Pagi ini Naya terbangun sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Sambil bersandar pada kepala kasur, ia memijat kepalanya. Rasanya pengar. Naya juga merasakan mual dan panas di perutnya. Dia menghela napas, menutup mata. Tidak, semalam dia tidak begitu mabuk dan masih sadar akan semuanya. Dia sempat bersih-bersih, menghapus riasan, mandi dan keramas menggunakan air hangat, serta menyeduh peppermint tea.
Kalau kangen, aku kerja di Fleur. Ya, itu chat yang Evan kirim tadi malam setelah dia berhasil mengusir pria itu dari apartemennya.
Naya pun mengingat bagaimana pria asing bernama Evan semalam mengantarnya pulang dan berhasil menciumnya. Tangan Naya refleks menyentuh bibirnya saat bibir Evan memainkan bibirnya. Dia menggeleng, berusaha membuang ingatan tentang kejadian semalam.
Untung hari ini Sabtu, pikir Naya. Dia tidak perlu sibuk mengatur segalanya agar saat sampai di kantor penampilannya tidak terlihat buruk. Ponselnya bergetar.
"Morning, honey…" Naya membalas sapaan dari panggilan masuk.
"Mau lari pagi, nggak?" Tanya orang di seberang telepon.
Naya melihat ke arah jendela, terik matahari yang cerah terlihat menembus gorden. "Nggak deh. Males nih. Gimana kalau anter aku ke mall? Aku mau beli sesuatu. Sekalian makan siang di sana."
"Okay."
Panggilan ditutup. Naya sudah terbiasa dengan obrolan singkat dengan Lukas. Pacarnya memang tidak suka banyak bicara, kecuali bercerita mengenai hobi atau hal-hal yang sedang cowok itu sukai.
Kalau dipikir-pikir, ia bisa berpacaran dengan Lukas juga karena dijodohkan oleh teman-temannya. Lukas punya tampilan wajah yang memang di atas rata-rata, dia memiliki darah Jerman dari sang ayah. Tubuhnya tinggi, rambutnya tebal dengan warna kecokelatan. Ada sedikit freckles di wajahnya yang semakin membuatnya terlihat lebih bule.
Setelah menyemprotkan parfum, lebih tepatnya body mist, ponsel Naya bergetar dengan notifikasi chat masuk dari Lukas, pemberitahuan bahwa ia sudah sampai di sekitar apartemen. Seperti biasa, pria itu jarang sekali parkir dan menghampirinya di unit apartemen dengan alasan 'malas'.
Segara Naya keluar dari apartemennya, memasuki lift, menuju lobby.
"Mall mana nih? Kamu ada yang mau dibeli?" Lukas memperhatikan kaca spion, bersiap membawa mobilnya ke tempat yang ingin Naya datangi.
"Nggak usah jauh-jauh. Aku cuma mau beli aromaterapi sih." Naya mendekatkan wajahnya ke pipi Lukas, mengecupnya lembut.
Lukas pun membalasnya, mengecup pipi Naya. "Okay."
Lukas membawanya ke sebuah mall besar di pusat kota Jakarta. Lukas bukan tipe cowok yang suka memutari mall. Naya tahu itu. Jangankan memutari mall, berlama-lama di supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja dia tidak suka.
"Di sini yuk." Naya mengajak Lukas berhenti di sebuah toko parfum dengan nama 'Fleur'. Dia hanya ingin memastikan kalau Evan benar-benar bekerja di sana.
Selain menjual berbagai macam produk parfum, deretan sabun dan lilin aroma terapi dipajang di bagian tengah toko dengan sebuah meja transparan. Begitu masuk ke dalamnya, aroma bunga bercampur rempah masuk ke rongga hidung.
Naya mencoba satu demi satu produk, mencium aromanya, mencari tipe aroma favoritnya sambil memperhatikan isi toko.
"Kayaknya kakak suka yang powdery," tanya seseorang di sampingnya, suara yang tidak asing terdengar. Suara berat yang Naya suka.
Naya menoleh. Dia tidak bisa menutupi ekspresi terkejut bercampur gugup.
"Ada yang bisa dibantu? Cari aroma seperti apa?" Pria berpakaian rapi dengan name tag bertuliskan 'Evan Rasuli'.
"Oh.. " Tidak tahu mengapa Naya merasa kikuk dan salah tingkah. Dia menggaruk pelan lehernya. "Mau lihat-lihat dulu."
Evan terus berada di samping Naya. Sebagai pramuniaga, memang sangat biasa didampingi untuk menemukan produk yang tepat, tapi Naya merasakan perasaan aneh muncul di hatinya saat menyadari pramuniaga itu adalah Evan, pria yang menciumnya tadi malam.
Lukas mencolek bahunya. "Aku tunggu di luar. "
Naya mengangguk. Dia melanjutkan melihat isi toko, walau tidak bisa setenang tadi karena Evan terus berada di samping, dia tetap coba bersikap biasa saja. Bahkan berusaha tidak menunjukan bahwa dia mengenali Evan.
Evan semakin mendekatkan tubuhnya dan mencuri pandangan Naya.
"Nggak mungkin lupa sama aku,kan?" tanya Evan dengan volume suara teramat pelan. Sampai Naya sekilas tidak bisa mendengarnya. Dia terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
"Cowok itu pacarmu?" Evan melihat ke arah Lukas yang asyik bermain dengan ponselnya di luar toko.
"Dia ninggalin kamu dalam toko ini gitu aja? Ah cowok macam apa. Tenang, ada aku." Evan mengulas senyum. "Jangankan bantuin kamu pilih produk, aku bakal temenin kamu kapanpun seperti yang kamu mau."
Naya masih diam dengan tangan yang mengambil satu-persatu produk dari etalase. Pura-pura memperhatikan setiap bagiannya.
"Aku cuna nawarin sekali seumur hidup lho. Cowok kamu kelihatan cuek. Yakin nggak butuh aku, Naya cantik?" Evan menjauhkan tubuhnya ketika ada pelanggan lain masuk ke dalam toko. Dia bersiap meninggalkan Naya karena wanita itu tidak juga menjawab tawarannya.
Naya menarik lengan Evan, "Aku mau beli ini."
Tangannya membawa sebuah lilin aroma terapi berwarna kebiruan. Evan mengambil lilin itu, menuntun Naya pergi ke meja kasir.
Sambil menyelesaikan transaksi, Evan memasukan sample parfum ke dalam paper bag. Dia memberikan paper bag tersebut pada Naya. "Terima kasih, kak."
Lagi-lagi Evan mendekatkan tubuhnya pada Naya. "Ada aroma favoritku di dalam sana. Siapa tahu kamu kangen. Nanti malam aku tunggu di lobby apartemenmu."
Secepat mungkin Naya mengambil paper bag dari tangan Evan dan menghampiri Lukas. Dia mengajak Lukas untuk meninggalkan toko tanpa melihat ke arah Evan sedikitpun. Ada rasa takut dalam hatinya dan menyesal mengapa ia harus membiarkan Evan mengantarnya semalam.
Namun setengah hatinya berkata ia senang dengan tawaran dan kata-kata yang menggoda dari Evan kepadanya. Sudah lama dia tidak merasakan hal seperti ini.
Nanti malam… Seketika Naya merasa tidak sabar akan terbenamnya matahari.
.
.
Sejak sampai kembali ke apartemen Naya merasa gelisah. Dia memandangi jam dinding dan jam pada ponselnya bergantian. Setelah berhasil meminta Lukas untuk pulang lebih cepat dengan alasan ingin istirahat, Naya berharap apa yang dikatakan oleh Evan adalah sebuah kebenaran. Benar jika itu merupakan janji untuk bertemu.Lagipula Lukas baik-baik saja dan terlihat senang ketika ia meminta pulang, tidak memakan banyak waktu di mall, tempat yang membosankan bagi Lukas. Lalu bagaimana Naya bisa yakin bahwa Evan akan muncul di lobby nanti?"Ah, udahlah… Cowok kayak dia juga punya bakat jadi cowok brengsek, goda sana, goda sini." Naya membanting ponsel, pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Dia memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton series sambil menikmati camilan yang ia beli saat pergi tadi.Jam
Lukas jarang memberinya ciuman. Seperti ciuman yang dilakukan oleh Evan sekarang. Bagi Naya, pria asing di hadapannya ini hadir untuk membayar semua hal yang ia harapkan ada di diri Lukas. Dia selalu ingin Lukas lebih berani dalam mengutarakan perasaan dalam hubungan spesial mereka. Termasuk ucapan manis dan menggoda yang sekarang malah Naya dapatkan dari Evan, orang yang baru dia kenal.Kedua tangan Evan menarik perlahan cardigan yang Naya, melepasnya, dan lanjut membuka atasan piyama dengan tetap melumat bibir Naya yang kini semakin ganas karena Naya sudah mampu mengikuti.Yang ada di pikiran Naya hanya menikmati apa yang dilakukan Evan kepadanya dan terpesona dengan bentuk wajah pria itu. Ketika wajah mereka semakin dekat, Naya bisa melihat lebih rinci wajah Evan yang baginya biasa tapi istimewa. Alis Evan yang tidak tipis, tapi juga tidak tebal.
Naya sudah tidak mampu menahan desahannya, batinnya berteriak ingin menolak apa yang sedang ia terima. Namun setan di dalam dirinya begitu kuat, membuat ia menikmati semuanya. Gerakan dan perlakuan Evan terhadapnya, suara desahan Evan yang mulus masuk ke telinga, juga embusan napasnya yang menggelora. Aroma tembakau bercampur mint keluar dari sana, semakin membuat Naya ketagihan."Kamu suka?" bisik Evan dengan jarinya yang masih bergerak di bawah sana.Naya mengangguk, sejujurnya ia malu."Mau yang lebih?" Evan mempercepat gerakannya.Lagi-lagi Naya mengangguk. Pipinya semakin merah merona.Kamu udah sinting, Naya!Evan kembali menciuminya, dari telinga, pipi,
Lukas mengeluarkan cake tart dengan cream berwarna putih, pada bagian sisi ditaruh stroberi segar dan hiasan keemasan. Ukurannya tidak begitu besar, cukup dihabiskan oleh dua orang saja. Di bagian permukaan tertulis 'selamat dua tahun untuk kita'.Naya membacanya berkali-kali. Semua kenangan bersama Lukas selama dua tahun ini muncul perlahan di kepala. Saat pertama dia bertemu dengan Lukas, di sebuah acara ulang tahun teman mereka. Saat pria itu untuk pertama menjabat tangannya, sambil mengucapkan 'aku Lukas, Lukas William'. Nada suaranya tenang dan lembut."Nggak kerasa ya." Naya fokus melihat Lukas yang menusukan sebuah lilin gold di atas cake."Iya… Soalnya kita sering LDR-an, sih. Walau tanpa sengaja. Maaf, aku sibuk terus." Lukas menyodorkan cake lebih dekat ke hadapan Naya.
"We never know, Na…" Maria menempelkan post-it ke monitor komputer. Beberapa hari terakhir Naya merasakan perasaan yang membuat ia sulit tidur. Lukas sudah pergi ke Surabaya semalam.Naya membaca paduan yang tertulis di post-it. "Dia nggak kasih tahu gue, Ia. Ya masa sampai lupa? Dia bakal nggak ada di sini sebulanan. Kan bisa pamit dulu.""Gue kan udah bilang sama lo, Lukas tuh makin ke sini, makin aneh. Gue masih bisa terima kalau dia nemuin lo satu minggu sekali selama ini, Na. Tapi ya harusnya dia ingat dong buat kabarin lo pas mau berangkat. Minimal lo bisa nganterin dia, kan? Gue udah bilang lho, dia tuh mencurigakan." Maria mengambil karet dan mengikat rambutnya.Sebenarnya Naya ingin sekali menelepon Lukas sekarang juga, bertanya padanya tentang bagaimana bisa pria itu pergi begitu saja tanpa memberi
Dibandingkan cafe sebelumnya, cafe satu ini lebih kecil dan terasa sempit. Naya bisa paham mengapa Maria suka dengan cafe ini. Selain karena bisa lebih dekat dengan personil band favoritnya, suasana cafe ini sedikit berbeda. Tidak ada kelompok orang-orang yang sibuk dengan acara sendiri. Semuanya berbaur jadi satu, berkumpul di dekat stage dengan ukuran kecil. Tidak ada pengunjung yang sibuk asyik dengan obrolannya. Semua fokus mendekati stage, menunggu The Solar yang sedang asyik menyetel alat musik mereka. Siap menikmati penampilan. "Cek.. Cek.." Suara yang tidak asing, Rama, sang vocalist mengecek kualitas mic di tangannya. Maria berbisik. "Dia duda lho. Udah cerai dua kali. Tapi kayak masih single gitu ya, awet muda." "Nah, itu tuh yang namanya Billy, Na. B
Naya tidak kalah kagetnya dengan Maria. Bukan seperti ini rencana yang dia buat. Awalnya Naya hanya ingin perkenalkan Evan sebagai teman barunya. Minimal Maria kenalan dulu dengan Evan, baru nanti Naya bercerita tentang kisahnya dengan pria itu. "Evan." Evan menyodorkan tangannya tanpa rasa kikuk, sementara Naya tidak bisa menutupi perasaan malu bercampur khawatir. Maria menyambut tangan Evan sambil memperhatikan wajahnya yang kemudian dengan cepat kilat melihat penampilannya dari atas sampai bawah. "Gue Maria. Lo?" "Cowoknya Naya." Evan menjawab yakin. Maria melihat Naya dengan ekspresi bingung, berbagai macam pertanyaan yang nyangkut di kepala. Naya hanya bisa menjawab dengan sikap diam, mengulas senyum kecil. Dia tida
"Hmmm…" Naya memejamkan mata. Semakin terbiasa, dia semakin jago mengikuti gerakan Evan. Berbeda saat pertama kali melakukannya, kali ini terasa lebih nyaman. Evan mendorong miliknya lebih dalam dari biasanya membuat Naya menggelinjang. Kedua tangan Naya mencengkeram punggung Evan kuat. Begitupun Evan yang berusaha menahan badannya dengan kedua tangan. "Ahh… Evan.. Ahh…..." Suara desahan Naya membuat Evan kian mempercepat gerakannya. Dia menciumi Naya tanpa ampun. Napas mereka semakin menggebu. "En..nak?" Evan berbisik sambil tetap fokus menggerakan miliknya dengan tempo yang semakin cepat. "Ah.. Aku.. Aku mau keluar." Naya tidak kuat lagi. "Aaaahhhh……." Hentakan kencang dari Evan berhasil membuatnya sampai di puncak.