Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?
Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden.
"Melamun lagi, huh?"
Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di sisinya. Gelagat laki-laki itu terlihat aneh, ia seperti mengetahui sesuatu yang selama ini Caroline sembunyikan. Bahkan lebih parahnya, si Pirang mungkin saja mengetahui lebih banyak dari yang Caroline kira. Oleh sebab itu, Caroline harus waspada dan mengawasi si Pirang tanpa jeda.
"Kau mengenal pustakawanti di sana?"
Sontak Caroline ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Frank. Di sana ia melihat seorang wanita berumur, yang seharusnya sudah dalam masa pensiun, sedang merapikan susunan buku-buku di rak. Beberapa buku dari keranjang dorong yang ia bawa ditaruh di rak sesuai kode yang tertera. Langkah kakinya pelan, tetapi Caroline yakin wanita itu pernah sangat menawan dan berjalan penuh percaya diri pada masa mudanya. Sampai sekarang, aura memikatnya masih terasa walaupun aura menyeramkannya lebih kentara.
"Kulihat dia sering memperhatikanmu," cetus Frank berhasil membuat Caroline menoleh. Hanya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Caroline kembali sibuk dengan novel di tangannya.
Niat Caroline terhenti, ia yang berniat menenggelamkan pikirannya di antara diksi-diksi sontak langsung menegak dan tergugu di tempatnya. Membuat si Pirang bertanya, "Ada apa?"
Kali ini Caroline membalas dengan kalimat yang cukup panjang. "Apakah pustakawanti itu yang paling tua di sini?"
Kedua alis Frank berkerut dibuatnya. "Tidak baik membahas usia seseorang."
"Apa dia paling senior?" Caroline mengubah pertanyaannya, tetapi ia akan tetap mendapat jawaban yang sama.
Melihat anggukan dari manusia berambut pirang di depannya sukses membuat seukir senyum terbit di wajahnya. Sudah cukup waktunya terbuang sia-sia beberapa hari terakhir, sekarang sudah saatnya Caroline bekerja lagi.
Tanpa menunggu banyak waktu atau memikirkannya dahulu, Caroline langsung bangkit dari duduknya. Ia melangkah pasti menghampiri sang pustakawanti. Sebisa mungkin Caroline menepis aura menakutkan yang tiba-tiba terasa mengelilinginya. Sudah berapa lama, sih, ia hidup? Kenapa ia kembali terusik dengan aura yang dimiliki seseorang?
Ah, entah mengapa, di Kota Oswald Caroline merasa seperti baru hidup untuk pertama kalinya. Maksudnya, ia benar-benar seperti baru menginjak usia 17 tahun.
"Saya bantu ya, Bu?"
Gerakan wanita tua itu sedikit lambat saat akan menoleh ke arah Caroline. Tatapannya langsung mengarah tepat ke bola mata gadis di hadapannya, mengunci iris hazel itu untuk balik menatap matanya. Beberapa detik berlalu mereka lewati dengan keheningan, sang Pustakawanti sama sekali tidak mengeluarkan suara dan malah menatap Caroline dengan tatapan yang aneh. Seperti wanita itu baru saja menemukan sesuatu di mata hazel Caroline, mungkin sebuah masa depan? Pustakawanti itu lebih terlihat seperti peramal soalnya.
"Sebaiknya kau kembali ke tempatmu, Nak." Suara sang Pustakawanti terdengar berat dan dalam secara bersamamaan.
Seulas senyum Caroline tampilkan. "Aku sedang tidak memiliki kegiatan, Bu. Jadi boleh saya bantu?"
Pada akhirnya, sang Pustakawanti mengangguk-angguk sembari memberi isyarat agar Caroline mendorong keranjang berisi tumpukan buku di depannya. Tanpa menunggu kalimat perintah, Caroline yang mengerti isyarat itu langsung mendorong keranjang dengan perlahan. Sepasang kakinya mengikuti ke mana pun sang Pustakawanti melangkah. Beranjak dari rak satu ke rak lainnya, dan meneliti setiap judul buku yang dilaluinya.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Caroline memutar bola mata malas. Ia sama sekali tidak terkejut dengan bisikan tiba-tiba itu, ia sudah bisa menduga siapa pelakunya. Siapa lagi jika bukan si Pirang?
"Kelihatannya?" ketus Caroline sambil kembali mendorong keranjang roda.
"Kelihatannya ada seorang gadis cantik yang saat ini sedang bermandi peluh, dia berada tepat di hadap-"
"Stop, Frank. Kali ini bisa tinggalkan aku sendiri?" potong Caroline dengan tatapan menusuk yang ia layangkan kepada si Pirang.
Alih-alih merasa terintimidasi Frank malah menampilkan wajah polosnya, yang Caroline yakin hanya dibuat-buat tetapi berhasil terlihat nyata.
"Kalau begitu, aku harus meminta semua orang di dalam perpustakaan ini pergi agar kau bisa sendiri."
Tepat setelah Frank menyelesaikan ucapannya, di tengah-tengah perpustakaan, di antara orang-orang yang sibuk membaca buku, Frank berseru, "Semuanya!"
Nyaris semua orang menoleh ke arah Frank, beberapa di antaranya melayangkan tatapan tidak suka. Bahkan, ada seorang guru yang kebetulan berada di sana dan langsung menatap tajam Frank, memberi isyarat "Jangan berisik" melalui caranya menatap. Hanya ada beberapa yang tidak acuh sambil tetap membaca buku.
Sebelum Frank mengeluarkan kalimat berikutnya dan menarik perhatian orang-orang lagi, Caroline menarik laki-laki itu bersembunyi di salah satu rak. Ia mendorong si Pirang hingga terpojok.
"Kau benar-benar gila," tukas Caroline penuh penekanan.
Lagi-lagi Frank menampilkan wajah polos yang terlihat nyata. "Kau yang memintaku untuk meninggalkanmu sendiri."
"Itu artinya kau harus pergi, Dasar Bocah."
Frank baru saja hendak membela diri saat tiba-tiba seseorang datang, membuatnya menelan rangkaian kata yang sudah berada di kerongkongan kembali. Sementara Caroline sendiri hanya bisa tergagu di tempatnya berdiri. Jika yang ada di depan sana adalah Chaiden, sudah pasti ia akan gelagapan karena takut Chaiden salah paham. Akan tetapi, yang berdiri beberapa langkah dari posisinya saat ini adalah sosok berwajah Chaiden, membuat Caroline kebingungan dengan reaksi yang harus ia tampilkan. Meskipun sebenarnya ia tidak perlu repot-repot bereaksi.
Caroline berniat pura-pura tak peduli dan hendak kembali melakukan tugasnya, mendorong keranjang roda, tetapi Garvin lagi-lagi menginterupsi. Kali ini dengan kalimatnya yang berbunyi, "Perpustakaan bukan tempat pacaran."
Dengan wajah yang berubah kaku dan cuek, Frank membalas, "Sayang sekali kau harus melihat ini."
Sedetik kemudian Frank menarik lengan Caroline dan mengecup kening gadis itu, sangat cepat dan tanpa aba-aba. Meninggalkan rasa lembab yang berhasil Caroline rasakan. Anehnya, Caroline tidak marah. Sesuatu di dalam dirinya seperti menolak untuk memaki Frank. Padahal mencium seseorang tanpa izin adalah pelecehan.
***
Perbuatan Frank kemarin masih menyisakan suasana canggung antara Caroline dan Garvin. Masih terekam jelas di memorinya saat wajah Garvin memerah menahan amarah, serta sebelah tangannya yang meremas novel bawaannya begitu kuat. Entah apa yang membuat Garvin sebegitu emosi hanya karena melihat Frank mencium keningnya. Hal itu hanya memperkuat dugaan Caroline tentang jati diri Garvin.
Beberapa hari belakangan, semesta memang sedang senang mempermainkannya. Mempertemukan Caroline dengan orang-orang dari masa lalu adalah salah satu cara semesta bermain. Jadi, tidak ada salahnya kalau Caroline berpikir ini juga bagian dari permainan semesta, 'kan?
Yang sekarang duduk di sampingnya benar-benar Chaiden kekasihnya, hanya saja semesta mempermainkan Caroline (lagi) dengan menghadirkan laki-laki itu bersama nama yang berbeda. Licik. Akan tetapi, kali ini Caroline tidak akan terkecoh. Kalaupun Mr. Blackton telah benar-benar melupakannya, maka Caroline akan membuat laki-laki itu kembali jatuh cinta padanya.
"Kau mau membuktikannya?" Caroline memecah keheningan yang ada di antara mereka; ia dan Garvin.
Kalimat yang meluncur dari bibirnya sukses menginterupsi Garvin. Laki-laki itu langsung membuka topi yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajah tertidurnya. Kini tatapan mereka saling bertemu. Mata hazel milik Caroline jelas masih menyimpan kekaguman yang sama pada mata cokelat terang milik Garvin. Untuk beberapa saat, baik Caroline maupun Garvin sama-sama menikmati sensasi yang mereka dapatkan dari memandang satu sama lain. Enggan rasanya memutus kontak mata yang sudah lama tak terjalin itu. Sayangnya, hal itu merupakan pengecualian bagi Frank.
"Ehem!" Entah datang dari mana si Pirang itu, tiba-tiba saja dia sudah duduk di meja Caroline. Memutus kontak mata antara Caroline dan Garvin secara paksa.
Caroline yang merasa terganggu dengan kehadiran Frank berdecak kecil. Frank benar-benar perwujudan dari pengganggu yang sesungguhnya.
"Carol, jadi menemui pustakawanti yang kemarin?"
Entah Caroline yang terlalu lama memikirkan jawaban dari pertanyaan Frank atau justru Garvin yang terlalu cepat menjawab, "Aku bisa membantumu bertemu Dorothy."
Seketika Caroline menoleh ke arah Garvin dan melemparkan tanya, "Kau mengenalnya?"
Sebagai balasan dari pertanyaan Caroline, Garvin hanya memberikan satu anggukan pasti. Sementara Caroline sendiri dibuat kebingungan, ia menoleh ke arah Garvin dan Frank secara bergantian. Saat itu pula ia menemukan raut muka aneh dari wajah Frank, laki-laki itu terlihat sangat tidak suka dengan apa yang dilakukan Garvin. Raut yang terlihat begitu berlebihan, seperti ia memiliki dendam tersendiri pada anak baru itu (Garvin).
Sebetulnya, Caroline tidak perlu berpikir ribuan kali untuk menentukan dengan siapa ia akan pergi, tetapi lagi-lagi ada sesuatu yang menghalanginya. Bagaimanapun Caroline masih teramat yakin kalau ada sesuatu yang diketahui oleh Frank. Akan sangat membantu jika dugaannya benar.
Merasa tidak ada pilihan lain, Caroline akhirnya berujar, "Maaf sekali, tapi kurasa aku akan pergi menemui pustakawanti itu bersama Frank."
"Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk
Caroline sedang merapikan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, saat embusan angin datang bersama seseorang yang menyerukan namanya. Orang itu berambut pirang dan berwajah ceria saat menyapa Caroline. "Carol!" Caroline yang saat ini meraih jaket hitam lusuh untuk dikenakan tidak sedikit pun memberi Frank balasan. Tidak dengan bergumam ataupun melirik meski hanya sebentar. Kendati demikian, laki-laki berambut pirang itu tidak sedikit pun kehilangan keceriaannya. Masih dengan nada bersemangat yang serupa ia mengajak, "Ayo ke perpustakaan hari ini." "Aku tidak ke sana," balas Caroline tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. "Tidak jadi menemui Dorothy?" Mata biru langit milik Frank menatap penuh tanda tanya tepat ke arah mata hazel gadis di depannya. Yang membuat Caroline nyaris berdecak kagum karena keindahan matanya. "Hm." "Ada apa? Bukankah kasusmu harus diselesaikan?" "Kasus?" Kali ini gadis bermata hazel yang menampilkan tatapan bertanya. Antara merasa h
"Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Oswald."Frank benar, Caroline pun sepemikiran dengannya. Ia tidak pernah menyangka—dan cukup yakin orang lain pun sama—ada tempat seperti ini di Kota Oswald. Arsitekturnya terlihat sangat kuno—seperti telah di desain sejak puluhan ribu tahun lalu—dengan warna krem dan cokelat keemasan yang mendominasi. Meskipun warnanya telah kusam dimakan cuaca dan usia, tetapi tetap tidak menghilangkan kesan mewah sekaligus tradisionalnya.Bangunan-bangunan yang menjulang berhimpitan itu mirip pertokoan yang dulu pernah ia lihat di Oswald Kingdom, London merupakan salah satu tempat yang menurut Caroline menyerupai Oswald. "Ini pasar?" cetus Caroline saat ia yakin kalau tempat yang saat ini mereka jelajahi memang sebuah pasar. Sadar bahwa ia yang dihadiahi pertanyaan, secara refleks Garvin menoleh ke arah gadis di sampingnya. Mata cokelat terang yang dibingkai sepasang alis tebal itu menatap Caroline dalam. "Ya, dulunya." Caroli
A Place Without A Name***Caroline semakin menggila, gerak bibirnya semakin brutal. Begitu pun dengan Chaiden, pandangannya sudah dipenuhi api gairah yang Caroline tidak yakin laki-laki itu bisa menahannya. Tepat ketika Chaiden mengecup leher jenjang Caroline, saat itu pula Caroline terkekeh sembari berkata, "Kita tidak mungkin melakukannya di sini, 'kan?" Ini hutan. Caroline cukup yakin ada banyak binatang buas di dalamnya. Lagi pula, terlalu sembrono jika mereka harus melakukannya di sini. Maksudnya, hei, Caroline adalah seorang putri mahkota, ia bisa melakukannya di tempat yang lebih layak. Akan tetapi, Caroline tidak yakin Chaiden mendengarkan. Laki-laki itu tetap dengan aktivitasnya. Lidahnya menelusuri kulit putih Caroline dari mulai tulang selangka sampai ke belakang telinga. Begitu berulang-ulang sampai-sampai Caroline tak mampu menahan desahannya. Ia juga tidak sanggup untuk menolak—karena ia pun menginginkannya—alhasil ia hanya menengadah dengan jari-jemari yang terus memai
Suasana di dalam panti asuhan sungguh di luar perkiraan Caroline. Ia pikir suasananya akan sedikit menyeramkan atau setidaknya keheningan tanpa alasan akan menyambut mereka. Akan tetapi, yang menyambut mereka adalah segerombolan anak-anak. Anak-anak itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mencoret-coret tembok, bermain kejar-kejaran, saling melempar makanan ke wajah satu sama lain, dan yang paling Caroline tidak habis pikir adalah...."Hei, lihat! Apa yang sedang dilakukan bocah itu?!" Frank berteriak sambil menunjuk anak laki-laki yang berada di atas lemari. Anak laki-laki itu juga yang membuat Caroline tidak habis pikir dengan tingkahnya. Lemari yang dinaikinya berada tepat di belakang meja resepsionis dan berisi pelbagai macam dokumen. Seorang pegawai—yang Caroline duga adalah resepsionis—sedang membujuknya agar mau turun. Dari arah lorong beberapa pegawai atau mungkin para suster berdatangan, sebagian dari mereka meminta anak-anak untuk tenang dan kembali ke kam
Lampu-lampu mulai mati secara otomatis, menyisakan lentera tradisonal yang terpasang di sepanjang lorong. Tidak terlalu membantu sebenarnya. Lorong-lorong panjang itu tetap didominasi kegelapan dan suasana terasa hampa. Garvin sendiri kehilangan kata-kata untuk waktu yang cukup lama. Mungkin pelbagai hal menjadi pertimbangannya. Caroline sudah tidak berharap banyak saat Garvin berujar, "Aku tidak tahu jawaban yang kau harapkan, tetapi, ya. Dia bukan ayahku." Dunia seperti berhenti berputar, indra-indra Caroline bak berhenti berfungsi untuk sesaat. Ada sesuatu yang menjalari tubuhnya, yang membuat darahnya terasa berdesir. Entah perasaan macam apa yang saat ini bertahkta di hatinya. Akan tetapi, saat ini ia cukup yakin kalau Garvin bukan Chaiden. Atau dengan kata lain, ia mulai begitu goyah, mungkin dugaannya selama ini salah. Meskipun reinkarnasi terjadi, tetapi biasanya tidak banyak hal yang berubah. Beberapa orang yang semasa hidupnya baik hanya terlahir kembali untuk membuat memo
Berada di dalam kamar bersama seorang laki-laki bukan sesuatu yang baru bagi Caroline. Ia pernah beberapa kali di situasi yang sama, bahkan lebih buruk, saat tengah membantu Oriel menyelesaikan kasusnya. Yah, pada beberapa waktu hidupnya berganti genre menjadi action. Untuk saat ini, ia tidak tahu jenis film apa yang sedang diputar di hidupnya. Terlalu banyak misteri dan membuatnya bingung, sebenarnya apa yang sedang ia cari? Ia nyaris lupa kalau tujuannya menemui Dorothy adalah untuk menyelidiki kematian Adrian. Mungkin karena Caroline terlalu sering memikirkan masa lalu beberapa waktu terakhir. "Aku akan tidur di sofa," cetus Garvin yang baru saja mengambil selimut dari dalam lemari. "Belum saatnya untuk istirahat."Tentu saja Garvin tidak mengerti dengan perkataan Caroline, jadi ia hanya menatap gadis itu dengan tatapan bertanya tanpa benar-benar mempertanyakan kebingungannya. "Kau belum menjelaskan tentang Cecilia."Caroline benar. Sejak perdebatan mereka tadi, Garvin tidak sed
"Aku baik-baik saja," tukas Caroline beberapa menit setelah Garvin meminjamkan dada bidangnya. Entah bagaimana, Caroline pun tak tahu-menahu, tiba-tiba saja laki-laki itu mendekapnya erat. Sangat erat sampai rasanya Caroline bisa mati mendadak. Padahal Caroline tidak menangis mau pun terisak, atau melakukan apa pun yang dapat membangunkan laki-laki itu. Garvin diam saja, dia mungkin kehilangan pita suaranya. Dia tidak berbicara apa pun sejak memeluk Caroline. Merasa canggung di keadaan yang seperti itu, Caroline berusaha melepas pelukan Garvin. Akan tetapi, laki-laki itu malah mengeratkan pelukannya sambil berbisik, "Biarkan aku memelukmu."Caroline terdiam sejenak. "Aku baik-baik saja," ungkapnya, "sungguh.""Aku ingin memelukmu sedikit lebih lama," balas Garvin sambil kembali mengeratkan dekapannya. Sekarang Caroline sadar, Garvin memeluknya bukan untuk menenangkannya, melainkan karena Garvin membutuhkannya. Tidak tahu ada hal apa yang telah terjadi, mungkin saja kembali ke sini m