Tidak lama, Evan membawanya kembali ke meja untuk menghabiskan minum mereka.
“Kamu bawa mobil atau motor?” Naya melihat roknya, akan sangat heboh jika ia harus naik motor dengan pakaian kerjanya itu.
“Tenang, aku bawa mobil.” Evan membimbing Naya ke mobilnya yang terparkir, mempersilakan masuk dengan membukakan pintu. Naya tersenyum dengan perlakuan Evan kepadanya.
Setelah memberi tahu arah apartemennya, mereka pun sampai. Evan memilih mengambil parkir daripada membuat Naya turun di lobby layaknya menurunkan penumpang dari mobil taksi.
“Padahal di lobby aja.” Naya mengepak barangnya, bersiap turun dari mobil. “Thank you, lagi. Hahaha perasaan aku thank you mulu ya ke kamu.”
Evan ikut tertawa. “Mau diantar sampai pintu apartemen?”
“Hah? Nggak usah, Ribet nanti kamu. Mana aku cuma punya satu kartu.”
“Kan ada tangga darurat dong. Di lantai berapa? Apartemennya nggak tinggi-tinggi banget, kan?” Mata Evan mengamati sekeliling.
“Lantai empat,” ucap Naya. Untuk sekian kali dia menyesal membocorkan data pribadinya pada pria yang baru ia kenal itu.
“Aku antar. Biar nggak ada yang gangguin kamu.” Evan membuka pintu mobil dan segera keluar tanpa menunggu balasan ucapan dari Naya. Dia pun membuka pintu.
Naya hanya pasrah, keluar dari mobil. Kemudian bersama Evan masuk lift, naik ke lantai empat.
Dia orang asing? Dia berbahaya bagi gue, kan? Walau dia kelihatan pria baik-baik, Naya berbisik dalam hati.
Sampai di depan pintu apartemen Naya, Evan menunggu wanita itu sampai benar-benar berhasil membuka pintunya.
“Beneran mau turun lewat tangga?”
Evan langsung mengangguk. “Sana masuk. Udah jam 12 malam ini.”
Naya membuka pintunya, masuk ke dalam apartemen. Sebelum dia menutup pintu, Evan lebih dulu mendorong Naya pelan, pintu yang bisa otomatis menutup sendiri itu berbunyi pip.
“Kamu mau apa?!” Naya panik dan mendorong Evan, menjauh. Dia bersiap-siap mengambil benda berat atau apapun itu yang ada di sekitarnya.
“Aku cuma,” Evan memotong ucapannya sendiri, menarik paksa tubuh Naya mendekatinya kembali. Satu tangannya merangkul pinggang dan satu tangannya lagi memegang dagu wanita itu. Dia mengecup pelan bibir Naya.
"Jatuh cinta sama kamu. Boleh?" Evan melanjutkan.
Naya mendorong Evan dengan tenaga seadanya, berusaha meraih gagang pintu dan membukanya. Tapi tenaganya tidak mendukung untuk melakukan semua itu.
"Kamu cantik. Banget." Evan mendekatkan tubuhnya.
Aneh, semakin mendengar suara Evan yang berat, Naya semakin merasa tidak keberatan. Dia terdiam, tidak bisa berkata apapun, juga tidak memberi respon apapun. Sinting! Aku ini kenapa? Naya coba menyadarkan dirinya sendiri.
Evan pun semakin mendekatkan tubuhnya, merangkul tubuh Naya lebih erat, sehingga tubuh mereka benar-benar bersentuhan. Mereka bisa merasakan hangat napas satu sama lain. Evan mengecup kembali bibir tipis yang baginya sangat menggoda, ditambah ekspresi terkejut Naya yang baginya terlihat sensual.
“Hmm,” Naya perlahan menyambut kecupan itu, membuat Evan melanjutkan kecupannya menjadi ciuman mesra.
Naya merasakan bibirnya yang dinikmati Evan, sementara ia mengikuti alur ciuman yang semakin liar. Beberapa kali gigi mereka bertabrakan. Tanpa Naya sadari kedua tangannya kini menarik t-shirt putih Evan.
Pikirannya berusaha mencerna semua ini. Ini aneh… Ini salah… Naya membatin, tetapi tidak mampu melepaskan ciumannya itu hingga akhirnya Evan mulai menurunkan bibirnya untuk menjilat leher dan tengkuk Naya.
Naya tersadar, ini salah. Dia mendorong keras tubuh Evan, menamparnya.
“Pergi dari sini.” Naya segera membuka pintu apartemen, meminta Evan keluar.
Evan mengelap bibirnya dengan satu tangan, sebelum dia benar-benar pergi, dia menoleh ke arah Evan sambil tersenyum.
“See you next time, Naya cantik.”
Naya bersandar pada pintu. Kedua telapak tangannya menutup wajah.
Bagaimana bisa? Kenapa aku kayak gini? Aku cuma minum segelas! Tapi…. Naya mengingat senyum terakhir yang diberikan Evan tadi. Menggoda, pikirnya.
.
.
Pagi ini Naya terbangun sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Sambil bersandar pada kepala kasur, ia memijat kepalanya. Rasanya pengar. Naya juga merasakan mual dan panas di perutnya. Dia menghela napas, menutup mata. Tidak, semalam dia tidak begitu mabuk dan masih sadar akan semuanya. Dia sempat bersih-bersih, menghapus riasan, mandi dan keramas menggunakan air hangat, serta menyeduh peppermint tea.Kalau kangen, aku kerja di Fleur. Ya, itu chat yang Evan kirim tadi malam setelah dia berhasil mengusir pria itu dari apartemennya.Naya pun mengingat bagaimana pria asing bernama Evan semalam mengantarnya pulang dan berhasil menciumnya. Tangan Naya refleks menyentuh bibirnya saat bibir Evan memainkan bibirnya. Dia menggeleng, berusaha membuang ingatan tentang kejadian semalam.
Sejak sampai kembali ke apartemen Naya merasa gelisah. Dia memandangi jam dinding dan jam pada ponselnya bergantian. Setelah berhasil meminta Lukas untuk pulang lebih cepat dengan alasan ingin istirahat, Naya berharap apa yang dikatakan oleh Evan adalah sebuah kebenaran. Benar jika itu merupakan janji untuk bertemu.Lagipula Lukas baik-baik saja dan terlihat senang ketika ia meminta pulang, tidak memakan banyak waktu di mall, tempat yang membosankan bagi Lukas. Lalu bagaimana Naya bisa yakin bahwa Evan akan muncul di lobby nanti?"Ah, udahlah… Cowok kayak dia juga punya bakat jadi cowok brengsek, goda sana, goda sini." Naya membanting ponsel, pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Dia memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton series sambil menikmati camilan yang ia beli saat pergi tadi.Jam
Lukas jarang memberinya ciuman. Seperti ciuman yang dilakukan oleh Evan sekarang. Bagi Naya, pria asing di hadapannya ini hadir untuk membayar semua hal yang ia harapkan ada di diri Lukas. Dia selalu ingin Lukas lebih berani dalam mengutarakan perasaan dalam hubungan spesial mereka. Termasuk ucapan manis dan menggoda yang sekarang malah Naya dapatkan dari Evan, orang yang baru dia kenal.Kedua tangan Evan menarik perlahan cardigan yang Naya, melepasnya, dan lanjut membuka atasan piyama dengan tetap melumat bibir Naya yang kini semakin ganas karena Naya sudah mampu mengikuti.Yang ada di pikiran Naya hanya menikmati apa yang dilakukan Evan kepadanya dan terpesona dengan bentuk wajah pria itu. Ketika wajah mereka semakin dekat, Naya bisa melihat lebih rinci wajah Evan yang baginya biasa tapi istimewa. Alis Evan yang tidak tipis, tapi juga tidak tebal.
Naya sudah tidak mampu menahan desahannya, batinnya berteriak ingin menolak apa yang sedang ia terima. Namun setan di dalam dirinya begitu kuat, membuat ia menikmati semuanya. Gerakan dan perlakuan Evan terhadapnya, suara desahan Evan yang mulus masuk ke telinga, juga embusan napasnya yang menggelora. Aroma tembakau bercampur mint keluar dari sana, semakin membuat Naya ketagihan."Kamu suka?" bisik Evan dengan jarinya yang masih bergerak di bawah sana.Naya mengangguk, sejujurnya ia malu."Mau yang lebih?" Evan mempercepat gerakannya.Lagi-lagi Naya mengangguk. Pipinya semakin merah merona.Kamu udah sinting, Naya!Evan kembali menciuminya, dari telinga, pipi,
Lukas mengeluarkan cake tart dengan cream berwarna putih, pada bagian sisi ditaruh stroberi segar dan hiasan keemasan. Ukurannya tidak begitu besar, cukup dihabiskan oleh dua orang saja. Di bagian permukaan tertulis 'selamat dua tahun untuk kita'.Naya membacanya berkali-kali. Semua kenangan bersama Lukas selama dua tahun ini muncul perlahan di kepala. Saat pertama dia bertemu dengan Lukas, di sebuah acara ulang tahun teman mereka. Saat pria itu untuk pertama menjabat tangannya, sambil mengucapkan 'aku Lukas, Lukas William'. Nada suaranya tenang dan lembut."Nggak kerasa ya." Naya fokus melihat Lukas yang menusukan sebuah lilin gold di atas cake."Iya… Soalnya kita sering LDR-an, sih. Walau tanpa sengaja. Maaf, aku sibuk terus." Lukas menyodorkan cake lebih dekat ke hadapan Naya.
"We never know, Na…" Maria menempelkan post-it ke monitor komputer. Beberapa hari terakhir Naya merasakan perasaan yang membuat ia sulit tidur. Lukas sudah pergi ke Surabaya semalam.Naya membaca paduan yang tertulis di post-it. "Dia nggak kasih tahu gue, Ia. Ya masa sampai lupa? Dia bakal nggak ada di sini sebulanan. Kan bisa pamit dulu.""Gue kan udah bilang sama lo, Lukas tuh makin ke sini, makin aneh. Gue masih bisa terima kalau dia nemuin lo satu minggu sekali selama ini, Na. Tapi ya harusnya dia ingat dong buat kabarin lo pas mau berangkat. Minimal lo bisa nganterin dia, kan? Gue udah bilang lho, dia tuh mencurigakan." Maria mengambil karet dan mengikat rambutnya.Sebenarnya Naya ingin sekali menelepon Lukas sekarang juga, bertanya padanya tentang bagaimana bisa pria itu pergi begitu saja tanpa memberi
Dibandingkan cafe sebelumnya, cafe satu ini lebih kecil dan terasa sempit. Naya bisa paham mengapa Maria suka dengan cafe ini. Selain karena bisa lebih dekat dengan personil band favoritnya, suasana cafe ini sedikit berbeda. Tidak ada kelompok orang-orang yang sibuk dengan acara sendiri. Semuanya berbaur jadi satu, berkumpul di dekat stage dengan ukuran kecil. Tidak ada pengunjung yang sibuk asyik dengan obrolannya. Semua fokus mendekati stage, menunggu The Solar yang sedang asyik menyetel alat musik mereka. Siap menikmati penampilan. "Cek.. Cek.." Suara yang tidak asing, Rama, sang vocalist mengecek kualitas mic di tangannya. Maria berbisik. "Dia duda lho. Udah cerai dua kali. Tapi kayak masih single gitu ya, awet muda." "Nah, itu tuh yang namanya Billy, Na. B
Naya tidak kalah kagetnya dengan Maria. Bukan seperti ini rencana yang dia buat. Awalnya Naya hanya ingin perkenalkan Evan sebagai teman barunya. Minimal Maria kenalan dulu dengan Evan, baru nanti Naya bercerita tentang kisahnya dengan pria itu. "Evan." Evan menyodorkan tangannya tanpa rasa kikuk, sementara Naya tidak bisa menutupi perasaan malu bercampur khawatir. Maria menyambut tangan Evan sambil memperhatikan wajahnya yang kemudian dengan cepat kilat melihat penampilannya dari atas sampai bawah. "Gue Maria. Lo?" "Cowoknya Naya." Evan menjawab yakin. Maria melihat Naya dengan ekspresi bingung, berbagai macam pertanyaan yang nyangkut di kepala. Naya hanya bisa menjawab dengan sikap diam, mengulas senyum kecil. Dia tida