Share

Bab 5: Dia Evan Rasuli

Pagi ini Naya terbangun sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Sambil bersandar pada kepala kasur, ia memijat kepalanya. Rasanya pengar. Naya juga merasakan mual dan panas di perutnya. Dia menghela napas, menutup mata. Tidak, semalam dia tidak begitu mabuk dan masih sadar akan semuanya. Dia sempat bersih-bersih, menghapus riasan, mandi dan keramas menggunakan air hangat, serta menyeduh peppermint tea.

Kalau kangen, aku kerja di Fleur. Ya, itu chat yang Evan kirim tadi malam setelah dia berhasil mengusir pria itu dari apartemennya. 

Naya pun mengingat bagaimana pria asing bernama Evan semalam mengantarnya pulang dan berhasil menciumnya. Tangan Naya refleks menyentuh bibirnya saat bibir Evan memainkan bibirnya. Dia menggeleng, berusaha membuang ingatan tentang kejadian semalam.

Untung hari ini Sabtu, pikir Naya. Dia tidak perlu sibuk mengatur segalanya agar saat sampai di kantor penampilannya tidak terlihat buruk. Ponselnya bergetar. 

"Morning, honey…" Naya membalas sapaan dari panggilan masuk. 

"Mau lari pagi, nggak?" Tanya orang di seberang telepon. 

Naya melihat ke arah jendela, terik matahari yang cerah terlihat menembus gorden. "Nggak deh. Males nih. Gimana kalau anter aku ke mall? Aku mau beli sesuatu. Sekalian makan siang di sana."

"Okay."

Panggilan ditutup. Naya sudah terbiasa dengan obrolan singkat dengan Lukas. Pacarnya memang tidak suka banyak bicara, kecuali bercerita mengenai hobi atau hal-hal yang sedang cowok itu sukai.

Kalau dipikir-pikir, ia bisa berpacaran dengan Lukas juga karena dijodohkan oleh teman-temannya. Lukas punya tampilan wajah yang memang di atas rata-rata, dia memiliki darah Jerman dari sang ayah. Tubuhnya tinggi, rambutnya tebal dengan warna kecokelatan. Ada sedikit freckles di wajahnya yang semakin membuatnya terlihat lebih bule.

Setelah menyemprotkan parfum, lebih tepatnya body mist, ponsel Naya bergetar dengan notifikasi chat masuk dari Lukas, pemberitahuan bahwa ia sudah sampai di sekitar apartemen. Seperti biasa, pria itu jarang sekali parkir dan menghampirinya di unit apartemen dengan alasan 'malas'. 

Segara Naya keluar dari apartemennya, memasuki lift, menuju lobby.

"Mall mana nih? Kamu ada yang mau dibeli?" Lukas memperhatikan kaca spion, bersiap membawa mobilnya ke tempat yang ingin Naya datangi. 

"Nggak usah jauh-jauh. Aku cuma mau beli aromaterapi sih." Naya mendekatkan wajahnya ke pipi Lukas, mengecupnya lembut.

Lukas pun membalasnya, mengecup pipi Naya. "Okay."

Lukas membawanya ke sebuah mall besar di pusat kota Jakarta. Lukas bukan tipe cowok yang suka memutari mall. Naya tahu itu. Jangankan memutari mall, berlama-lama di supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja dia tidak suka.

"Di sini yuk." Naya mengajak Lukas berhenti di sebuah toko parfum dengan nama 'Fleur'. Dia hanya ingin memastikan kalau Evan benar-benar bekerja di sana.

Selain menjual berbagai macam produk parfum, deretan sabun dan lilin aroma terapi dipajang di bagian tengah toko dengan sebuah meja transparan. Begitu masuk ke dalamnya, aroma bunga bercampur rempah masuk ke rongga hidung.

Naya mencoba satu demi satu produk, mencium aromanya, mencari tipe aroma favoritnya sambil memperhatikan isi toko.

"Kayaknya kakak suka yang powdery," tanya seseorang di sampingnya, suara yang tidak asing terdengar. Suara berat yang Naya suka.

Naya menoleh. Dia tidak bisa menutupi ekspresi terkejut bercampur gugup.

"Ada yang bisa dibantu? Cari aroma seperti apa?" Pria berpakaian rapi dengan name tag bertuliskan 'Evan Rasuli'.

"Oh.. " Tidak tahu mengapa Naya merasa kikuk dan salah tingkah. Dia menggaruk pelan lehernya. "Mau lihat-lihat dulu."

Evan terus berada di samping Naya. Sebagai pramuniaga, memang sangat biasa didampingi untuk menemukan produk yang tepat, tapi Naya merasakan perasaan aneh muncul di hatinya saat menyadari pramuniaga itu adalah Evan, pria yang menciumnya tadi malam.

Lukas mencolek bahunya. "Aku tunggu di luar. "

Naya mengangguk. Dia melanjutkan melihat isi toko, walau tidak bisa setenang tadi karena Evan terus berada di samping, dia tetap coba bersikap biasa saja. Bahkan berusaha tidak menunjukan bahwa dia mengenali Evan.

Evan semakin mendekatkan tubuhnya dan mencuri pandangan Naya.

"Nggak mungkin lupa sama aku,kan?" tanya Evan dengan volume suara teramat pelan. Sampai Naya sekilas tidak bisa mendengarnya. Dia terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

"Cowok itu pacarmu?" Evan melihat ke arah Lukas yang asyik bermain dengan ponselnya di luar toko.

"Dia ninggalin kamu dalam toko ini gitu aja? Ah cowok macam apa. Tenang, ada aku." Evan mengulas senyum. "Jangankan bantuin kamu pilih produk, aku bakal temenin kamu kapanpun seperti yang kamu mau."

Naya masih diam dengan tangan yang mengambil satu-persatu produk dari etalase. Pura-pura memperhatikan setiap bagiannya.

"Aku cuna nawarin sekali seumur hidup lho. Cowok kamu kelihatan cuek. Yakin nggak butuh aku, Naya cantik?" Evan menjauhkan tubuhnya ketika ada pelanggan lain masuk ke dalam toko. Dia bersiap meninggalkan Naya karena wanita itu tidak juga menjawab tawarannya.

Naya menarik lengan Evan, "Aku mau beli ini."

Tangannya membawa sebuah lilin aroma terapi berwarna kebiruan. Evan mengambil lilin itu, menuntun Naya pergi ke meja kasir.

Sambil menyelesaikan transaksi, Evan memasukan sample parfum ke dalam paper bag. Dia memberikan paper bag tersebut pada Naya. "Terima kasih, kak."

Lagi-lagi Evan mendekatkan tubuhnya pada Naya. "Ada aroma favoritku di dalam sana. Siapa tahu kamu kangen. Nanti malam aku tunggu di lobby apartemenmu."

Secepat mungkin Naya mengambil paper bag dari tangan Evan dan menghampiri Lukas. Dia mengajak Lukas untuk meninggalkan toko tanpa melihat ke arah Evan sedikitpun. Ada rasa takut dalam hatinya dan menyesal mengapa ia harus membiarkan Evan mengantarnya semalam.

Namun setengah hatinya berkata ia senang dengan tawaran dan kata-kata yang menggoda dari Evan kepadanya. Sudah lama dia tidak merasakan hal seperti ini. 

Nanti malam… Seketika Naya merasa tidak sabar akan terbenamnya matahari.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status