Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, aku merasa lukaku sudah membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Lega rasanya.
Selama berada di rumah sakit, paman begitu perhatian. Dari membantu meminum obat, hingga mengantar aku ke kamar mandi. Aku benar-benar berntung mempunyai paman sebaik dia.
Begitu juga saat aku tiba di rumah. Tangan paman tak pernah lepas dari pundakku. Jujur sebenarnya aku merasa risih dengan perhatiannya yang sangat berlebihan. Radit saja tak pernah melakukan hal ini kepadaku. Saat aku sakit juga tak ada perhatian sama sekali.
“Aku bisa sendiri, Paman,” pintaku saat paman akan menggendong tubuhku untuk naik ke atas ranjang.
“Oke!”
Aku duduk perlahan dan menata bantal sebagai penyangga kepala. Lagi-lagi paman membuatku makin kikuk saat dia mengambil selimut untuk menutupi tubuhku. Entah bagaimana wajahku sekarang. Merah jambu ataukah memucat. Aku tak mengerti kenapa jantungku berdebar begitu k
“Mmm-sorry, maksud Paman ... yang berpendidikan seperti kamu, tapi tetap bisa patuh terhadap suami. Begitu maksud Paman,” ujar Paman yang terlihat gelisah. Dia seperti salah tingkah dan malu.Paman memainkan jemarinya. Sesekali mengusap wajahnya dengan kasar.Suasana tiba-tiba menjadi kaku. Tak ada sepatah katapun yang terucap. Begitu juga dengan diriku yang diam seribu bahasa.“Mmm maaf, Paman mau ... telfon teman sebentar,” ucap Paman yang masih terlihat serba salah. Bahkan saat berkata, tak memandang ke arahku. Dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku.Aku tahu paman tadi hanya berpura-pura akan menelfon. Alasan klise untuk lari dari masalah.Masalah! Masalah apa sih. Kenapa aku mengkategorikan ini sebagai masalah. Yang aku tak mengerti, kenapa wajah dan tingkah paman berubah setelah mengucapkan kalimat ‘seperti kamu.’Apa ada hal lain yang tak kuketahui tentang perasaannya kepa
POV PUTRIPagi ini aku akan datang ke toko. Mulai hari ini dan seterusnya aku akan kembali memegang kendali usaha warisan dari ayah. Sekian lama aku dibohongi oleh si penghianat itu. Dan kejadian itu tak boleh terulang kembali.“Aw!” aku memekik saat bertabrakan dengan seseorang yang hampir saja membuatku terjatuh.“Paman?”“Hati-hati dong kalau jalan. Mau kemana, kok sudah cantik?” tanya paman.“Mau ke toko, lah.”“Ke toko?! Ini masih jam lima lewat loh. Belum jam operasional orang bekerja!”“Paman, namanya juga toko daging. Jam operasionalnya mulai jam lima pagi. Emang paman yang pegawai, masuknya agak siang.”“Oke deh. Paman antar, ya.”“Dengan pakaian olahraga begini?!” aku memperhatikan paman dari ujung kepala hingga ujung kaki..“Iya! emang kenapa? Gak boleh?”“Bukan gak bole
“Ada apa?”“Radit menunda bulan madunya ke bali. Padahal aku sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menjebaknya!” jawabku dengan kesal.Paman menghentikan mobil dengan tiba-tiba.“Kenapa berhenti?” menatap wajah paman yang terlihat kesal.“Apa kamu masih mencintainya? Kau masih cemburu hingga sampai mengikuti bulan madu mereka? Buka matamu lebar-lebar,Putri! Radit itu sudah ....”“Paman salah paham. Aku sudah tidak mencinta Radit. Aku hanya ingin melihat Radit malu karena tak membawa uang sepeserpun. Aku sudah merencanakan untuk mencuri dompetnya saat sudah di villa nanti. Supaya dia mati kutu. Bahkan anak buahku sudah berada di sana. Aku sendiri juga sudah membeli tiket dan booking hotel di sana. Dan bisa-bisa uang yang ada di rekening Radit habis sebelum aku sempat mengambilnya. Bagaimana aku tidak kesal coba?!” memukul kaca mobil dengan kesal.“Kenapa kau ti
Mata Radit menatapku dengan tajam. Sorot mata yang penuh amarah seolah siap menyerangku. Aku harus waspada.Sayangnya, aku salah fokus. Ternyata Radit tidak akan memukulku, tetapi kasir. Dia menendang Nia dan berhasil merebut amplop yang berisi uang hasil penjualan yang sudah beberapa hari belum di setor ke bank. Sial. Radit berhasil mengelabuiku.Aku tak boleh tinggal diam.“Security! Tangkap Radit dan bawa ke hadapanku! Semuanya kejar dia jangan sampai lolos!” aku berteriak kepada seluruh karyawan. Bahkan aku sampai lupa kalau sedang banyak pelanggan yang berbelanja. Radit benar-benar membuat kekacauan.Aku segera meminta maaf kepada para pelanggan. Lalu menuju ruang pribadiku dan menanti si biang erok di sana. Awas saja, aku akan membuat perhitungan dengannya.“””Aku duduk di kursi kebesaran. Sudah lebih dari dua puluh menit anak buahku belum juga berhasil membawa Radit ke hadapanku. Sesulit it
“Radit! Hubungi keluargamu, dan suruh mereka ke sini sekarang juga!” aku memberikan ponselku kepada Radit.“Apa ... maumu?”“Kau akan tahu setelah mereka datang! Cepat hubungi keluargamu sekarang!” jawabku dengan ketus.“Aku ... tidak ... mau! Kau pikir mudah mengancamku, Hach?!” jawab Radit dengan songong. Dengan keadaan seperti ini saja, dia masih menyombongkan diri di hadapanku.“Baiklah! Kalau memang itu pilihanmu!” ucapku sambil menarik ponsel kembali dan meletakkan di atas meja. Benar-benar bermental baja. Sudah berada di antara hidup dan mati, masih saja berani tawar menawar.“Dani! Kembalikan Radit ke pos pasar! Terserah kepada warga! Kalau mereka mau membakar Radit, bakar saja! Aku tidak peduli! Akan kusiapkan bensinnya!” ucapku sembari menaikkan sudut bibir.Aku akan menantang sampai di mana keberanian pria menyebalkan itu. Apa dia sudah sia
“Kau pasti pelakunya! Kurangajar sekali, kamu, Putri! Aku akan membalasmu!” kembali ibu menamparku. Dan kali ini aku takkan diam begitu saja. Aku membalasnya dengan dua kali tamparan, seperti apa yang dilakukannya kepadaku. Aku tak peduli dia lebih tua dariku dan pernah menjadi orang yang kuhormati setelah ibu. Apa yang orang lakukan kepadaku, akan kubalas dengan perlakuan yang sama.“Beraninya kau menamparku, anak sialan!”“Kau yang beraninya menamparku, Mak lampir!”“Kurangajar! Kau memanggilku apa? bilang sekali!” titahnya kepadaku dengan geram.“Mak lampir! Kenapa?!” aku berkacak pinggang di hadapannya.“Kau ....”“Cukup!” aku menahan tangannya saat kembali hendak memukulku. Malas rasanya berurusan dengan orang yang tak penting sepertimu! Kau ingin tahu’kan kenapa anakmu seperti ini?!” aku menghentakkan tangannya dengan keras. Ta
“Cukup! Waktunya sudah habis! Aku menunggu jawaban sekarang juga!” menegakkan kepala dan menatap ke arah Radit dan ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Kalau hasilnya tak seperti yang aku inginkan, siap-siap saja kau kupenjarakan.“Oke. Aku setuju!” jawab Radit dengan lemah.“Bagus! Artinya kau masih menyayangi nyawamu!”Radit mengambil ponsel dari tangan istrinya. Namun si pelakor menolak untuk memberikannya.‘Tidak! aku tidak mau kau melakukan kebodohan itu! Dia hanya menggertakmu saja, Radit! Kau jangan tertipu oleh wanita itu!” si pelakor menunjukku dengan tidak sopan. Aku berusaha menahan diri untuk tak menanggapinya.“Neva! Apa kau ... lebih memilih aku ... mati?” tanya Radit sembari meringis kesakitan dan memegangi dadanya. Mungkin saja ada pukulan yang meninggalkan luka di sana.“Bukan begitu, Sayang. Tapi bagaimana kehidupan kita selanjutnya?”
“Ibu juga tidak tahu. Tapi kalau dicerna dari kata-kata tak mungkin dijangkau oleh manusia biasa, bisa jadi mereka main dukun. Apalagi ada ikat. Ngikat apa coba?”‘Hach? Mana mungkin, Bu. Radit gak pernah melakukan hal yang mencurigakan selama bersamaku.”“Coba kamu ingat, sebelum kamu keguguran, apa yang dilakukan Radit kepadamu?”Aku berpikir sejenak. Tapi tak ada yang aneh atau apapun yang dilakukan Radit kepadaku.“Seingatku, Radit tidak melakukan apapun,” Jawabku dengan tatapan menerawang.“Apa dia memberikan sesuatu?” tanya ibu penuh selidik.Kembali mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu. Tak ada yang mencurigakan. Biasa-biasa saja.Merebahkan tubuh di sofa dan menatap langit-langit. Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Susu! Ya, Radit selalu memberikan susu sebelum aku tidur. Dan tak berapa lama, perutku mulas.“Bu, Aku ingat!” menyentuh