Chai?"
***
"Hei, Carol!"
Caroline menoleh ke sumber suara. Hasilnya, seorang laki-laki berambut pirang lah yang menyapa penglihatannya. Laki-laki itu bertubuh lebih pendek darinya, dengan wajah ceria yang menambah kesan imut dalam dirinya. Caroline sedikit tidak percaya kalau laki-laki itu adalah teman sekelasnya.
"Ayo ikut denganku!"
Laki-laki itu menarik lengan Caroline tanpa meminta izin terlebih dahulu. Caroline yang diperlakukan seperti itu, bergeming di tempatnya, bahkan ia menepis tangan laki-laki itu.
"Kau siapa?"
Laki-laki itu memiringkan kepalanya, tatapannya tampak seperti bocah polos yang sedang terheran-heran. "Bukankah kita sudah pernah kenalan? Beberapa hari yang lalu, di hari pertamamu, kau lupa? Aku Frank, namaku Frank "
"Ah, ya."
"Karena kau tidak punya teman, jadi ayo ke kafetaria bersamaku."
Di kala laki-laki itu hendak menariknya lagi, Caroline menyela, "Aku ada urusan lain."
"Oh, ayolah, kau tidak diizinkan menolak, Nona."
Lagi-lagi Frank hendak menarik pergelangan tangan Caroline lagi, tetapi kali ini seseorang melepasnya. Menepis tangan Frank dengan cara yang cukup kasar.
"Dia tidak mau."
Frank menatap Garvin tak suka, begitu pun sebaliknya. Atmosfer di sana mendadak agak menegangkan. Namun, yang Caroline lakukan hanyalah memperhatikan wajah Garvin. Menelusuri setiap lekuk wajah laki-laki itu dengan kedua bola matanya, hasilnya, dari sisi mana pun Caroline yakin dia adalah Chaiden.
"Jangan ikut campur," tegas Frank dengan nada rendah yang sangat kontras dengan wajahnya. Image imut yang tadi melekat bak lenyap tertelan embusan angin.
"Aku ada urusan dengannya, Frank," sela Caroline. Ia tidak sepenuhnya berbohong, karena memang harus ada yang dibicarakan antaranya dengan Garvin.
"Tapi Carol—"
"Bisa tinggalkan kami berdua, Frank?" Pertanyaan Caroline yang satu ini dihiasi nada perintah yang teramat kentara. Ia benar-benar mengusir Frank rupanya.
Dengan wajah tertekuk yang imut, Frank berlalu dari hadapan mereka. Menyisakan atmosfer canggung yang tercipta antara dua insan yang mendadak bisu itu.
Tak ada sepatah kata pun yang berhasil lolos dari bibir Caroline. Suaranya entah hilang ke mana, ia malah tergagu memperhatikan Garvin. Sementara laki-laki itu pun mulai merasa risih dengan tatapan Caroline, sampai akhirnya ia membuka suara lebih dulu. "Bisa bertindak lebih sopan? Cukup kejadian semalam saja yang kelewatan, paham?"
Caroline tersenyum kecut. Semalam, ia sungguh hilang kendali dan memeluk Garvin secara tiba-tiba. Akan tetapi, ia tak pernah mengira bahwa hal itu akan membuat laki-laki yang ia kira Chaiden merasa risih.
"Semudah itu kau melupakanku?" lirih Caroline, tetapi tetap berhasil masuk gendang telinga Garvin.
"Apa semua yang sudah kita lalui setidak berharga itu?"
Tidak ada sumpah serapah ataupun kata-kata kasar yang menjadi balasan dari Garvin. Laki-laki itu sama terdiamnya dengan Caroline. Ia memang merasa tidak pernah mengenal bahkan bertemu gadis itu sebelumnya, tetapi setiap tatapan dan kalimat yang gadis itu lontarkan, berhasil membuat sesuatu di dalam dirinya tersentil.
Garvin tidak suka saat sepasang mata hazel itu menatapnya dengan luka yang amat kentara. Ada perasaan bersalah aneh setiap Garvin melihat Caroline. Dan sejak pertemuan pertama mereka semalam, tak dapat Garvin mungkiri bahwa ada sesuatu dari dalam diri Caroline yang seolah menariknya mendekat.
Semua perasaan aneh yang Garvin rasakan, perlahan menimbulkan satu pertanyaan. Apa mereka memang pernah bertemu di kehidupan sebelumnya?
Akan tetapi, alih-alih menanyakan pertanyaan itu pada Caroline, atau mencari jawabannya seorang diri. Garvin justru bertukas, "Aku tidak percaya dengan ucapanmu."
Rangkaian kata itu sukses membuat Caroline terbahak. Tipe tawa yang memilukan, alih-alih membahagiakan. Suara gadis itu pun berubah menjadi serak saat ia berkata, "Kalau bisa, aku akan membawamu ke masa lalu. Tempat di mana dunia hanya milik kita berdua."
***
I write this part in the middle of the night, dan gatau apakah isinya make sense haha. Hope u guys enjoy it (≧▽≦)
Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden."Melamun lagi, huh?"Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di si
"Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk
Caroline sedang merapikan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, saat embusan angin datang bersama seseorang yang menyerukan namanya. Orang itu berambut pirang dan berwajah ceria saat menyapa Caroline. "Carol!" Caroline yang saat ini meraih jaket hitam lusuh untuk dikenakan tidak sedikit pun memberi Frank balasan. Tidak dengan bergumam ataupun melirik meski hanya sebentar. Kendati demikian, laki-laki berambut pirang itu tidak sedikit pun kehilangan keceriaannya. Masih dengan nada bersemangat yang serupa ia mengajak, "Ayo ke perpustakaan hari ini." "Aku tidak ke sana," balas Caroline tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. "Tidak jadi menemui Dorothy?" Mata biru langit milik Frank menatap penuh tanda tanya tepat ke arah mata hazel gadis di depannya. Yang membuat Caroline nyaris berdecak kagum karena keindahan matanya. "Hm." "Ada apa? Bukankah kasusmu harus diselesaikan?" "Kasus?" Kali ini gadis bermata hazel yang menampilkan tatapan bertanya. Antara merasa h
"Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Oswald."Frank benar, Caroline pun sepemikiran dengannya. Ia tidak pernah menyangka—dan cukup yakin orang lain pun sama—ada tempat seperti ini di Kota Oswald. Arsitekturnya terlihat sangat kuno—seperti telah di desain sejak puluhan ribu tahun lalu—dengan warna krem dan cokelat keemasan yang mendominasi. Meskipun warnanya telah kusam dimakan cuaca dan usia, tetapi tetap tidak menghilangkan kesan mewah sekaligus tradisionalnya.Bangunan-bangunan yang menjulang berhimpitan itu mirip pertokoan yang dulu pernah ia lihat di Oswald Kingdom, London merupakan salah satu tempat yang menurut Caroline menyerupai Oswald. "Ini pasar?" cetus Caroline saat ia yakin kalau tempat yang saat ini mereka jelajahi memang sebuah pasar. Sadar bahwa ia yang dihadiahi pertanyaan, secara refleks Garvin menoleh ke arah gadis di sampingnya. Mata cokelat terang yang dibingkai sepasang alis tebal itu menatap Caroline dalam. "Ya, dulunya." Caroli
A Place Without A Name***Caroline semakin menggila, gerak bibirnya semakin brutal. Begitu pun dengan Chaiden, pandangannya sudah dipenuhi api gairah yang Caroline tidak yakin laki-laki itu bisa menahannya. Tepat ketika Chaiden mengecup leher jenjang Caroline, saat itu pula Caroline terkekeh sembari berkata, "Kita tidak mungkin melakukannya di sini, 'kan?" Ini hutan. Caroline cukup yakin ada banyak binatang buas di dalamnya. Lagi pula, terlalu sembrono jika mereka harus melakukannya di sini. Maksudnya, hei, Caroline adalah seorang putri mahkota, ia bisa melakukannya di tempat yang lebih layak. Akan tetapi, Caroline tidak yakin Chaiden mendengarkan. Laki-laki itu tetap dengan aktivitasnya. Lidahnya menelusuri kulit putih Caroline dari mulai tulang selangka sampai ke belakang telinga. Begitu berulang-ulang sampai-sampai Caroline tak mampu menahan desahannya. Ia juga tidak sanggup untuk menolak—karena ia pun menginginkannya—alhasil ia hanya menengadah dengan jari-jemari yang terus memai
Suasana di dalam panti asuhan sungguh di luar perkiraan Caroline. Ia pikir suasananya akan sedikit menyeramkan atau setidaknya keheningan tanpa alasan akan menyambut mereka. Akan tetapi, yang menyambut mereka adalah segerombolan anak-anak. Anak-anak itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mencoret-coret tembok, bermain kejar-kejaran, saling melempar makanan ke wajah satu sama lain, dan yang paling Caroline tidak habis pikir adalah...."Hei, lihat! Apa yang sedang dilakukan bocah itu?!" Frank berteriak sambil menunjuk anak laki-laki yang berada di atas lemari. Anak laki-laki itu juga yang membuat Caroline tidak habis pikir dengan tingkahnya. Lemari yang dinaikinya berada tepat di belakang meja resepsionis dan berisi pelbagai macam dokumen. Seorang pegawai—yang Caroline duga adalah resepsionis—sedang membujuknya agar mau turun. Dari arah lorong beberapa pegawai atau mungkin para suster berdatangan, sebagian dari mereka meminta anak-anak untuk tenang dan kembali ke kam
Lampu-lampu mulai mati secara otomatis, menyisakan lentera tradisonal yang terpasang di sepanjang lorong. Tidak terlalu membantu sebenarnya. Lorong-lorong panjang itu tetap didominasi kegelapan dan suasana terasa hampa. Garvin sendiri kehilangan kata-kata untuk waktu yang cukup lama. Mungkin pelbagai hal menjadi pertimbangannya. Caroline sudah tidak berharap banyak saat Garvin berujar, "Aku tidak tahu jawaban yang kau harapkan, tetapi, ya. Dia bukan ayahku." Dunia seperti berhenti berputar, indra-indra Caroline bak berhenti berfungsi untuk sesaat. Ada sesuatu yang menjalari tubuhnya, yang membuat darahnya terasa berdesir. Entah perasaan macam apa yang saat ini bertahkta di hatinya. Akan tetapi, saat ini ia cukup yakin kalau Garvin bukan Chaiden. Atau dengan kata lain, ia mulai begitu goyah, mungkin dugaannya selama ini salah. Meskipun reinkarnasi terjadi, tetapi biasanya tidak banyak hal yang berubah. Beberapa orang yang semasa hidupnya baik hanya terlahir kembali untuk membuat memo
Berada di dalam kamar bersama seorang laki-laki bukan sesuatu yang baru bagi Caroline. Ia pernah beberapa kali di situasi yang sama, bahkan lebih buruk, saat tengah membantu Oriel menyelesaikan kasusnya. Yah, pada beberapa waktu hidupnya berganti genre menjadi action. Untuk saat ini, ia tidak tahu jenis film apa yang sedang diputar di hidupnya. Terlalu banyak misteri dan membuatnya bingung, sebenarnya apa yang sedang ia cari? Ia nyaris lupa kalau tujuannya menemui Dorothy adalah untuk menyelidiki kematian Adrian. Mungkin karena Caroline terlalu sering memikirkan masa lalu beberapa waktu terakhir. "Aku akan tidur di sofa," cetus Garvin yang baru saja mengambil selimut dari dalam lemari. "Belum saatnya untuk istirahat."Tentu saja Garvin tidak mengerti dengan perkataan Caroline, jadi ia hanya menatap gadis itu dengan tatapan bertanya tanpa benar-benar mempertanyakan kebingungannya. "Kau belum menjelaskan tentang Cecilia."Caroline benar. Sejak perdebatan mereka tadi, Garvin tidak sed