Share

Gairah Memabukkan Selingkuhanku
Gairah Memabukkan Selingkuhanku
Penulis: Vani Vevila

Bab 1: Peretemuan

Sudah puluhan kali Naya mengatakan bahwa, dia tidak menyukai grup itu. Bahkan lagu-lagunya saja tidak dia kenal betul, sekadar tahu kalau grup dengan musik pop punk itu lagi populer dan banyak dibicarakan.

Solar? Bensin? Minyak tanah? Apalah namanya yang jelas Maria terus-terusan membujuknya untuk ikut datang ke konser kecil mereka malam ini. Maria menarik tangan Naya dengan sekuat tenaga, sampai wanita berambut panjang itu terpaksa ikut menuju tempat mobil Yaris silver kesayangan Maria di parkiran. 

Maria membukakan pintu penumpang depan. "Masuk nggak lo! Kalau nggak kita bukan temen! Rugi lo nggak punya temen kayak gue!"

Naya memandangi wajah Maria, matanya menyipit dan kening mengkerut. "Kan udah gue bilang, gue seenggak tahu itu sama Solar, yang ada mati gaya gue di sana. Nama yang nyanyi nggak tahu, lagunya nggak tahu, temen gue cuma lu."

"Ajak  cowok lo dong! Telepon gih." Tangan Maria menempel pada tepian pintu mobil. 

"Nggak bisa, paling masih di kantor." Tiba-tiba Naya bisa membayangkan nada suara sang pacar, Lukas yang ogah-ogahan nemenin dia menonton konser dengan alasan sibuk. 

"Yah pantes si Bimo gangguin lo mulu di kantor, pacar lo jarang nongol, berasa jomblo aja kan lo."

"Bodo ah, udah gue pulang deh. Have fun!" Naya mulai mundur dan membalikan, siap-siap kabur.

Maria dengan sigap menarik kembali tangan Naya, lalu mendorong tubuh mungil cewek itu masuk dan duduk di dalam mobil. "Kali ini aja, lo nggak kasihan sama gue? Nonton sendiri kayak orang bego."

Maria menutup pintu mobil, berlari kecil ke pintu pengemudi dan masuk ke dalamnya. Tidak lupa secepat kilat mengunci semua pintu, agar Naya tidak bisa kabur.

"Yah terus gue yang jadi korban lo? Gantiin lo jadi bego." Naya mendengus kesal tapi dia memilih pasrah, memasang seatbelt, dan bersandar pada jok.

Mobil berjalan menuju sebuah cafe terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Cafe yang memang baru buka mulai pukul lima sore. Sebelum turun dari mobil, Maria lebih dulu menyisir rambut keritingnya, mengoles lipstik matte berwarna red plum, serta menyemprotkan parfum favoritnya ke seluruh tubuh. Dia melempar lipstik ke arah Naya yang langsung dengan refleks ditangkap oleh kedua tangannya. 

"Biar nggak pucet. Lo pasti cuma punya lipstik warna nude, kan? Pake sana."

Naya pun memoleskan lipstik di tangannya sambil bercermin pada kaca spion. Maria pun lanjut menyemprotkan parfum ke tubuh teman sekantornya itu.

Suasana ramai sudah terasa dari awal mereka menuju pintu masuk. Cahaya lampu berkelip-kelip menembus dari celah-celah pintu. Setelah melakukan registrasi, mereka berdua pun masuk sambil berlari. Berharap bisa mendapat tempat terbaik. 

Lagi-lagi Maria menarik tangan Naya, menyelip kerumunan untuk bisa berada di paling depan. Setidaknya tidak begitu jauh dari panggung. Sekitar 15 menit, personil The Solar naik ke panggung satu-persatu, membuat teriakan penonton semakin kencang, tidak terkendali. Lagu pembuka dan lagu-lagu andalan dinyanyikan. Semua penonton tampak antusias, meloncat-loncat.

Tanpa disadari Naya menikmatinya. Walau sama sekali tidak tahu lagu apa yang band itu bawakan , tapi Naya masih bisa menikmatinya hingga ia ikut berteriak.

"Gue ke belakang, kering nih." Naya mengelus.

Maria mengangguk sambil lanjut fokus dengan penampilan The Solar.

Sekuat tenaga Naya menembus barisan penonton yang berhasil membuat tubuhnya terasa terombang-ambil.

Akhirnya! Naya bergumam dalam hati sambil menghela napas. Dia segera mencari tempat duduk di paling belakang, sebuah kursi cafe yang bersandar pada dinding. Naya duduk, memijak pelan kakinya yang mulai terasa pegal. Dia tidak menyadari sudah berapa lama berdiri di sana. Tangan Naya merogoh saku rok selututnya. Wajahnya mulai mengeluarkan ekspresi panik. Dia berdiri, mengamati sekitar, melihat ke arah lantai demi lantai yang minim pencahayaan.

Seseorang menghampirinya, menyodorkan sebuah benda yang membuat hatinya lega.

"Thank you." Naya segera mengambil benda berbentuk persegi dengan layar yang menyala, memperlihatkan foto berduanya bersama Lukas.

"Untung nggak keinjek." Pria berambut sepanjang telinga itu membalas ucapannya.

"Iya ya." Naya mengulas senyum. Walau cewek di hadapannya menggunakan setelan fashion casual, jaket jeans biru, v-neck t-shirt, celana hitam lurus, juga sepasang sepatu boots kulit cokelat, Naya menyukai tampilannya.

Tidak jauh dari posisinya terdapat bar cafe. Naya memperhatikan bar tersebut dan langsung mendatanginya. Belum benar-benar melangkah, pria itu menarik bahunya pelan.

"Haus? Ayo bareng ke sana. Kamu nggak lihat di sini banyak cowok brengsek." Dia mendekati wajahnya ke telinga Naya supaya suara pelannya yang berlomba dengan suara musik terdengar jelas.

Naya mengangkat kedua bahunya dan menggeleng. "Ya ngapain juga? Jangan negatif thinking gitu, nggak baik."

"Soalnya kamu cantik, sih."

Sesaat satu kalimat itu berhasil membuat Naya terdiam. Wajahnya mulai memerah. Dia pun coba mengatur napasnya diam-diam.

"Nah, jadi lebih bahaya kamu, kan?" Naya membalasnya dengan sedikit canggung. Tidak tahu mengapa dia malah merasa lebih penasaran berharap pria di depannya itu membalas dengan semangat.

"Tapi kamu pasti lebih aman sama aku. Udah yuk, bareng aja ke sananya. Aku  jagain." Dia mengulas senyum sambil mengayunkan tangannya ke arah bar.

Lagi-lagi Naya refleks tersenyum. Aroma pria itu membuatnya terhipnotis untuk sesaat. Blackberry campur musk, pikir Naya. Semakin posisi mereka dekat, semakin kuat tercium aroma khas itu.

Mereka memesan minuman dengan menu yang sama.

"Ngapain sih lihatin muka orang sampai kayak gitu?" Naya mengamati sorot mata hangat dari wajahnya.

Kembali senyumannya membuat Naya cukup terkagum. "Kamu cantik."

"Dih..." Naya tertawa singkat. Lama-lama dia merasa aneh.

"Kenalan dulu dong." Pria itu membuka telapak tangannya lebar. "Aku Evan."

"Naya." Tepat ketika Naya menyambut dan menempelkan telapak tangannya, Evan menariknya pelan, membuat tubuh mereka berhadapan dalam jarak lebih dekat. Naya kini bisa mencium aroma tubuh Evan lebih jelas dan menatap mata Evan yang menyiratkan sesuatu.

Tiba-tiba Naya merasakan geli pada perutnya, jantungnya pun berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terasa hangat dan memerah.

Evan semakin mendekatkan tubuh dan wajahnya. Sementara Naya mengatur napas dan mencoba mengembalikan kewarasannya.

"Hi, Naya cantik. Salam kenal."

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status