“Radit! Hubungi keluargamu, dan suruh mereka ke sini sekarang juga!” aku memberikan ponselku kepada Radit.
“Apa ... maumu?”
“Kau akan tahu setelah mereka datang! Cepat hubungi keluargamu sekarang!” jawabku dengan ketus.
“Aku ... tidak ... mau! Kau pikir mudah mengancamku, Hach?!” jawab Radit dengan songong. Dengan keadaan seperti ini saja, dia masih menyombongkan diri di hadapanku.
“Baiklah! Kalau memang itu pilihanmu!” ucapku sambil menarik ponsel kembali dan meletakkan di atas meja. Benar-benar bermental baja. Sudah berada di antara hidup dan mati, masih saja berani tawar menawar.
“Dani! Kembalikan Radit ke pos pasar! Terserah kepada warga! Kalau mereka mau membakar Radit, bakar saja! Aku tidak peduli! Akan kusiapkan bensinnya!” ucapku sembari menaikkan sudut bibir.
Aku akan menantang sampai di mana keberanian pria menyebalkan itu. Apa dia sudah sia
“Kau pasti pelakunya! Kurangajar sekali, kamu, Putri! Aku akan membalasmu!” kembali ibu menamparku. Dan kali ini aku takkan diam begitu saja. Aku membalasnya dengan dua kali tamparan, seperti apa yang dilakukannya kepadaku. Aku tak peduli dia lebih tua dariku dan pernah menjadi orang yang kuhormati setelah ibu. Apa yang orang lakukan kepadaku, akan kubalas dengan perlakuan yang sama.“Beraninya kau menamparku, anak sialan!”“Kau yang beraninya menamparku, Mak lampir!”“Kurangajar! Kau memanggilku apa? bilang sekali!” titahnya kepadaku dengan geram.“Mak lampir! Kenapa?!” aku berkacak pinggang di hadapannya.“Kau ....”“Cukup!” aku menahan tangannya saat kembali hendak memukulku. Malas rasanya berurusan dengan orang yang tak penting sepertimu! Kau ingin tahu’kan kenapa anakmu seperti ini?!” aku menghentakkan tangannya dengan keras. Ta
“Cukup! Waktunya sudah habis! Aku menunggu jawaban sekarang juga!” menegakkan kepala dan menatap ke arah Radit dan ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Kalau hasilnya tak seperti yang aku inginkan, siap-siap saja kau kupenjarakan.“Oke. Aku setuju!” jawab Radit dengan lemah.“Bagus! Artinya kau masih menyayangi nyawamu!”Radit mengambil ponsel dari tangan istrinya. Namun si pelakor menolak untuk memberikannya.‘Tidak! aku tidak mau kau melakukan kebodohan itu! Dia hanya menggertakmu saja, Radit! Kau jangan tertipu oleh wanita itu!” si pelakor menunjukku dengan tidak sopan. Aku berusaha menahan diri untuk tak menanggapinya.“Neva! Apa kau ... lebih memilih aku ... mati?” tanya Radit sembari meringis kesakitan dan memegangi dadanya. Mungkin saja ada pukulan yang meninggalkan luka di sana.“Bukan begitu, Sayang. Tapi bagaimana kehidupan kita selanjutnya?”
“Ibu juga tidak tahu. Tapi kalau dicerna dari kata-kata tak mungkin dijangkau oleh manusia biasa, bisa jadi mereka main dukun. Apalagi ada ikat. Ngikat apa coba?”‘Hach? Mana mungkin, Bu. Radit gak pernah melakukan hal yang mencurigakan selama bersamaku.”“Coba kamu ingat, sebelum kamu keguguran, apa yang dilakukan Radit kepadamu?”Aku berpikir sejenak. Tapi tak ada yang aneh atau apapun yang dilakukan Radit kepadaku.“Seingatku, Radit tidak melakukan apapun,” Jawabku dengan tatapan menerawang.“Apa dia memberikan sesuatu?” tanya ibu penuh selidik.Kembali mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu. Tak ada yang mencurigakan. Biasa-biasa saja.Merebahkan tubuh di sofa dan menatap langit-langit. Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Susu! Ya, Radit selalu memberikan susu sebelum aku tidur. Dan tak berapa lama, perutku mulas.“Bu, Aku ingat!” menyentuh
“Tidak boleh seperti itu, Mbak! Lagipula belum jelas juga’kan mereka pelakunya atau bukan?”“Tapi aku yakin seratus persen merekalah pelakunya! Aku tidak mau terjadi apa-apa lagi dengan putri! Ibunya Radit tadi mengancam putri lagi!”“Benar yang ibumu katakan, Put?” tanya paman kepadaku.“Iya,” jawabku singkat sembari menganggukkan kepala.“Astaghfirulloh hal’adzim, aku benar-benar jadi manusia tidak berguna karena tidak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan Paman, Sayang.” Paman memelukku dengan penuh kasih sayang. Aku balas memeluknya erat dan tak ingin melepasnya lagi. Rasanya sangat damai berada dalam pelukannya.Paman melepasku. Dia menarik nafas dan terlihat sedang berpikir sesuatu. Sejenak dia merebahkan tubuhnya pada sofa. Memejamkan mata dan seperti sedang mengingat sesuatu.“Begini saja. Aku punya kenalan seorang yang biasa meruqyah. Dia bisa
Entahlah, aku merasa takut. Apa benar mereka setega itu. Tak ingatkah akan kebaikanku sedikit saja. Kalau saja aku tidak menolongnya menebus surat tanah yang digadaikan kepada lintah darat, keluarga Radit pasti sudah tinggal di jalanan. Kurang apa kebaikanku kepadanya coba. Bener-bener keterlaluan.Awas saja kalau memang terbukti mereka yang menyebabkan aku keguguran. Akan kubuat perhitungan dengan mereka.“Orangnya gak bisa datang sekarang. Dia sudah ada janji. Dua atau tiga hari lagi baru jadwalnya kosong.”“Gak apa-apa. Yang penting wonge iso ngobati,” jawab ibu dengan logat jawanya yang masih kental hingga saat ini.“Ya sudah, aku mau mandi dulu,” ucap paman sembari melirik ke arahku. “Jangan ngalamun Cah Ayu,” ucap Paman sembari menepuk-nepuk bahuku dan berlalu menuju kamarnya.Mataku tak berkedip menatapnya hingga menghilang dari pandangan.“Bu, aku ke kamar dulu, ya!”
“Ada apa, Roni?”“Kami sedang mengikuti Radit dan istrinya. Mereka pergi menggunakan mobil menuju rumah sakit.”“Mobil? Rumah sakit? Siapa yang sakit? Dan mobil siapa?”“Pak Radit sudah membeli mobil kembali.”“Apa?! mobil baru? Dapat duit darimana dia? baru atau ....”“Kelihatannya bukan baru.”“Biarkan saja! Biar sisa uangnya habis dengan cepat! ada keperluan apa mereka ke rumah sakit?”“Mereka mendatangi dokter kandungan. Dan menurut informan yang terpercaya, istrinya hamil.”“Hach?! Hamil. Bukannya baru menikah beberapa hari?”“Tapi itulah informasi yang kami dapatkan.”“Dasar pezina! Oke. Lalu ada temuan apa lagi?”Mobil berhenti di dekat area perkebunan. Dan sekarang mereka sedang berjalan melewati kebun yang tak terlihat ada jalanan bagi orang yang belum pernah datang ke
Gambar pertama yang ditunjukkan adalah Radit dan istrinya. Itu tidak penting bagiku. Apapaun yang mereka lakukan aku tak peduli. Yang lebih penting adalah ibunya Radit yang sudah berada di dalam. Aku segera meminta Roni untuk memantau ibunya Radit.Terlihat dan terdengar jelas apa yang mereka lakukan. Ibunya Radit duduk di depan si paranormal yang menurutku sangat menyeramkan. Pakaian yang dikenakannya serba hitam hingga pada penutup kepalanya. Cincin yang memenuhi jari tangannya juga berwarna hitam. Walau di siang hari, tapi di dalam keadaan sangat gelap. Untung saja kamera yang digunakan sudah canggih hingga mampu menangkap gambar dan suara dengan cukup baik.“Bagaimana, Mbah? Apa jin yang diikatkan pada rahim wanita ini masih bekerja dengan sempurna?” tanya ibunya Radit sembari memberikan sebuah foto. Tapi entah milik siapa karena tidak begitu jelas.Para normal itu mengamati foto yang berada di tangan wanita tua itu sembari manggut-manggut.
Aku mendengkus kesal karena tak bisa berbuat apapun. Para manusia keji itu sudah memulai ritual untuk menyakiti diriku. Kamera masih berada di sekitar paranormal hingga mampu menangkap suara dan gerakan dengan jelas.“Si dobleh masih berada di rahim wanita itu dan mengikatnya erat. Apa lagi yang kau inginkan?” tanya si paranormal kepada ibunya Radit.“Tapi kenapa wanita itu masih bisa hamil?” tanya ibunya Radit.Baru mendengar sedikit percakapan saja sudah membuatku ingin mencakar-cakar wajah wanita tua itu. Tega sekali dia melakukan hal itu kepadaku pada saat aku masih menjadi menantunya. Radit juga sama jahatnya dengan ibunya.“Itu karena si Dobleh lalai. Tapi dia tidak akan membiarkan si jabang bayi itu keluar. Bisa jadi si Dobleh sengaja melakukannya karena ingin menyantapnya. Dasar nakal ha ... ha ....”Dadaku terasa sangat sakit. Tega sekali mereka melakukan itu kepada empat calon bayiku. Aku benar-benar in