“Kantor bapuk!” Naya berteriak dalam hatinya. Harusnya hari ini dia bisa berleha-leha pulang ke rumah, atau menghampiri Evan di tokonya. Tapi mendadak dia harus mengerjakan kerjaan sampai malam alias lembur.
Ada Bimo dan Tasya yang bernasib sama. Naya memutuskan untuk memesan makanan dari aplikasi online, setidaknya dia harus mengisi perutnya yang sejak tadi terasa lapar. Lembur di kantor yang sebenarnya hanya beberapa jam saja memang sering terasa seperti satu hari penuh.
Tasya menyodorkan layar tablet. “Pertengahan bulan depan ada Run for Life lagi lho. Kamu ndak mau ikut?”
Naya menaikan bahunya. “Jauh jaraknya?”
“Ndak terlalu kok. Kan asyik-asyikan juga. Tahun lalu ada banyak artes yang ikutan. Lumayan tho bisa pamer sama orang kalau pernah lari bareng artes
Halo, teman-teman pembaca! Terima kasih ya udah tertarik baca karyaku yang satu ini. So sorry baru bisa lanjut nulis. Semoga ke depannya bisa lebih rutin update. Supaya kisah antara Naya, Lukas, dan Evan bisa kalian ikuti terus.
Langit-langit kamar jadi pemandangan pertama yang Naya lihat selepas dia membuka mata. Dia menarik napas dalam, menghembuskannya panjang. Walau sudah memutuskan untuk menjalani semuanya dengan santai dan berusaha mengambil rasa senangnya saja, perasaan Naya tidak bisa berbohong. Rasa penasaran sekaligus curiga pada Lukas, juga kepastian yang dia tunggu dari Evan. Serakah! Naya mengatai dirinya sendiri.Kalau dia memajukan egonya, mungkin saat ini dia lebih mementingkan Evan. Naya akan menyudahi hubungannya dengan Lukas, pria kaku yang sampai saat ini tidak berani memberinya ‘lebih’. Lukas yang memiliki ambisi tersendiri pada karirnya dan Lukas yang semakin jarang menyediakan waktu spesial untuknya.Buat apa dipertahankan? Naya hanya ingin semuanya berjalan baik-baik saja. Bagaimanapun, Lukas adalah pria yang hadir di saat Naya membutuhkan sosok peli
Lagi… Lagi… Lebih dalam lagi…Naya menggila, permainan yang dimainkan Evan berbeda dari biasanya. Aroma tubuh Evan yang selalu Naya ingat, kembali bisa ia rasakan. Satu tangan Evan meremas payudara Naya bergantian, sementara satu tangannya lagi menahan tubuh Naya yang mulai bergerak tidak karuan. Evan terus menarik dan mendorong ‘miliknya’ dengan gerakan lebih cepat.“Ahhh…Ah.. Ah.. E-vaaan…” Suara Naya terbata seiring napasnya yang terengah-engah.Jilatan dari Evan pada telinga Naya membuatnya semakin tidak mampu mengendalikan dirinya. Kedua tangan Naya bersandar pada dinding kamarnya. Dia berusaha menyelaraskan gerakan tubuh Evan.“Kangen banget sama kamu,” Evan berbisik. Dia mengangkat sat
Helaan napas Naya semakin berat ketika mendengar cerita tentang masalah keluarga besarnya. Baru saja mematikan ponsel, panggilan dari Ibu kembali muncul di layar.“Mama ke Jakarta aja, ya? Nginep dulu sementara di apartemen kamu. Sore ini jemput di pool travel Kebayoran. Pip.” Mama menutup panggilan tanpa menunggu respon dari Naya.Lagi, Naya menghela napas, kini jauh lebih berat. Naya memperhatikan ruang apartemen dengan tipe studionya yang cukup berantakan. Sebelum berangkat ke kantor, dia coba membereskan apa saja yang bisa ia bereskan sekarang juga. Daripada nanti kena omel Mama yang tidak suka ruangan berantakan.Oh! Naya terhentak ketika menemukan satu cincin silver
Hujan yang mendadak turun tanpa perkiraan membuat Naya harus ekstra gerak cepat menuju stasiun LRT. Naya memasukan kedua tangannya ke dalam jaket. Beruntungnya Maria membawa jaket di mobil dan meminjamkan padanya. Hujan di Indonesia memang tidak mudah untuk ditebak.Sesampainya di stasiun tujuan, Naya segera jalan cepat ke pool travel. Tentu saja jaket pinjaman tidak mampu menghindari air hujan yang sudah membasahi tubuhnya. Dia menyesal menolak tawaran Maria untuk mengantarnya.“Kamu nggak bawa payung?” tanya Mama sambil memasukan benda-benda di tangannya ke dalam tas di pangkuan.“Yah, nggak ngira bakal hujan juga, Ma. Bentar, Naya pesan taksi online dulu.”Tidak ada pembicaraan khusus di antara mereka selama menunggu taksi datang. Begitupun ket
Naya merapikan rambutnya yang sudah memanjang. Dia memulas blush on lebih tebal dan lipstik yang lebih menyala setelah Mama memberi tahu ke mana tujuannya setelah ini. Seharian menemani berjalan-jalan di mall besar yang tentu membuat kaki terasa sakit tanpa membeli barang penting. Sekadar melihat-lihat saja.Sudah waktunya makan malam, Mama membawanya makan malam di sebuah restoran Jepang, jenis restoran yang tidak begitu disukai Mama. Naya mengerutkan kening, bagaimana bisa selera lidah seseorang bisa begitu cepat berubah? Dia berpikir keras.Mama membuka buku menu. “Mau pesan apa kamu?”“Tumben mau makan makanan Jepang gini. Biasa nolak.” Naya mengambil buku menu dari atas meja.“Mama ada janji sama temen di sini. Roy sama istrinya, Bella.”Naya memperhatikan ekspresi wajah wanita di hadapannya, mengapa tidak bilang sejak awal? Naya bingung dan memilih untuk mengangguk.Hampir satu jam, mereka yang disebut oleh Mama tidak juga
"Calon besan…"Tulis Mama dalam kolom caption media sosialnya saat mengunggah foto dengan Bella dan Roy. Naya menghela napas panjang, menutup layar ponselnya. Mama tahu ada Lukas di kehidupan Naya, tapi mengapa lakukan hal konyol seperti ini. Dia tidak mengerti. Naya bangkit dari kasur. Biasanya akhir pekan adalah waktu tepat ia untuk mengembalikan energi. Kali ini tidak, ada Mama yang sejak mulainya matahari terbit tiga jam lalu sibuk membersihkan semua sudut apartemen."Beli di seberang ya, Ma?" tanya Naya setelah mendapati bungkusan styrofoam dengan sebungkus kerupuk di atasnya."Iya, sana sarapan dulu. Hari kita pergi lagi ya ketemu Roy sama Bella." Mama bersiap masuk ke toilet membawa handuk.Naya mengerutkan kening. "Lah? Kan semalam udah?""Ya, kan kapan lagi Mama ketemu mereka. Adrian juga ikut. Semalam kalian nggak banyak interaksi, kan? Adrian pebisnis hebat lho, Na. Dia ambil S2 di Aussie. Beasiswa.""Buat ap
Naya mengaduk kencang seduhan kopi dalam gelas di hadapannya. Rutinitas yang menyenangkan baginya, tapi kini terasa menjenuhkan. Segera dia membawa gelas itu ke balik meja kerja. Ingin sekali secepatnya menyelesaikan pekerjaan, lalu pergi entah ke mana. Menolak pulang cepat ke apartemen.“Lagi mens? Kusut tuh muka.” Maria menggeser bangkunya mendekati meja Naya.Naya mengangkat bahu. Terlalu banyak hal menyebalkan yang harus ia hadapi akhir-akhir ini.“Marahan sama Evan?”Helaan napas yang berat memperlihatkan bahwa Naya sedang tidak baik-baik aja.“Nggak tahu, udah beberapa hari nggak kontakan sama dia.”Maria melihat sekitar, memastikan tidak ada anak kantor lain yang sedang menguping mereka. “Putus? Eh kan katanya lo sama dia nggak pacaran. FWB-an doang, kan? Terus terus?”Naya ikut melirik kondisi sekitarnya. “Ya itu, makin lama gue sadar juga kalau gue sama Evan nggak ada hubungan yang jelas. Pengen banget gue tanya kabar dia, tapi entah kenapa ada aja perasaan aneh yang nahan bu
Ternyata apartemen Lukas tidak begitu jauh dari mall tempat pria itu bekerja. Lukas membantu Naya melepas helm dan menggantungnya di motor. Lega rasanya bisa bertemu Lukas kembali. Naya tidak bisa menahan senyumnya ketika menyadari tangan siapa yang menggenggamnya erat.Lukas menekan tombol '9' dan lift segera menutup pintunya. Bayangan mereka yang terpantul di pintu lift terlihat samar seperti perasaan Naya saat ini."Pake aja sepatunya kalau males buka." Evan melempar jaketnya ke atas kasur yang terletak di tengah ruangan, bersandar pada dinding.Naya menggeleng. "Buka dong, nanti ngotorin."Evan menyalakan AC, membuka kulkas mini di samping kasur. Dua kaleng bir dingin ia taruh di atas meja."Aku kangen banget sama kamu." Evan mempersilakan Naya duduk."Kamu yang ngilang." Naya membuka blazer. "Sibuk?""Lumayan. Mau buka cabang di mall sebelah. Jadi ya lumayan harus bantu urus."Naya mengangguk pelan. "Buka ya?"Dia membuka bir dengan cepat, meminumnya.Evan menaruh kepalanya di ba