Dua minggu sudah aku bedrest total setelah keguguran. Hal itu perlu dilakukan karena janin dalam rahimku tak bisa bertahan. Ini sudah yang ke empat kalinya. Dokter juga mengatakan tak ada masalah yang berarti. Namun kenapa saat tumbuh benih selalu berakhir dengan keguguran.
Bosan juga terus berdiam diri di rumah. Mas Radit memang melarangku untuk tidak pergi kemana-mana. Dia benar-benar pria yang baik. Bahkan dia sangat memperhatikan kesehatanku.
Rasanya sudah lama juga aku tidak ke toko. Kuputuskan untuk pergi ke sana.
Mengambil kontak mobil yang ada di laci, lalu menuju garasi. Mobilpun seger meluncur menuju toko yang berada di pasar induk. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana.
Sesampainya di toko langsung memarkir kendaraan di belakang dekat area penggilingan daging. Masih terlihat kesibukan di sana. Segera keluar dari mobil. Lalu menyapa para pegawai. Tak lupa pula menyapa pelanggan.
Aku tersenyum saat ada seorang pelanggan pria yang nyeletuk cantik ya, kaya artis. Aku terbiasa dengan pujian seperti itu dan tak membuatku melayang tinggi di udara. Sayangnya suamiku tak pernah memujiku seperti itu. Sudahlah, gak perlu baper. Aku melanjutkan langkah menuju area toko.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku kepada para pegawai dengan tersenyum ramah.
Namun aku sangat terkejut saat melihat reaksi para karyawan melihat kedatanganku seperti melihat hantu.
“Ada apa? Kenapa kalian terkajut? Bahkan tak ada satupun yang menjawab salam?” tanyaku penuh selidik. Mungkin saja ini ada hubungannya dengan dorongan kuat untuk datang ke tempat ini. Pasti ada masalah. Mungkinkah mereka merasa ‘merdeka’ karena tak ada yang memantau pekerjaan saat Mas Radit pergi keluar kota. Apa mereka lupa kalau toko ini sudah dipasang CCTV dari segala arah.
Mereka menundukkan kepala. Beberapa orang masih melayani pembeli. Namun terlihat jelas kecemasan di wajah mereka. Aku harus memecahkan masalah ini dengan perlahan. Semoga tidak ada kecurangan dari para pegawai seperti yang aku khawatirkan.
“Kenapa kalian melihat saya seperti hantu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?” tanyaku kembali dengan berbasa-basi. Meneliti wajah karyawan satu persatu dengan seksama. Mereka masih saja menundukkan kepala.
Para pembeli sudah pergi. Tanpa menunggu lama aku langsung menyuruh untuk menutup pintu toko.
‘Tutup pintunya sekarang!” perintahku dengan tegas.
“Tapi bu, kita masih ada pesanan yang akan di ambil oleh pelanggan.”
“Turuti perintah saya! Saat pelanggan kesini, dia pasti akan menghubungi!” sudah gerah dengan apa yang terjadi. Seorang karyawan segera menutup pintu toko.
Tanpa menunggu lama, aku mengumpulkan para pegawai. Kemudian mengambil tenpat duduk di bagian kasir.
“Mana Kadir dan Karno?” aku menanyakan sopir dan seorang karyawan yang tak terlihat.
“Sedang mengantar pesanan, Bu.”
“Baiklah. Saya ingin tanya, kenapa kalian ketakutan melihat saya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku lebih dalam.
Mereka semua bungkam. Tak ada satupun yang berani menjawab.
“Saya minta laporan penjualan untuk dua hari ini!”
“Baik, Bu.” Kasir menyerahkan buku pencatatan. Aku membuka halaman demi halaman. Pencatatan sangat rapi. Bahkan tak aku temukan celah di sana.
“Hari ini kita potong sapi berapa?”
“Hanya satu, bu. Itu juga untuk memenuhi pesanan dari Bapak. Bahkan para supplier dan cabang kita juga banyak yang tidak kebagian. Mereka marah-marah ke kita.”
Salah satu karyawan menyenggol temannya yang sedang berbicara.
“Ada apa? Bapak siapa?”
‘Tidak, bu. Bapak ... yang memesan.” Jawab salah satu karyawan dengan gugup. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku.
“Kenapa bisa begitu? Dan kenapa tidak ditambah potongnya?”
“Karena selama ke luar kota, bapak menyuruh toko untuk tutup sampai bapak kembali.”
“Kenapa begitu? kan ada saya. Toko tidak harus tutup.”
“Permisi.” Terdengar suara dari pintu belakang.
Karno dan Kadir sudah pulang dari mengantar pesanan. Dia lalu memberikan surat jalan kepada kasir. Namun aku mengambilnya dan membaca beberapa surat jalan beserta amplop berisi pembayaran.
“Untuk uang yang kemarin di simpan di mana?” tanyaku sembari meneliti satu-satu surat jalan lengkap dengan pembayaran.
“Kemarin Mas Dani belum narik, Bu.”
“Iya, hari ini insya Alloh saya narik. Kemarin ada dua supplier yang minta penangguhan pembayaran.”
“Oh begitu. Tapi jangan sampai tidak bayar, ya. Soalnya kalau banyak yang hutang bagaimana uang mau berputar. Kau mengerti’kan?”
“Mengerti, bu.”
Penelitianku terhenti di surat terakhir. Hanya ada surat saja tapi tidak ada pembayaran.
“Karno, kenapa ini ada yang tidak membayar?” tanyaku sembaii mengecek seberapa banyak pesanan. Seratus lima puluh kilo. Hanya itu yang tertera. Tak ada nominal yang tertera seperti pada surat jalan lainnya. Aneh, sangat aneh.
“Karno! Jawab pertanyaan saya?!” aku membanting surat jalan di meja dengan kesal. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Bukan hanya Karno, karyawan lain juga seperti ketakutan dan hanya menundukkan kepala.
Tatapanku kini beralih kepada kasir.
“Rani, kenapa kamu juga tidak menuliskan jumlah yang harus dibayarkan seperti biasanya?! Jangan bilang kamu lupa tidak mencatatnya dengan jumlah sebesar itu?! Apa kau sengaja tidak memasukkannya ke dalam pencatatan supaya mudah untuk memasukkan ke kantongmu!” aku melempar kertas ke arah Rani. Wanita yang sudah bekerja puluhan tahun hanya bisa menangis. Dia orang yang jujur, aku sangat mengenalnya. Namun kejadian ini sudah membuatku tak bisa mengendalikan amarah.
”Jangan menangis! Aku tidak suka kalau pertanyaan dijawab dengan tangisan!” aku menggebrak meja.
“Sumpah, Bu, saya tidak mengambil uang itu sepeserpun. Tapi memang tidak ada uang yang masuk. Kita hanya disuruh mengirim saja tanpa ada pembayaran.”
“Bohong! Tak mungkin ada pesanan yang tidak membayar! Jangan bermain-main denganku, atau aku akan melaporkanmu kepada polisi!” aku berdiri dan menunjuk wajah wanita berusia empat puluh tahuan itu. Amarahku benar-benar sudah tak terkendali.
“Sumpah, Bu saya tidak mengambilnya.” Suara Rani terdengar gemetar. Begitu pula dengan tangannya. Dia terlihat sangat ketakutan karena sebentar lagi kesalahannya akan terungkap.
“Kau tahu berapa jumlah tagihan dari daging sebanyak itu? Hampir delapan belas juta. Dan itu sangat merugikan saya! Saya akan mengecek CCTV. Kalau sampai saya menemukan bukti, kau akan menanggung akibatnya! Saya tidak peduli kau karyawan terlama di sini. Kalau tindakanmu merugikan, saya tidak segan-segan mengirimmu ke penjara! Ini juga berlaku untuk kalian semua!” aku menunjuk wajah karyawan satu persatu.
Aku melihat Rani menangis. Tiba-tiba saja tubuhnya jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Aku tak iba sedikitpun. Dari ketakutannya itu menandakan kalau dia memang bersalah. Beberapa orang menolong untuk menyadarkannya.
Aku beanjak menuju salah satu ruangan di mana aku akan memeriksa CCTV bersama salah satu karyawan. Dalam sepuluh hari terakhir aku mengeceknya dengan teliti tanpa ada yang terlewat.
Semua transaksi aman, tak ada yang mencurigakan. Namun ada sebuah kejanggalan. Lalu meminta untuk mengulang beberapa detik sebelumnya. Aku ragu dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang wanita yang memeluk suamiku dengan mesra di meja kasir. Dia bukan Rani. Wanita cantik itu seperti sudah akab dengan mas Radit. Dia buka Nena adik Mas Radit. Aku sangat mengenali wajah adik iparku itu. Kupastikan itu bukan dia.
Deg. Jantung seperti berhenti mendadak. Rasa terbakar dari dalam dada seperti mengeluarkan bara api yang mengalir di setiap darah. Mungkinkah Mas Radit selingkuh dan berani membawa wanita itu ke toko. Aku harus bertanya kepada para pegawai.
Dengan dada bergemuruh aku menyudahi mengecek CCTV. Darah yang mengalir terasa panas. Awas saja kalau memang Mas Radit berani menghianatiku. Aku sudah mengangkat derajat dia dan keluarganya. Kalau saja bukan karena keinginan Ayah, aku juga takkan sudi menikah dengannya. Padahal saat itu aku sudah menjalin tali kasih dengan teman semasa kuliah dulu.Karena tak ingin dianggap anak durhaka, aku menyetujui perjodohan dengan Mas Radit. Walau harus mengubur dalam-dalam kisah asmara yang telah terajut indah selama lima tahun.Setelah menikah denganku, kehidupan keluarga Mas Radit berubah drastis. Rumah yang dulu hanya terbuat dari bilik bambu berubah menjadi rumah modern. Mobil mewah juga bertengger di garasi. Adik perempuan satu-satunya juga mengecap pendidikan tinggi. Semua itu memakai uangku. Aku ikhlas karena bagaimanapun mereka juga keluargaku. Awas saja kalau sampai penghianatan itu ada. Akan aku kembalikan mereka ke habitatnya.“Siapa wanita
“Pesanan dari Pak Radit, bu.” Jawab anak muda songong tadi.“Untuk apa?!” tanyaku gusar. Makin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.“Untuk pernikahannya dengan Neva!” jawab anak pak karno dengan penuh emosi.“Jangan berani memfitnah suamiku atau kau tahu akibatnya!” aku mencoba tetap kuat. Walau ada getaran dalam ucapanku. Bolamata mulai memanas. Aku tak bisa percaya kepada anak songong itu. Namun jauh dalam hati aku mempercayai ucapannya.‘Tapi itu benar, Bu. Pernikahannya akan dilaksanakan besok. Kami diancam oleh Bapak untuk tak memberitahukan kepada ibu. Kalau sampai kami memberitahu ....”“Cukup! Aku tak mau mendengar apapun!” menutup kedua telingaku. Dada terasa terbakar dan sangat berat bagai di tindih ribuan batu. Untuk mengambil nafas saja terasa sulit.Menjatuhkan tubuh di lantai dan menumpahkan kesedihan. Tega sekali kamu menghianatiku, Mas. T
Menutup sambungan telepon dengan Ratih temanku. Informasi darinya benar-benarmembuatku tak percaya. Awalnya aku menanyakan suamiku sering mengambil uang dari tabunganku. Tapi kenapa tak pernah ada laporan dari sms banking.Alangkah terkejutnya saat aku mendengar jawabannya. Ternyata Mas Radit mempunyai rekening atas namanya sendiri. Dan itu sudah cukup lama. Kenapa aku sampai tidak tahu. Benar-benar penipu kelas kakap.Apa yang harus kulakukan. Sebenarnya aku ingin memblokir rekeningnya, tapi menurut Ratih aku tak bisa melakukan itu. Bank pasti menolak. Kecuali kalau memang suamiku melakukan kejahatan yang berhubungan dengan rekeningnya. Dan itu juga perlu ada bukti yang kuat.Memijit kepala yang tiba-tiba saja terasa berat. Aku harus bisa mencari solusinya. Akan aku pikirkan nanti.Saat ini aku punya prioritas yaitu mengetahui keberadaan suamiku. Dia sudah membuatku seperti wanita dungu yang begitu mudah dikadali oleh buaya mu
Sesampainya di rumah, aku menghambur ke pangkuan ibu dan menumpahkan kesedihan.bIbu terlihat sangat khawatir. Beliau mengelus rambutku.“Ada apa, Nak?”“Mas Radit menghianati putri, Bu.”“Menghianati bagaimana?”Aku menatap wajah ibu. “Mas Radit sudah membohongi putri. Dia tidak pergi ke lauar kota untuk berbisnis. Ternyata dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita lain. Mereka sudah menjalin hubungan sebelum pernikahan kami, Bu.”“Astaghfirulloh hal’adzim. Tega sekali Radit. Kasihan sekali kamu, Nak. Yang sabar, ya.” Ibu memelukku dan ikut larut dalam kesedihan. Beliau pasti lebih terluka melihat putri satu-satunya dihianati.Aku tak boleh melihat ibu seperti ini. Mengangkat dan menghapus airmata. Lalu menatap wajah ibu yang bersimbah airmata. “Aku tidak apa-apa. Jangan menangis, Bu. Jangan membuang airmata ibu sia-sia demi pria seperti Raditya. Ai
RADITYA“Bagaimana, Nak. Kau puas dengan hasil yang kau dapatkan sekarang?” tanya ibu dengan wajah berseri.“Puas sekali, Bu. Terima kasih. Semua berkat ibu yang punya rencana sangat jenius. Akhirnya aku kini sudah mendapatkan semua yang kumau dan tidak harus berpura-pura lagi di depan wanita membosankan itu. Aku bangga pada ibu.” Memeluk ibu dengan penuh bahagia.“Aku juga dong. Kan sudah banyak bantu kakak juga.” Ucap adikku satu-satunya dengan bibir manyun.“Iya adikku Sayang. Kakak juga berterimakasih padamu. Makanya seberapapun uang yang kau butuhkan untuk biaya kuliah dan keperluan pribadimu selalu kakak penuhi. Ayo peluk kakak!” Aku melebarkan tangan sembari tersenyum menatapnya.“Idih bau pengantin baru nih.” Goda adikku saat bersandar pada dadaku. Walau usianya kini sudah dua puluh tahun, tapi masih manjanya minta ampun. Semua keinginannya harus terpenuhi. Kalau tida
Saudara sudah berkumpul semua. Ibu memang sengaja mengundang keluarga untuk menyaksikan pernikahanku dengan calon menantu pilihannya. Ya, ibu sangat cocok dengan Neva. Aku sendiri tidak begitu tahu alasannya. Padahal kalau dilihat dari segala sisi, putri jauh lebih baik dari Neva. Mungkin saja keduanya cocok karena sama-sama licik.Yang aku khawatirkan putri sudah mengendus pernikahan keduaku ini. Perasaannya sangatlah tajam. Dulu, saat aku hanya sedikit terkena pisau saat mengajari karyawan memotong daging, dia langsung menghubungi dan menanyakan keadaanku. Feelingnya begitu kuat.Dia sangat perhatian dan pengandiannya sebagai seorang istri tidak main-main. Kepercayaan yang dia berikan untuk mengelola usaha warisan ayahnya juga sebagai bentuk kepatuhan dan juga menjaga harga diriku di depan seluruh karyawan. Dia tidak akan membiarkan suaminya menjadi bawahannya.Dan kini, aku membalas semuanya dengan penghianatan dan menipunya. Apakah yang aku lak
Melihat ke arah jam dinding. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Satu jam lagi pernikahan Raditya akan dilaksanakan. Aku harus segera menuju kesana. Tak boleh terlambat walau hanya sedetik saja. Bisa kacau kalau sampai pernikahan mereka sah sebelum kedatanganku.Aku akan menghubungi orang-orang yang sudah bekerja untukku. Mereka sudah profesional dalam mengerjakan tugas rahasia. Aku mengenal salah satu dari mereka dari paman. Untung saja aku masih menyimpan nomornya.“Bagaimana, semua pekerjaan beres?” tanyaku setelah mendengar suara dari seberang.“Sudah,bu. Semua sudah berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan.”“Oke. Setengah jam lagi saya sampai di lokasi.”“Siap. Saya tunggu.”Menutup sambungan telepon. Lalu menyambar map yang ada di atas nakas dengan tergesa. Bersamaan dengan itu terdengar suara nyaring seperti pecahan gelas.Aku menoleh ke arah s
PUTRISuara ketukan halus di kaca mobil membuatku tersentak. Ternyata salah satu orang kepercayaanku. Lalu sedikit menurunkan kaca mobil.“Bagaimana?” tanyaku padanya.“Ini buku tabungan yang ibu inginkan.” Pria itu memberikan buku tabungan atas nama Radit. Penasaran dan membuka saldo akhir. Astaga. Aku menutup mulut yang menganga lebar. Bola mata membulat dengan sempurna. Delapan ratus juta. Nominal yang cukup besar walau sudah terpakai untuk biaya resepsi semewah ini.“Haach!!” aku membuangnya dengan kesal. Lalu memukul kemudi dengan kuat.“Tahan, Bu. Jangan emosi.”“Diam! Jangan mencoba mengaturku!” aku menunjuk orang suruhanku. Dia hanya terdiam dan menundukkan kepala.Aku melihat buku tabungan yang sudah kubuang berada di tangannya.“Berikan padaku!” Aku mengulurkan tangan untuk meminta buku yang membuat emosiku memuncak.Pria itu