Share

5. MENYELAMATKAN ASSET

Sesampainya di rumah, aku menghambur ke pangkuan ibu dan menumpahkan kesedihan.bIbu terlihat sangat khawatir. Beliau mengelus rambutku.

“Ada apa, Nak?”

“Mas Radit menghianati putri, Bu.”

“Menghianati bagaimana?”

Aku menatap wajah ibu. “Mas Radit sudah membohongi putri. Dia tidak pergi ke lauar kota untuk berbisnis. Ternyata dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita lain. Mereka sudah menjalin hubungan sebelum pernikahan kami, Bu.”

“Astaghfirulloh hal’adzim. Tega sekali Radit. Kasihan sekali kamu, Nak. Yang sabar, ya.” Ibu memelukku dan ikut larut dalam kesedihan. Beliau pasti lebih terluka melihat putri satu-satunya dihianati.

Aku tak boleh melihat ibu seperti ini. Mengangkat dan menghapus airmata. Lalu menatap wajah ibu yang bersimbah airmata. “Aku tidak apa-apa. Jangan menangis, Bu. Jangan membuang airmata ibu sia-sia demi pria seperti Raditya. Airmata ibu terlalu berharga.” Sembari menghapus airmata ibu dengan jemari.

“Nak, ibu tahu hatimu sangat terluka.”

‘Tidak, Bu. Mulai detik ini rasa cintaku telah mati untuk Raditya Bagaskara. Pria penipu dan juga perampok!” ucapku sembari mengepalkan tangan. Lalu duduk di samping ibu.

“Apa maksudmu? Siapa yang ditipu dan suamimu merampok apa?”

Aku menatap mata ibu dengan tajam.”Ternyata, omset penjualan toko kita tidak pernah menurun. Akan tetapi meningkat tajam. Putri tadi bertanya kepada para karyawan. Raditya sudah menipu kita bertahun-tahun. Dia juga punya rekening pribadi atas namanya tanpa sepengetahuanku. Dia juga sudah membangunkan rumah untuk ibunya dan juga membiayai kuliah Nena. Belum lagi rumah pelakor itu yang modelnya sama persis dengan rumah ibu mertua. Putri curiga kalau rumah itu juga dibangun dari uang kita,Bu.”

“Jahat sekali Raditya. Ibu tidak menyangka. Setahu ibu dia laki-laki yang sangat baik. Maafkan ayah dan ibu yang sudah menikahkanmu dengannya. Kasihan sekali putriku. Maafkan kami.” Ibu menggenggam tanganku. Beliau sangat sedih dan menyesal.

“Sudahlah, Bu. Aku tidak apa-apa dan tak ingin dikasihani. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah menyelamatkan asset dan juga toko. Aku mau minta tolong sama ibu untuk menyimpan brankas ke rumah paman. Apa ibu mau melakukannya?”

“Iya, Nak. Kalau sampai pamanmu tahu, tamatlah riwayatmu Raditya.”

“Tolong, jangan katakan apapun kepada paman. Aku tidak mau paman bertindak brutal dan membahayakn dirinya. Biar aku sendiri yang akan membalasnya dengan caraku.”

“Baiklah. Ibu percaya padamu. Hati-hati menghadapi orang-orang seperti mereka!”

“Iya, Bu. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Lihat saja nanti!” aku mengepalkan tangan menahan amarah.

Menatap jemariku yang terluka akibat kebodohanku tadi. Kuamati luka yang masih memperlihatkan warna merah. Bodoh, sungguh bodoh yang telah kulakukan.. Aku berjanji pada diri sendiri tak akan melukai diri. Percuma meluapkan amarah dengan melukai diri sendiri. Takkan menyelesaikan masalah. Yang ada kita yang terkena masalah dan lawan justru bersenang-senang dengan penderitaan kita. Itu takkan terjadi lagi.

“Ayo, Bu. Kita ke kamarku.”

Kami harus bergerak cepat. Sebelum Raditya kembali, harus menyelamatkan asset berharga dan meneliti satu persatu isi brankas. Untung saja aku mengganti pin secara berkala hingga suamiku tak bisa membukanya. Pernah dia memintaku untuk memberitahu, tapi kutolak secara halus. Ternyata dia punya rencana busuk untuk menguasai hartaku.

Mengambil brankas yang berada di lemari khusus dan hanya aku yang punya kuncinya. Meletakkan di atas ranjang. Lalu menekan beberapa tombol hingga terbuka. Semuanya masih utuh. Surat tanah, mobil, perhiasan dan uang tunai. Segera menguncinya kembali.

Kini aku harus mencari surat tanda kepemilikan mobil milik suamiku dan juga ibunya. Ya. Aku memang setuju sewaktu Mas Radit mau membelikan mobil untuk ibunya. Semua memakai uangku. Artinya mobil Radit dan juga ibunya milikku. Aku harus mengambilnya kembali.

Membuka lemari pakaian Radit dan membuka lacinya. Sial. Lacinya terkunci. Aku akan mencoba mencari kuncinya di laci meja kerjanya yang ada di sudut kamar. Segera berlari dan mengaduk semua barang yang ada di sana.

Usahaku membuahkan hasil. Aku menemukan segepok kunci. Mudah-mudahan saja salah satunya adalah kunci yang aku cari.

Mencoba kunci yang berukuran kecil. Satu, dua, tiga dan empat. Huch. Tak ada yang cocok satupun. Huch. Aku membuang baju Radit yang sudah tertata rapih dengan kesal.

Klenting. Terdengar suara benda yang terjatuh. Ternyata tiga kunci berukuran kecil. Mungkinkah itu yang kucari. Seandainya iya rapih sekali dia dalam menyimpannya.

Segera kuambil dan mencoba membuka laci yang terkunci. Yess. Terbuka. Ternyata usaha memang takkan menghianati hasil.

Segera mengaduk isi di dalamnya. Semoga buku tabungan Radit ada di sini. Hanya Ada satu amplop berwarna coklat berukuran besar. Segera kuambil dan melihat isinya. Ada tiga buku kepemilikan mobil. Dua bpkb aku sudah bisa memastikan kepemilikannya. Milik Radit dan ibunya. Satu lagi aku tidak tahu. Ah sudahlah. Lebih baik tetap aku simpan ketiganya dan menanyakan kepada paman siapa pemilik mobil yang satunya..

“Put. Lihat ini tas hitam milik Radit. Mungkin ada sesuatu yang bisa kau selamatkan.”

Ibu memberikan tas warna hitam seperti tas kerja yang biasa di bawa Radit. Tapi ini berbeda. Aku baru melihatnya sekarang.

Memang selama ini aku tidak pernah membongkar isi lemari suamiku. Karena terlalu mempercayainya. Ternyata aku sudah di bodohi selama bertahun-tahun.

Segera membuka isi tas. Ada dua surat kepemilikan tanah. Milik siapa ini. mencoba membuka keduanya. Yang satu merujuk kepada alamat ibu mertua. Dan yang satu lagi jalan mawar. Bukankah ini alamat rumah yang tadi aku datangi. Kurangajar. Ternyata Radit benar-benar bajingan kelas kakap. Dia juga membelikan rumah suntuk si pelakor secara diam-diam. Darahku mendidih menahan amarah yang sudah memuncak.

“Radit! Dasar penipu! Lelaki bajingan! Kau sudah merampok uangku habis-habisan! Haacchh!” aku menjerit dan menangis histeris. Tak kusangka aku sudah memelihara perampok kelap kakap di rumah ini.

“Ada apa, Nak? Tenang. Yang sabar ya?” ibu memelukku dan mencoba menenangkan. Tapi hati ini tetap saja tidak bisa tenang. Rasanya dada ini mau meledak.

“Bagaimana aku bisa tenang, Bu. Radit sudah merampok uang kita. Ternyata dia tidak hanya membeli rumah untuk ibunya, tapi juga untuk si pelakor itu! Bagaimana aku bisa tenang dan sabar, Bu.” aku menumpahkan kesedihan pada dada ibuku. Airmata bak hujan deras yang mengalir tak bertepi. Hatiku begitu lara. Bagaimanapun aku berusaha untuk kuat dan tegar, tetap saja aku seorang manusia yang punya kelemahan. Cobaan yang kujalani begitu berat. Bukti-bukti yang kudapatkan sangat menyesakkan dada.

“Putri gak kuat, Bu. Gak kuat. Lebih baik putih tulang dari pada harus menerima kenyataan seperti ini.”

“Sst, jangan bilang begitu. Kau harus kuat dan bertahan demi ibu, Nak. Lihat mata ibu.” Ibu mengangkat daguku dengan pelan dan membawa mata sembabku untuk menatap ke arahnya.

“Kau belum kalah. Surat-surat itu masih lengkap. Artinya kau bisa menguasai seluruhnya. Jadilah wanita yang cerdas dan kuat kalau kau ingin membalas kejahatan suamimu. Lakukan dengan cara yang elegan dan jenius. Pikirkan mulai sekarang. Jangan menangis lagi. Air matamu tak pantas untuk penipu seperti Radit! Menangis takkan menyelesaikan masalah! Sekarang yang harus kau lakukan, berdo’a dan minta petunjuk kepada yang kuasa.”

Benar apa yang ibu katakan. Aku tak boleh lemah. Untuk menyingkirkan para benalu itu harus dengan cara yang cerdas. Aku tak boleh main-main dan harus berfikir cerdas. Yang akan aku hadapi adalah orang-orang yang hilang akal. Mereka bisa saja memutarbalikkan fakta. Aku harus membayar orang-orang yang bekerja secara profesional. Tak peduli berapapun uang yang harus kubayarkan. Yang penting tujuanku tercapai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status