Share

MISTERY DAGING 15O KG
MISTERY DAGING 15O KG
Penulis: YATI CAHAYA HATI

1.MISTERY PENGIRIMAN DAGING 15O KG

Dua minggu sudah aku bedrest total setelah keguguran. Hal itu perlu dilakukan karena janin dalam rahimku tak bisa bertahan. Ini sudah yang ke empat kalinya. Dokter juga mengatakan tak ada masalah yang berarti. Namun kenapa saat tumbuh benih selalu berakhir dengan keguguran.

Bosan juga terus berdiam diri di rumah. Mas Radit memang melarangku untuk tidak pergi kemana-mana. Dia benar-benar pria yang baik. Bahkan dia sangat memperhatikan kesehatanku.

Rasanya sudah lama juga aku tidak ke toko. Kuputuskan untuk pergi ke sana.

Mengambil kontak mobil yang ada di laci, lalu menuju garasi. Mobilpun seger meluncur menuju toko yang berada di pasar induk. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana.

Sesampainya di toko langsung memarkir kendaraan di belakang dekat area penggilingan daging. Masih terlihat kesibukan di sana. Segera keluar dari mobil. Lalu menyapa para pegawai. Tak lupa pula menyapa pelanggan.

Aku tersenyum saat ada seorang pelanggan pria yang nyeletuk cantik ya, kaya artis. Aku terbiasa dengan pujian seperti itu dan tak membuatku melayang tinggi di udara. Sayangnya suamiku tak pernah memujiku seperti itu. Sudahlah, gak perlu baper. Aku melanjutkan langkah menuju area toko.

“Assalamu’alaikum.” Sapaku kepada para pegawai dengan tersenyum ramah.

Namun aku sangat terkejut saat melihat reaksi para karyawan melihat kedatanganku seperti melihat hantu.

“Ada apa? Kenapa kalian terkajut? Bahkan tak ada satupun yang menjawab salam?” tanyaku penuh selidik. Mungkin saja ini ada hubungannya dengan dorongan kuat untuk datang ke tempat ini. Pasti ada masalah. Mungkinkah mereka merasa ‘merdeka’ karena tak ada yang memantau pekerjaan saat Mas Radit pergi keluar kota. Apa mereka lupa kalau toko ini sudah dipasang CCTV dari segala arah.

Mereka menundukkan kepala. Beberapa orang masih melayani pembeli. Namun terlihat jelas kecemasan di wajah mereka. Aku harus memecahkan masalah ini dengan perlahan. Semoga tidak ada kecurangan dari para pegawai seperti yang aku khawatirkan.

“Kenapa kalian melihat saya seperti hantu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?” tanyaku kembali dengan berbasa-basi. Meneliti wajah karyawan satu persatu dengan seksama. Mereka masih saja menundukkan kepala.

Para pembeli sudah pergi. Tanpa menunggu lama aku langsung menyuruh untuk menutup pintu toko.

‘Tutup pintunya sekarang!” perintahku dengan tegas.

“Tapi bu, kita masih ada pesanan yang akan di ambil oleh pelanggan.”

“Turuti perintah saya! Saat pelanggan kesini, dia pasti akan menghubungi!” sudah gerah  dengan apa yang terjadi. Seorang karyawan segera menutup pintu toko.

Tanpa menunggu lama, aku mengumpulkan para pegawai. Kemudian mengambil tenpat duduk di bagian kasir.

“Mana Kadir dan Karno?” aku menanyakan sopir dan seorang karyawan yang tak terlihat.

“Sedang mengantar pesanan, Bu.”

“Baiklah. Saya ingin tanya, kenapa kalian ketakutan melihat saya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku lebih dalam.

Mereka semua bungkam. Tak ada satupun yang berani menjawab.

“Saya minta laporan penjualan untuk dua hari ini!”

“Baik, Bu.” Kasir menyerahkan buku pencatatan. Aku membuka halaman demi halaman. Pencatatan sangat rapi. Bahkan tak aku temukan celah di sana.

“Hari ini kita potong sapi berapa?”

“Hanya satu, bu. Itu juga untuk memenuhi pesanan dari Bapak. Bahkan para supplier dan cabang kita juga banyak yang tidak kebagian. Mereka marah-marah ke kita.”

Salah satu karyawan menyenggol temannya yang sedang berbicara.

“Ada apa? Bapak siapa?”

‘Tidak, bu. Bapak ... yang memesan.” Jawab salah satu karyawan dengan gugup. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku.

“Kenapa bisa begitu? Dan kenapa tidak ditambah potongnya?”

“Karena selama ke luar kota, bapak menyuruh toko untuk tutup sampai bapak kembali.”

“Kenapa begitu? kan ada saya. Toko tidak harus tutup.”

“Permisi.” Terdengar suara dari pintu belakang.

Karno dan Kadir sudah pulang dari mengantar pesanan. Dia lalu memberikan surat jalan kepada kasir. Namun aku mengambilnya dan membaca beberapa surat jalan beserta amplop berisi pembayaran.

“Untuk uang yang kemarin di simpan di mana?” tanyaku sembari meneliti satu-satu surat jalan lengkap dengan pembayaran.

“Kemarin Mas Dani belum narik, Bu.”

“Iya, hari ini insya Alloh saya narik. Kemarin ada dua supplier yang minta penangguhan pembayaran.”

“Oh begitu. Tapi jangan sampai tidak bayar, ya. Soalnya kalau banyak yang hutang bagaimana uang mau berputar. Kau mengerti’kan?”

“Mengerti, bu.”

Penelitianku terhenti di surat terakhir. Hanya ada surat saja tapi tidak ada pembayaran.

“Karno, kenapa ini ada yang tidak membayar?” tanyaku sembaii mengecek seberapa banyak pesanan. Seratus lima puluh kilo. Hanya itu yang tertera. Tak ada nominal yang tertera seperti pada surat jalan lainnya. Aneh, sangat aneh.

“Karno! Jawab pertanyaan saya?!” aku membanting surat jalan di meja dengan kesal. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Bukan hanya Karno, karyawan lain juga seperti ketakutan dan hanya menundukkan kepala.

Tatapanku kini beralih kepada kasir.

“Rani, kenapa kamu juga tidak menuliskan jumlah yang harus dibayarkan seperti biasanya?! Jangan bilang kamu lupa tidak mencatatnya dengan jumlah sebesar itu?! Apa kau sengaja tidak memasukkannya ke dalam pencatatan supaya mudah untuk memasukkan ke kantongmu!” aku melempar kertas ke arah Rani. Wanita yang sudah bekerja puluhan tahun hanya bisa menangis. Dia orang yang jujur, aku sangat mengenalnya. Namun kejadian ini sudah membuatku tak bisa mengendalikan amarah.

”Jangan menangis! Aku tidak suka kalau pertanyaan dijawab dengan tangisan!” aku menggebrak meja.

“Sumpah, Bu, saya tidak mengambil uang itu sepeserpun. Tapi memang tidak ada uang yang masuk. Kita hanya disuruh mengirim saja tanpa ada pembayaran.”

“Bohong! Tak mungkin ada pesanan yang tidak membayar! Jangan bermain-main denganku, atau aku akan melaporkanmu kepada polisi!” aku berdiri dan menunjuk wajah wanita berusia empat puluh tahuan itu. Amarahku benar-benar sudah tak terkendali.

“Sumpah, Bu saya tidak mengambilnya.” Suara Rani terdengar gemetar. Begitu pula dengan tangannya. Dia terlihat sangat ketakutan karena sebentar lagi kesalahannya akan terungkap.

“Kau tahu berapa jumlah tagihan  dari daging sebanyak itu? Hampir delapan belas juta. Dan itu sangat merugikan saya! Saya akan mengecek CCTV. Kalau sampai saya menemukan bukti, kau akan menanggung akibatnya! Saya tidak peduli kau karyawan terlama di sini. Kalau tindakanmu merugikan, saya tidak segan-segan mengirimmu ke penjara! Ini juga berlaku untuk kalian semua!” aku menunjuk wajah karyawan satu persatu.

Aku melihat Rani menangis. Tiba-tiba saja tubuhnya jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Aku tak iba sedikitpun. Dari ketakutannya itu menandakan kalau dia memang bersalah. Beberapa orang menolong untuk menyadarkannya.

Aku beanjak menuju salah satu ruangan di mana aku akan memeriksa CCTV bersama salah satu karyawan. Dalam sepuluh hari terakhir aku mengeceknya dengan teliti tanpa ada yang terlewat.

Semua transaksi aman, tak ada yang mencurigakan. Namun ada sebuah kejanggalan. Lalu  meminta untuk mengulang beberapa detik sebelumnya. Aku ragu dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang wanita yang memeluk suamiku dengan mesra di meja kasir. Dia bukan Rani. Wanita cantik itu seperti sudah akab dengan mas Radit. Dia buka Nena adik Mas Radit. Aku sangat mengenali wajah adik iparku itu. Kupastikan itu bukan dia.

Deg. Jantung seperti berhenti mendadak. Rasa terbakar dari dalam dada seperti mengeluarkan bara api yang mengalir di setiap darah. Mungkinkah Mas Radit selingkuh dan berani membawa wanita itu ke toko. Aku harus bertanya kepada para pegawai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status