Sudah puluhan kali Naya mengatakan bahwa, dia tidak menyukai grup itu. Bahkan lagu-lagunya saja tidak dia kenal betul, sekadar tahu kalau grup dengan musik pop punk itu lagi populer dan banyak dibicarakan.
Solar? Bensin? Minyak tanah? Apalah namanya yang jelas Maria terus-terusan membujuknya untuk ikut datang ke konser kecil mereka malam ini. Maria menarik tangan Naya dengan sekuat tenaga, sampai wanita berambut panjang itu terpaksa ikut menuju tempat mobil Yaris silver kesayangan Maria di parkiran.
Maria membukakan pintu penumpang depan. "Masuk nggak lo! Kalau nggak kita bukan temen! Rugi lo nggak punya temen kayak gue!"
Naya memandangi wajah Maria, matanya menyipit dan kening mengkerut. "Kan udah gue bilang, gue seenggak tahu itu sama Solar, yang ada mati gaya gue di sana. Nama yang nyanyi nggak tahu, lagunya nggak tahu, temen gue cuma lu."
"Ajak cowok lo dong! Telepon gih." Tangan Maria menempel pada tepian pintu mobil.
"Nggak bisa, paling masih di kantor." Tiba-tiba Naya bisa membayangkan nada suara sang pacar, Lukas yang ogah-ogahan nemenin dia menonton konser dengan alasan sibuk.
"Yah pantes si Bimo gangguin lo mulu di kantor, pacar lo jarang nongol, berasa jomblo aja kan lo."
"Bodo ah, udah gue pulang deh. Have fun!" Naya mulai mundur dan membalikan, siap-siap kabur.
Maria dengan sigap menarik kembali tangan Naya, lalu mendorong tubuh mungil cewek itu masuk dan duduk di dalam mobil. "Kali ini aja, lo nggak kasihan sama gue? Nonton sendiri kayak orang bego."
Maria menutup pintu mobil, berlari kecil ke pintu pengemudi dan masuk ke dalamnya. Tidak lupa secepat kilat mengunci semua pintu, agar Naya tidak bisa kabur.
"Yah terus gue yang jadi korban lo? Gantiin lo jadi bego." Naya mendengus kesal tapi dia memilih pasrah, memasang seatbelt, dan bersandar pada jok.
Mobil berjalan menuju sebuah cafe terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Cafe yang memang baru buka mulai pukul lima sore. Sebelum turun dari mobil, Maria lebih dulu menyisir rambut keritingnya, mengoles lipstik matte berwarna red plum, serta menyemprotkan parfum favoritnya ke seluruh tubuh. Dia melempar lipstik ke arah Naya yang langsung dengan refleks ditangkap oleh kedua tangannya.
"Biar nggak pucet. Lo pasti cuma punya lipstik warna nude, kan? Pake sana."
Naya pun memoleskan lipstik di tangannya sambil bercermin pada kaca spion. Maria pun lanjut menyemprotkan parfum ke tubuh teman sekantornya itu.
Suasana ramai sudah terasa dari awal mereka menuju pintu masuk. Cahaya lampu berkelip-kelip menembus dari celah-celah pintu. Setelah melakukan registrasi, mereka berdua pun masuk sambil berlari. Berharap bisa mendapat tempat terbaik.
Lagi-lagi Maria menarik tangan Naya, menyelip kerumunan untuk bisa berada di paling depan. Setidaknya tidak begitu jauh dari panggung. Sekitar 15 menit, personil The Solar naik ke panggung satu-persatu, membuat teriakan penonton semakin kencang, tidak terkendali. Lagu pembuka dan lagu-lagu andalan dinyanyikan. Semua penonton tampak antusias, meloncat-loncat.
Tanpa disadari Naya menikmatinya. Walau sama sekali tidak tahu lagu apa yang band itu bawakan , tapi Naya masih bisa menikmatinya hingga ia ikut berteriak.
"Gue ke belakang, kering nih." Naya mengelus.
Maria mengangguk sambil lanjut fokus dengan penampilan The Solar.
Sekuat tenaga Naya menembus barisan penonton yang berhasil membuat tubuhnya terasa terombang-ambil.
Akhirnya! Naya bergumam dalam hati sambil menghela napas. Dia segera mencari tempat duduk di paling belakang, sebuah kursi cafe yang bersandar pada dinding. Naya duduk, memijak pelan kakinya yang mulai terasa pegal. Dia tidak menyadari sudah berapa lama berdiri di sana. Tangan Naya merogoh saku rok selututnya. Wajahnya mulai mengeluarkan ekspresi panik. Dia berdiri, mengamati sekitar, melihat ke arah lantai demi lantai yang minim pencahayaan.
Seseorang menghampirinya, menyodorkan sebuah benda yang membuat hatinya lega.
"Thank you." Naya segera mengambil benda berbentuk persegi dengan layar yang menyala, memperlihatkan foto berduanya bersama Lukas.
"Untung nggak keinjek." Pria berambut sepanjang telinga itu membalas ucapannya.
"Iya ya." Naya mengulas senyum. Walau cewek di hadapannya menggunakan setelan fashion casual, jaket jeans biru, v-neck t-shirt, celana hitam lurus, juga sepasang sepatu boots kulit cokelat, Naya menyukai tampilannya.
Tidak jauh dari posisinya terdapat bar cafe. Naya memperhatikan bar tersebut dan langsung mendatanginya. Belum benar-benar melangkah, pria itu menarik bahunya pelan.
"Haus? Ayo bareng ke sana. Kamu nggak lihat di sini banyak cowok brengsek." Dia mendekati wajahnya ke telinga Naya supaya suara pelannya yang berlomba dengan suara musik terdengar jelas.
Naya mengangkat kedua bahunya dan menggeleng. "Ya ngapain juga? Jangan negatif thinking gitu, nggak baik."
"Soalnya kamu cantik, sih."
Sesaat satu kalimat itu berhasil membuat Naya terdiam. Wajahnya mulai memerah. Dia pun coba mengatur napasnya diam-diam.
"Nah, jadi lebih bahaya kamu, kan?" Naya membalasnya dengan sedikit canggung. Tidak tahu mengapa dia malah merasa lebih penasaran berharap pria di depannya itu membalas dengan semangat.
"Tapi kamu pasti lebih aman sama aku. Udah yuk, bareng aja ke sananya. Aku jagain." Dia mengulas senyum sambil mengayunkan tangannya ke arah bar.
Lagi-lagi Naya refleks tersenyum. Aroma pria itu membuatnya terhipnotis untuk sesaat. Blackberry campur musk, pikir Naya. Semakin posisi mereka dekat, semakin kuat tercium aroma khas itu.
Mereka memesan minuman dengan menu yang sama.
"Ngapain sih lihatin muka orang sampai kayak gitu?" Naya mengamati sorot mata hangat dari wajahnya.
Kembali senyumannya membuat Naya cukup terkagum. "Kamu cantik."
"Dih..." Naya tertawa singkat. Lama-lama dia merasa aneh.
"Kenalan dulu dong." Pria itu membuka telapak tangannya lebar. "Aku Evan."
"Naya." Tepat ketika Naya menyambut dan menempelkan telapak tangannya, Evan menariknya pelan, membuat tubuh mereka berhadapan dalam jarak lebih dekat. Naya kini bisa mencium aroma tubuh Evan lebih jelas dan menatap mata Evan yang menyiratkan sesuatu.
Tiba-tiba Naya merasakan geli pada perutnya, jantungnya pun berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terasa hangat dan memerah.
Evan semakin mendekatkan tubuh dan wajahnya. Sementara Naya mengatur napas dan mencoba mengembalikan kewarasannya.
"Hi, Naya cantik. Salam kenal."
.
.
Posisi Evan yang terlalu dekat, bercampur suara berat pria itu sekilas membuat Naya terpesona. Tapi Naya segera menggeleng dan menutup matanya, menjauh dari tubuh Evan. Naya kembali mengatur napas. Dia menoleh ke arah kerumunan penonton di depan stage, tidak terlihat Maria sedikitpun, padahal sekarang juga dia butuh temannya itu untuk bantu atasi kondisi aneh ini. Naya pun lagi-lagi tersenyum kikuk tanpa tahu ingin membalas dengan kata-kata apa yang diucapkan oleh Evan.Evan yang menyadari suasana canggung ini memainkan gelas di tangannya, campuran bir dan perasan lemon. “Kenapa? Merah banget mukanya.”Naya mengelus pipinya sendiri. “Oh, iya, biasa, nggak kuat kalau minum alkohol banyak-banyak.”Tentu jawabannya tidak masuk di akal mengingat mereka baru saja menenggak sedikit minuman dari gel
Apa dia suka nongkrong di sana? Apa kalau aku ke sana bisa ketemu dia? Naya menepuk dahinya sendiri. Dia tidak mengerti mengapa keinginannya bertemu lagi dengan Evan begitu tinggi. Sudah sangat lama dia tidak merasakan perasaan spesial seperti ini.Padahal pertemuan saat itu biasa saja. Sama seperti Bimo yang sesekali menggodanya di kantor. Tapi bayangan tentang pria bernama Evan itu terus muncul di kepala. Apa karena aku kangen sama Lukas, ya? Apa karena aku ngerasa kosong? Aku jarang ngabisin waktu sama Lukas karena dia sibuk. Naya terus memutar otak, mencari jawaban.Sebenarnya sudah biasa jika ia harus libur bertemu pacarnya, Lukas memang selalu sibuk dan tidak suka pergi ke pusat keramaian, ia ingib membeli sesuatu.
Tidak lama, Evan membawanya kembali ke meja untuk menghabiskan minum mereka.“Kamu bawa mobil atau motor?” Naya melihat roknya, akan sangat heboh jika ia harus naik motor dengan pakaian kerjanya itu.“Tenang, aku bawa mobil.” Evan membimbing Naya ke mobilnya yang terparkir, mempersilakan masuk dengan membukakan pintu. Naya tersenyum dengan perlakuan Evan kepadanya.Setelah memberi tahu arah apartemennya, mereka pun sampai. Evan memilih mengambil parkir daripada membuat Naya turun di lobby layaknya menurunkan penumpang dari mobil taksi.“Padahal di lobby aja.” Naya mengepak barangnya, bersiap turun dari mobil. “Thank you, lagi. Hahaha perasaan aku thank you mulu ya ke kamu.”
Pagi ini Naya terbangun sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Sambil bersandar pada kepala kasur, ia memijat kepalanya. Rasanya pengar. Naya juga merasakan mual dan panas di perutnya. Dia menghela napas, menutup mata. Tidak, semalam dia tidak begitu mabuk dan masih sadar akan semuanya. Dia sempat bersih-bersih, menghapus riasan, mandi dan keramas menggunakan air hangat, serta menyeduh peppermint tea.Kalau kangen, aku kerja di Fleur. Ya, itu chat yang Evan kirim tadi malam setelah dia berhasil mengusir pria itu dari apartemennya.Naya pun mengingat bagaimana pria asing bernama Evan semalam mengantarnya pulang dan berhasil menciumnya. Tangan Naya refleks menyentuh bibirnya saat bibir Evan memainkan bibirnya. Dia menggeleng, berusaha membuang ingatan tentang kejadian semalam.
Sejak sampai kembali ke apartemen Naya merasa gelisah. Dia memandangi jam dinding dan jam pada ponselnya bergantian. Setelah berhasil meminta Lukas untuk pulang lebih cepat dengan alasan ingin istirahat, Naya berharap apa yang dikatakan oleh Evan adalah sebuah kebenaran. Benar jika itu merupakan janji untuk bertemu.Lagipula Lukas baik-baik saja dan terlihat senang ketika ia meminta pulang, tidak memakan banyak waktu di mall, tempat yang membosankan bagi Lukas. Lalu bagaimana Naya bisa yakin bahwa Evan akan muncul di lobby nanti?"Ah, udahlah… Cowok kayak dia juga punya bakat jadi cowok brengsek, goda sana, goda sini." Naya membanting ponsel, pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Dia memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton series sambil menikmati camilan yang ia beli saat pergi tadi.Jam
Lukas jarang memberinya ciuman. Seperti ciuman yang dilakukan oleh Evan sekarang. Bagi Naya, pria asing di hadapannya ini hadir untuk membayar semua hal yang ia harapkan ada di diri Lukas. Dia selalu ingin Lukas lebih berani dalam mengutarakan perasaan dalam hubungan spesial mereka. Termasuk ucapan manis dan menggoda yang sekarang malah Naya dapatkan dari Evan, orang yang baru dia kenal.Kedua tangan Evan menarik perlahan cardigan yang Naya, melepasnya, dan lanjut membuka atasan piyama dengan tetap melumat bibir Naya yang kini semakin ganas karena Naya sudah mampu mengikuti.Yang ada di pikiran Naya hanya menikmati apa yang dilakukan Evan kepadanya dan terpesona dengan bentuk wajah pria itu. Ketika wajah mereka semakin dekat, Naya bisa melihat lebih rinci wajah Evan yang baginya biasa tapi istimewa. Alis Evan yang tidak tipis, tapi juga tidak tebal.
Naya sudah tidak mampu menahan desahannya, batinnya berteriak ingin menolak apa yang sedang ia terima. Namun setan di dalam dirinya begitu kuat, membuat ia menikmati semuanya. Gerakan dan perlakuan Evan terhadapnya, suara desahan Evan yang mulus masuk ke telinga, juga embusan napasnya yang menggelora. Aroma tembakau bercampur mint keluar dari sana, semakin membuat Naya ketagihan."Kamu suka?" bisik Evan dengan jarinya yang masih bergerak di bawah sana.Naya mengangguk, sejujurnya ia malu."Mau yang lebih?" Evan mempercepat gerakannya.Lagi-lagi Naya mengangguk. Pipinya semakin merah merona.Kamu udah sinting, Naya!Evan kembali menciuminya, dari telinga, pipi,
Lukas mengeluarkan cake tart dengan cream berwarna putih, pada bagian sisi ditaruh stroberi segar dan hiasan keemasan. Ukurannya tidak begitu besar, cukup dihabiskan oleh dua orang saja. Di bagian permukaan tertulis 'selamat dua tahun untuk kita'.Naya membacanya berkali-kali. Semua kenangan bersama Lukas selama dua tahun ini muncul perlahan di kepala. Saat pertama dia bertemu dengan Lukas, di sebuah acara ulang tahun teman mereka. Saat pria itu untuk pertama menjabat tangannya, sambil mengucapkan 'aku Lukas, Lukas William'. Nada suaranya tenang dan lembut."Nggak kerasa ya." Naya fokus melihat Lukas yang menusukan sebuah lilin gold di atas cake."Iya… Soalnya kita sering LDR-an, sih. Walau tanpa sengaja. Maaf, aku sibuk terus." Lukas menyodorkan cake lebih dekat ke hadapan Naya.