“Pesanan dari Pak Radit, bu.” Jawab anak muda songong tadi.
“Untuk apa?!” tanyaku gusar. Makin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Untuk pernikahannya dengan Neva!” jawab anak pak karno dengan penuh emosi.
“Jangan berani memfitnah suamiku atau kau tahu akibatnya!” aku mencoba tetap kuat. Walau ada getaran dalam ucapanku. Bolamata mulai memanas. Aku tak bisa percaya kepada anak songong itu. Namun jauh dalam hati aku mempercayai ucapannya.
‘Tapi itu benar, Bu. Pernikahannya akan dilaksanakan besok. Kami diancam oleh Bapak untuk tak memberitahukan kepada ibu. Kalau sampai kami memberitahu ....”
“Cukup! Aku tak mau mendengar apapun!” menutup kedua telingaku. Dada terasa terbakar dan sangat berat bagai di tindih ribuan batu. Untuk mengambil nafas saja terasa sulit.
Menjatuhkan tubuh di lantai dan menumpahkan kesedihan. Tega sekali kamu menghianatiku, Mas. Tega sekali. Aku tak menyangka kau bisa melakukannya. Membayangkan saja aku tak berani, apalagi sampai mengalaminya. Namun kenyataannya kau telah berkhianat.
Ponsel yang berada di meja kasir berbunyi dan memekakakn telinga. Pasti para pelanggan yang akan berbelanja.
“Bu, Pak Radit yang telfon. Bagaimana ini?”
“Mas Radit menelpon. Mau apa dia. Apa dia akan memberikan kabar kebahagiaannya. Rahangku mengeras menahan amarah di dada. Segera bangkit dan menuju meja kasir.
“Angkat telponnya. Tanyakan apa maunya dia. Dan jangan katakan kalau saya ada di sini. Mengerti?”
“Iya, Bu.” Jawab Asih salah satu karyawan.
“Halo.”
“Rani apa dagingnya sudah dikirim?” terdengar suara Mas Radit dengan jelas. Asih sengaja menekan tombol pengeras suara supaya aku bisa mendengar percakapan mereka.
“Ini, Asih pak. Mba Rani sedang keluar sebentar. Sudah di kirim tadi, pak. Seratus lima puluh kilo.”
“Baguslah. Bagaimana keadaan di toko? Aman’kan?”
“Aman, Pak.”
“Baksonya apa sudah dikirim juga?”
“Belum, Pak. Masih di proses. Bapak’kan minta stok yang baru dan super. Paling nanti sore baru bisa di antar.”
“Oke deh. Tiga puluh kilo ya, jangan lupa.”
“Iya, Pak.”
“Oke. Oh ya, masih ada stok daging yang super?”
“Masih pak tinggal lima puluh kilo.”
“Suruh Karno ngirim ke rumah ibu sekarang, ya. Dan mulai besok toko libur sampai saya pulang. Jangan khawatir gaji kalian takkan ada yang dipotong.’
“Baik, pak. Terimakasih.”
Tut tut. Sambungan diputus secara sepihak. Selama mendengar percakapan Mas Radit dadaku terasa gemetar. Tanganku yang mengepal memukul meja kasir dengan keras. Tak peduli dengan orang di sekelilingku yang ketakutan. Wajar saja karena mereka tak pernah melihatku semarah ini.
“Raditya Bagaskara! Kau sudah berani membangunkan macan tidur. Kau belum tahu siapa istrimu. Apa yang akan kulakukan padamu pasti takkan pernah kau bayangkan. Apalagi ibu mertua dan juga Nena tahu dan ikut membantu pelaksanaannya. Para benalu itu akan tahu siapa menantu dan kakak iparnya ini!”
Menghela nafas untuk mengendalikan emosi. Jemariku berdarah. Sakitnya tak sebarapa dibanding dengan perih yang menusuk hatiku.
“Ibu, tangan ibu berdarah. Mari saya obati.” Asih menawari pengobatan. Namun aku tak ingin dikasihani.
‘Tidak usah. Ini hanya luka kecil.” Bagiku memang luka ini terlalu kecil dan ringan. Tapi sakit yang ada dalam dada ini lebih parah dan bukan hanya menimbulkan rasa sakit. Tapi juga dendam.
“Lalu apa yang harus kami lakukan, Bu?”
Aku bergeming. Entahlah, aku sendiri belum bisa mengambil keputusan secepat ini. Yang ada di kepalaku hanya membalas dendam tapi bagaimana caranya. Haruskah aku datang menangis meraung-raung meratapi penghianatan suamiku. No. Tidak akan mungkin kulakukan. Sangat memalukan dan menurunkan harga diri. Aku harus menemukan cara yang elegan untuk menghancurkan sekaligus mempermalukan suamiku dan keluarganya.
Sesaat merenung, lalu melintas dalam pikiran ide yang kudapatkan. Aku menjentikkan jari dan tersenyum sinis.
“Kalian turuti saja apa permintaan Mas Radit.”
“Apa sebaiknya tidak usah dikirim saja neng. Keenakan banget mereka nikah ga modal.”
“Biar itu menjadi urusan saya, Pak Karno. Sudah jelas saya rugi. Dan mereka semua harus membayar mahal kerugianku!” Aku meremas kertas yang ada di meja dan melemparnya asal.
Selama ini Mas Radit dan keluarganya sudah merampok hartaku. Dengan jahatnya dia berbohong kalau penjualan beberapa tahun ini semakin menurun. Dan bodohnya aku yang sangat mempercayainya. Tak pernah ke toko untuk mengontrol perkembangan.
Ternyata pria yang kupercaya mengelabui tentang omset penjualan. Begitu bodohnya aku percaya begitu saja. Kalau memang penjualan menurun drastis, kenapa juga toko masih eksis hingga sekarang. Aku harus mengecek keuangan dalam beberapa tahun.
“Saya mau tanya. Apa semenjak Mas Radit yang mengelola toko menjadi sepi?”
‘Tidak, Bu. Malah tambah rame. Distributor dan kios-kios kecil penjualan daging juga bertambah. Apalagi sekarang lemaknya juga laku keras.”
“Benarkah?”
“Benar, Bu.”
Kembali aku harus berfikir keras. Kemana Mas Radit menyembunyikan uang hasil dari toko. Benar-benar tak percaya.
“Siapa yang bertanggung jawab dengan laporan keuangan?”
“Rani, Bu.”
Aku menghela nafas panjang. Sangat merasa bersalah karena sudah menuduhnya menggelapkan uang perusahaan. Aku harus meminta maaf kepadanya.
“Asih, tolong kalau Rani sudah membaik, aku butuh laporan tiga tahun terakhir yang singkat dan jelas. Saya butuh data berapa rata-rata pemotongan perhari serta omset tiap bulan dan keuntungannya. Saya tunggu secepatnya.”
“Baik, bu.”
“Pak Karno, antar daging ke rumah ibu mertuaku. Aku akan ikut bersamamu. Dan kau Kadir, bawa mobilku dan ikuti kami. Ingat, jangan berhenti dengan jarak dekat, supaya suamiku tidak curiga. Aku yakin dia pasti ada di sana.”
“Baik, bu.”
Sambil menunggu karyawan aku merenung. Bagaimana mungkin aku bisa tertipu. Dan dia juga menyembunyikan uang itu di mana. Sedangkan tak pernah ada laporan dari transaksi bank yang mencurigakan. Aku harus segera mencari tahu.
Ratih. Ya, aku teringat dengan temanku yang bekerja di Bank di mana aku menyimpan uang di sana. Aku ingin bertanya kepadanya. Semoga saja dia bisa membantuku.
Menutup sambungan telepon dengan Ratih temanku. Informasi darinya benar-benarmembuatku tak percaya. Awalnya aku menanyakan suamiku sering mengambil uang dari tabunganku. Tapi kenapa tak pernah ada laporan dari sms banking.Alangkah terkejutnya saat aku mendengar jawabannya. Ternyata Mas Radit mempunyai rekening atas namanya sendiri. Dan itu sudah cukup lama. Kenapa aku sampai tidak tahu. Benar-benar penipu kelas kakap.Apa yang harus kulakukan. Sebenarnya aku ingin memblokir rekeningnya, tapi menurut Ratih aku tak bisa melakukan itu. Bank pasti menolak. Kecuali kalau memang suamiku melakukan kejahatan yang berhubungan dengan rekeningnya. Dan itu juga perlu ada bukti yang kuat.Memijit kepala yang tiba-tiba saja terasa berat. Aku harus bisa mencari solusinya. Akan aku pikirkan nanti.Saat ini aku punya prioritas yaitu mengetahui keberadaan suamiku. Dia sudah membuatku seperti wanita dungu yang begitu mudah dikadali oleh buaya mu
Sesampainya di rumah, aku menghambur ke pangkuan ibu dan menumpahkan kesedihan.bIbu terlihat sangat khawatir. Beliau mengelus rambutku.“Ada apa, Nak?”“Mas Radit menghianati putri, Bu.”“Menghianati bagaimana?”Aku menatap wajah ibu. “Mas Radit sudah membohongi putri. Dia tidak pergi ke lauar kota untuk berbisnis. Ternyata dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita lain. Mereka sudah menjalin hubungan sebelum pernikahan kami, Bu.”“Astaghfirulloh hal’adzim. Tega sekali Radit. Kasihan sekali kamu, Nak. Yang sabar, ya.” Ibu memelukku dan ikut larut dalam kesedihan. Beliau pasti lebih terluka melihat putri satu-satunya dihianati.Aku tak boleh melihat ibu seperti ini. Mengangkat dan menghapus airmata. Lalu menatap wajah ibu yang bersimbah airmata. “Aku tidak apa-apa. Jangan menangis, Bu. Jangan membuang airmata ibu sia-sia demi pria seperti Raditya. Ai
RADITYA“Bagaimana, Nak. Kau puas dengan hasil yang kau dapatkan sekarang?” tanya ibu dengan wajah berseri.“Puas sekali, Bu. Terima kasih. Semua berkat ibu yang punya rencana sangat jenius. Akhirnya aku kini sudah mendapatkan semua yang kumau dan tidak harus berpura-pura lagi di depan wanita membosankan itu. Aku bangga pada ibu.” Memeluk ibu dengan penuh bahagia.“Aku juga dong. Kan sudah banyak bantu kakak juga.” Ucap adikku satu-satunya dengan bibir manyun.“Iya adikku Sayang. Kakak juga berterimakasih padamu. Makanya seberapapun uang yang kau butuhkan untuk biaya kuliah dan keperluan pribadimu selalu kakak penuhi. Ayo peluk kakak!” Aku melebarkan tangan sembari tersenyum menatapnya.“Idih bau pengantin baru nih.” Goda adikku saat bersandar pada dadaku. Walau usianya kini sudah dua puluh tahun, tapi masih manjanya minta ampun. Semua keinginannya harus terpenuhi. Kalau tida
Saudara sudah berkumpul semua. Ibu memang sengaja mengundang keluarga untuk menyaksikan pernikahanku dengan calon menantu pilihannya. Ya, ibu sangat cocok dengan Neva. Aku sendiri tidak begitu tahu alasannya. Padahal kalau dilihat dari segala sisi, putri jauh lebih baik dari Neva. Mungkin saja keduanya cocok karena sama-sama licik.Yang aku khawatirkan putri sudah mengendus pernikahan keduaku ini. Perasaannya sangatlah tajam. Dulu, saat aku hanya sedikit terkena pisau saat mengajari karyawan memotong daging, dia langsung menghubungi dan menanyakan keadaanku. Feelingnya begitu kuat.Dia sangat perhatian dan pengandiannya sebagai seorang istri tidak main-main. Kepercayaan yang dia berikan untuk mengelola usaha warisan ayahnya juga sebagai bentuk kepatuhan dan juga menjaga harga diriku di depan seluruh karyawan. Dia tidak akan membiarkan suaminya menjadi bawahannya.Dan kini, aku membalas semuanya dengan penghianatan dan menipunya. Apakah yang aku lak
Melihat ke arah jam dinding. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Satu jam lagi pernikahan Raditya akan dilaksanakan. Aku harus segera menuju kesana. Tak boleh terlambat walau hanya sedetik saja. Bisa kacau kalau sampai pernikahan mereka sah sebelum kedatanganku.Aku akan menghubungi orang-orang yang sudah bekerja untukku. Mereka sudah profesional dalam mengerjakan tugas rahasia. Aku mengenal salah satu dari mereka dari paman. Untung saja aku masih menyimpan nomornya.“Bagaimana, semua pekerjaan beres?” tanyaku setelah mendengar suara dari seberang.“Sudah,bu. Semua sudah berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan.”“Oke. Setengah jam lagi saya sampai di lokasi.”“Siap. Saya tunggu.”Menutup sambungan telepon. Lalu menyambar map yang ada di atas nakas dengan tergesa. Bersamaan dengan itu terdengar suara nyaring seperti pecahan gelas.Aku menoleh ke arah s
PUTRISuara ketukan halus di kaca mobil membuatku tersentak. Ternyata salah satu orang kepercayaanku. Lalu sedikit menurunkan kaca mobil.“Bagaimana?” tanyaku padanya.“Ini buku tabungan yang ibu inginkan.” Pria itu memberikan buku tabungan atas nama Radit. Penasaran dan membuka saldo akhir. Astaga. Aku menutup mulut yang menganga lebar. Bola mata membulat dengan sempurna. Delapan ratus juta. Nominal yang cukup besar walau sudah terpakai untuk biaya resepsi semewah ini.“Haach!!” aku membuangnya dengan kesal. Lalu memukul kemudi dengan kuat.“Tahan, Bu. Jangan emosi.”“Diam! Jangan mencoba mengaturku!” aku menunjuk orang suruhanku. Dia hanya terdiam dan menundukkan kepala.Aku melihat buku tabungan yang sudah kubuang berada di tangannya.“Berikan padaku!” Aku mengulurkan tangan untuk meminta buku yang membuat emosiku memuncak.Pria itu
“Saya terima ....”“Hentikan pernikahan ini! pernikahan ini tidak sah!” aku segera bangkit dan membuang kacamata hitam dan melepas topi juga masker. Orang-orang menatap tajam ke arahku.“Pup ...putri?!” Mata Mas Radit membulat seolah tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dia berdiri dan terlihat raut wajah penuh kecemasan.“Iya. Ini aku, istri sahmu!” jawabku dengan penuh penekanan. Lalu melangkah mendekat ke arahnya.“Apa benar anda istri sahnya?” tanya pak penghulu sembari membaca kertas yang ada di hadapannya.“Benar, Pak! Pernikahan ini terjadi tanpa persetujuanku!”‘Tapi di sini tertera kalau Pak Radit itu duda yang istrinya meninggal.”Mendengar keterangan dari penghulu, membuat emosiku makin memuncak. Tanganku mengepal menahan amarah. Teganya dia membuat surat kematian palsu demi bisa menikahi kekasihnya.Plaak. Tanganku bergerak den
“Nena!” Radit mencoba menolong adiknya. Terdengar juga teriakan dari ibu mertuaku yang terlihat mengkhawatirkan putri bungsunya.Darah kental mengalir dari sudut bibir adik kesayangan Radit. Apalagi pipinya juga terbentur tiang tenda. Tentunya membuat lukanya semakin sakit. Aku tersenyum sinis dan menatapnya puas.“Pergi kamu dari sini!” Si Pelakor mendorong tubuhku dengan keras. Karena aku tidak siap hingga membuatku terjatuh.Shiit. Aku melepas jas yang kupakai dan melempar ke arah wanita murahan itu. Lalu melangkah menuju ke arahnya.“Berani kau mengusirku dari rumah ini?!” tanyaku dengan gemerutuk gigi menahan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun.“Ya! Ini rumahku dan aku berhak mengusirmu!” jawab Neva dengan angkuh.Aku menaikkan sudut bibirku. “Rumahmu?! Dengan bangga Kau menyebut rumah yang sudah di beli dengan uang hasil merampok adalah milikmu?! Dasar keluarga parasi