Halooo, adakah yang sudi membaca tulisan saya? Hahahah. Anyway, hope you guys enjoy. Kalau ada kritik dan saran, tinggalkan di kolom komentar. Jangan lupa voteee!!! <333
Berada di dalam kamar bersama seorang laki-laki bukan sesuatu yang baru bagi Caroline. Ia pernah beberapa kali di situasi yang sama, bahkan lebih buruk, saat tengah membantu Oriel menyelesaikan kasusnya. Yah, pada beberapa waktu hidupnya berganti genre menjadi action. Untuk saat ini, ia tidak tahu jenis film apa yang sedang diputar di hidupnya. Terlalu banyak misteri dan membuatnya bingung, sebenarnya apa yang sedang ia cari? Ia nyaris lupa kalau tujuannya menemui Dorothy adalah untuk menyelidiki kematian Adrian. Mungkin karena Caroline terlalu sering memikirkan masa lalu beberapa waktu terakhir. "Aku akan tidur di sofa," cetus Garvin yang baru saja mengambil selimut dari dalam lemari. "Belum saatnya untuk istirahat."Tentu saja Garvin tidak mengerti dengan perkataan Caroline, jadi ia hanya menatap gadis itu dengan tatapan bertanya tanpa benar-benar mempertanyakan kebingungannya. "Kau belum menjelaskan tentang Cecilia."Caroline benar. Sejak perdebatan mereka tadi, Garvin tidak sed
"Aku baik-baik saja," tukas Caroline beberapa menit setelah Garvin meminjamkan dada bidangnya. Entah bagaimana, Caroline pun tak tahu-menahu, tiba-tiba saja laki-laki itu mendekapnya erat. Sangat erat sampai rasanya Caroline bisa mati mendadak. Padahal Caroline tidak menangis mau pun terisak, atau melakukan apa pun yang dapat membangunkan laki-laki itu. Garvin diam saja, dia mungkin kehilangan pita suaranya. Dia tidak berbicara apa pun sejak memeluk Caroline. Merasa canggung di keadaan yang seperti itu, Caroline berusaha melepas pelukan Garvin. Akan tetapi, laki-laki itu malah mengeratkan pelukannya sambil berbisik, "Biarkan aku memelukmu."Caroline terdiam sejenak. "Aku baik-baik saja," ungkapnya, "sungguh.""Aku ingin memelukmu sedikit lebih lama," balas Garvin sambil kembali mengeratkan dekapannya. Sekarang Caroline sadar, Garvin memeluknya bukan untuk menenangkannya, melainkan karena Garvin membutuhkannya. Tidak tahu ada hal apa yang telah terjadi, mungkin saja kembali ke sini m
Keadaan menjadi lebih canggung antara Caroline dan Garvin setelah peristiwa tadi malam. Caroline tidak tahu yang saat ini ia rasakan sejenis penyesalan atau bukan, tetapi ia menyadari dengan betul kalau di dalam hatinya ada sedikit ketakutan. Ia takut kalau Garvin bukan Chaiden. Entah hal apa yang membuatnya begitu yakin semalam dan malah dilanda keraguan pagi ini. "Ehm, Dorothy mungkin menunggu," kata Garvin mengalihkan perhatian Caroline. Laki-laki itu tampaknya sudah selesai dengan ritual paginya—mandi—saat ini ia sudah mengenakan setelan baru. Kaus putih dan celana jins cokelat membuatnya terlihat sederhana dan tampan di saat yang bersamamaan. Akan tetapi, bahkan ketampanannya kali ini tidak mampu menghilangkan resah di hati Caroline. "Ehm, ya," cicit gadis itu sembari mengeratkan kardigan rajut cokelat tua yang dikenakannya. Beberapa saat kemudian ia beranjak dari duduknya, mengikuti Garvin yang sudah lebih dulu melangkah ke luar kamar. Pagi ini mereka harus bertemu Dorothy m
Frank tidak membiarkan perjalanan pulang mereka diselimuti keheningan, ia sudah siap dengan berbagai pertanyaan. Dan pertanyaan pertamanya adalah, "Bagaimana? Kau sudah menemukan yang kau cari?"Tentu saja Caroline sudah tahu pertanyaan seperti itu akan didengarnya. Oleh sebab itu ia meminta buku kepada Dorothy, yang entah bagaimana wanita tua itu memiliki buku langka Oswald. Tidak tahu dia sudah pernah membacanya atau tidak. Akan tetapi, Caroline berharap opsi kedua yang menunjukkan kebenaran, karena kalau Dorothy sudah membacanya, dia pasti melihat wajah Caroline di dalam buku itu. Kalaupun opsi pertama yang benar, Caroline berharap wanita tua itu cukup pikun untuk melupakan keseluruhan isi bukunya. "Ini." Caroline menunjukkan buku yang tadi diambilnya dari Dorothy. Tales of Royal Aristocrat dicetak dalam ratusan—bahkan ribuan pada masanya. Seiring bergulirnya zaman buku itu masih terkenal dan beberapa dicetak dalam bentuk yang lebih modern, tetapi yang Caroline pegang saat ini adal
Setelah mendengar cerita Oriel tentang pertemuannya dengan Frank, si rambut pirang jadi tidak terlalu mencurigakan sekarang. Wajar saja laki-laki itu mengetahui kasus Andrian Joe yang sedang diselidikinya dan percuma saja Caroline menyembunyikannya dari Frank. Toh, laki-laki itu juga ikut andil dalam kasus ini. Caroline tidak berniat meminta maaf kepada Frank walaupun saat ini Oriel dan laki-laki itu tengah menertawakannya. Bagi Caroline bukan suatu hal buruk kalau ia mencurigai Frank, toh, si rambut pirang memang pantas dicurigai. Kisah pertemuan kedua orang itu cukup menarik dan cukup berkesan untuk diingat. Kalau tidak salah—berarti benar—pertemuan mereka terjadi pada hari kedua Oriel menghirup udara Oswald. Saat itu...."Carol, apa kau tidak akan ikut?"Caroline tahu Oriel sedang melakukan pemanasan di teras rumah saat ini, gadis yang sudah pasti berusia jauh lebih muda (tentu saja, 'kan Caroline abadi) darinya itu bersiap hendak jogging sambil mengenal lingkungan sekitar. Akan
Serangkaian kebohongan keluar dari bibir Oriel ketika Caroline bertanya, "Jadi kalian bertemu di bus? Pertemuan yang romantis, tetapi aku tidak mengerti mengapa Frank bisa ikut andil dalam kasus ini."Oriel tidak memikirkan jawaban apa pun sebelumnya, hal-hal yang ia tuturkan kepada Caroline terjadi karena refleks. Dia tahu betul kalau identitas Frank sebagai Darkling Beetle tidak boleh diketahui siapa pun. Kalaupun Caroline boleh tahu, bukan Oriel yang memiliki hak untuk memberi tahunya. Jadi, Oriel mengisahkan kalau dia mengikuti Frank turun di halte ... entah nomor berapa dan dia tidak tahu bagaimana caranya pulang ke rumah. Hal itu tidak sepenuhnya alibi, saat itu Oriel memang tidak tahu dia sedang di mana. Maklum, Oswald masih begitu asing di matanya. Oriel bilang, saat itu Frank menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, mereka masih sibuk berdiskusi saat tiba-tiba sebuah mobil mercedes berhenti di depan halte. Atasan Oriel keluar dari mobil itu dan memberi tahu ka
Gelapnya langit malam tidak pernah sekelam jubah yang ia kenakan dan terangnya biru lautan tak bisa mengalahkan sorot matanya. Sayang beribu sayang, tidak ada yang dapat melihat mata biru terang di balik jubahnya. Hanya seonggok senyum culas yang terlihat. Frank tidak pernah benar-benar menikmati hidupnya, kecuali ketika ia bersama si gadis abadi—Caroline. Ia sudah cukup lama berkelana, dari satu kota ke kota lainnya, tidak satu pun gadis yang ia temui berhasil menggantikan posisi Caroline. Katakan Frank hanya terobsesi dan kalian sudah pasti salah besar. Frank sama sekali tidak terobsesi, dia sungguh-sungguh mencintai gadis itu. Kalau ada kata yang akan membuatnya terdengar lebih hiperbolis, Frank akan dengan senang hati mengucapkannya sekarang juga. Frank sudah mengikuti ke mana pun Caroline pergi, menyaksikan bagaimana gadis itu mengubah namanya berkali-kali dan sekarang gadis itu bernama Violin. Tidak penting nama apa yang dipilihnya, Caroline tetap akan menjadi Caroline. Putri t
Dari yang Caroline tangkap, sejak hari itu Frank dan Oriel sering bertemu dan berlatih menembak bersama. Serta yang Caroline tahu, Frank dengan senang hati membantu Oriel karena dia sangat menyukai apa pun tentang detektif. Caroline nyaris berpikir kalau itu hanya alibi dan sebenarnya Frank menyukai Oriel. Yah, usia mereka memang terpaut cukup jauh, dan Oriel tidak mungkin mau menjalin hubungan dengan bocah ingusan yang usil seperti Frank. Namun, itu tidak mustahil bagi Frank, dia bisa saja jatuh cinta pada Oriel dan tidak mementingkan usia. Dua orang itu sedang sibuk membicarakan hal-hal remeh saat tiba-tiba Garvin berujar, "Boleh aku ikut terlibat?"Oriel yang sedang mengendalikan kemudi menoleh sebentar, begitu pun dengan Caroline. Si gadis berlesung pipi—Oriel—itu terkekeh dulu sebelum membalas, "Kau sebenarnya sudah terlibat cukup jauh, Chai.""Ori," geram Caroline saat mendengar nama Chai. Ia bahkan belum yakin apakah Chaiden dan Garvin adalah dua orang yang sama. Akan tetapi,