Ternyata apartemen Lukas tidak begitu jauh dari mall tempat pria itu bekerja. Lukas membantu Naya melepas helm dan menggantungnya di motor. Lega rasanya bisa bertemu Lukas kembali. Naya tidak bisa menahan senyumnya ketika menyadari tangan siapa yang menggenggamnya erat.Lukas menekan tombol '9' dan lift segera menutup pintunya. Bayangan mereka yang terpantul di pintu lift terlihat samar seperti perasaan Naya saat ini."Pake aja sepatunya kalau males buka." Evan melempar jaketnya ke atas kasur yang terletak di tengah ruangan, bersandar pada dinding.Naya menggeleng. "Buka dong, nanti ngotorin."Evan menyalakan AC, membuka kulkas mini di samping kasur. Dua kaleng bir dingin ia taruh di atas meja."Aku kangen banget sama kamu." Evan mempersilakan Naya duduk."Kamu yang ngilang." Naya membuka blazer. "Sibuk?""Lumayan. Mau buka cabang di mall sebelah. Jadi ya lumayan harus bantu urus."Naya mengangguk pelan. "Buka ya?"Dia membuka bir dengan cepat, meminumnya.Evan menaruh kepalanya di ba
Kedua tangan Evan memegang kepala Naya dan membimbingnya. Sementara Naya mencoba menikmati apa yang sedang ia lakukan. Pengalaman pertama Naya, walau di satu sisi ia merasa keberatan.Desahan Evan terdengar jelas. Dia mendorong kepala Naya lembut, menjauhkan wajah mungil perempuan itu dan meminta menyudahinya. Rasa nikmat yang diberikan Naya membuat nafsunya semakin naik.Dia kembali menciumi Naya, tidak terkendali. Kini sudah tidak ada lagi selembar kain pun yang melapisi tubuh mereka. Evan menggendong Naya ke atas kasur sambil tidak melepaskan ciumannya. Dengan cepat memasukan miliknya, mendorong dan menariknya teratur. Naya kehilangan kesadaran. Dia tidak lagi mampu menahan desahannya. Begitu juga dengan Evan. Keduanya menyatu, saling menikmati, seperti dunia hanya milik mereka.Evan mendesah panjang. Seketika Naya merasakan cairan hangat keluar di dalam sana. Mereka mengatur napas masing-masing. "I love you, Naya. So much." Evan mengecup kening Naya lalu perlahan menarik milikny
“Suka?”“Ahh… Aku… Ahhh…”Naya mencengkram sprei kencang, tubuhnya menggelinjang dengan perasaan nikmat. Seolah ada aliran listrik yang keluar dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Tubuhnya pun lemas, tapi dia tetap berada di posisinya, mengatur napas.Pelan Evan mengeluarkan miliknya. Mereka sama-sama mencerna apa yang baru saja mereka lakukan. Menikmati perasaan luar biasa nikmat yang terus terbayang. Kedua tangan Evan memeluk Naya, membimbingnya untuk tidur bersama dalam rangkulan, memandangi langit-langit kamar.Puas…. Naya terbayang-bayang satu kata tersebut dalam kepala. Mungkin selama ini yang ia tidak bisa juga dapatkan dari Lukas adalah rasa puas. Selain sikap dingin pria itu padanya dalam satu tahun terakhir, Lukas tidak pernah mau menyentuhnya lebih dari ciuman dan pelukan.Belum lagi keberadaannya yang terasa semakin jauh, semakin tidak Naya kenali. Evan menciumi pipi Naya dan kemudian memberi tanda di leher kiri, tanda berwarna kemerahan.Apakah harus menyudahinya? Menyudah
Sama sekali Naya tidak ingin segera sampai ke apartemen. Sejak tadi, perasaannya sangat tidak tenang. Sampai Naya tidak bisa lagi berkata-kata. Evan memakaikan helm dan jaket oversize berbahan denim pada Naya.Tidak lama saat Evan mulai menjalankan motornya, air mata kembali mengalir di pipi Naya. Membuat Naya langsung memeluk punggung Evan erat. Bagaimana bisa? Ketika ia sudah menetapkan hati untuk memilih hubungan mana yang baginya mendatangkan kebahagiaan, sosok itu justru kembali.Mungkin dua tahun bagi banyak orang terkesan biasa saja. Perjalanan yang tergolong tidak lama, tapi juga tidak sebentar. Mungkin bagi banyak orang konflik batin yang Naya rasakan selama ini tentang hubungannya bersama Lukas hanya sebatas masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.Tidak, Naya memejamkan mata sesaat. Mengingat bagaimana Lukas pertama kali hadir dalam kehidupannya. Memang rasanya tidak begitu spesial seperti kisah kasih pasangan lain. Tapi Lukas hadir di waktu yang tepat
Sekian detik Naya dan Evan sama-sama diam, tidak tahu mau menjawab apa. Naya menggeleng. “Bu..bukan, Ma…. Ini sahabat dekat Naya di sini. Namanya Evan.” Evan langsung turun dan membuka helm setelah memastikan standar motor sudah ia turunkan. “Evan Rasuli,” sambut Evan menjulurkan tangannya. “Sarah, mamanya Naya.” Mama menyalami Evan.” “Mama dari mana?” Naya mencoba tenang.“Dari mini market. Nggak masuk ke atas?” Mata Evan melirik sekilas ke arah Naya. “Nggak usah tante, cuma mau antar Naya aja.” “Kirain tadi Lukas. Teman sekantor?” Naya menghela napas, bagaimana bisa sang Mama menyebut nama Lukas lebih dari sekali di depan Evan. Walau tentu pria itu sudah paham kondisinya, tapi tetap saja membuat tidak nyaman. “Nggak, tante. Beda kantor cuma tadi sekalian pulang bareng.” “Oh gitu…” “Saya pamit pulang dulu ya, tante. Udah malam juga.” Evan mengangguk-angguk, lalu kembali menjulurkan tangan yang langsung dibalas kembali oleh Mama. “Hati-hati di jalan, Evan.” Senyum lebar Ma
Sejujurnya, ada rasa rindu dalam hati Naya pada Lukas. Setengah hatinya berkata rindu, setengah hatinya berkata ragu. Tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan rasa ragu itu, hanya saja Naya tidak tenang, seolah dikejar sesuatu yang kapan pun siap meledak. Menghancurkan semuanya. Mau tidak mau, Naya harus siap bila nantinya harus kehilangan Lukas dan Evan. Keduanya. Mungkin saja Tuhan akan marah karena sikap labil Naya dan pengkhianatan yang ia lakukan. Ponsel Naya berbunyi. "Aku udah di bawah ya." Nada suara Lukas datar seperti biasanya. Naya yang sibuk mengaduk kopi dalam gelas segera menyelesaikannya, lari pelan turun ke lantai dasar lobby apartemen. Dari jauh, sosok Lukas dengan kaos Polonya berdiri tegak terlihat samar di balik pintu kaca. "Lukaaaas!" sapa Naya yang diikuti tangannya yang merangkul lengan Lukas. Secepatnya Lukas memberi pelukan. Ada rasa rindu dalam pelukan itu. Naya bisa merasakannya. "Akhirnya," senyum kecil Lukas dan tatapan matanya yang hangat, hal yang
Maria berlari kecil menghampiri Naya ketika mereka berpapasan di depan kantor. Dia menyadari, pria yang baru saja mengantar Naya dengan mobil hitam adalah Lukas. Mata Naya terbelalak, keningnya mengkerut, mulutnya mengucapkan nama Lukas tanpa suara yang lalu diiyakan Naya dengan anggukan.“Gue nggak salah lihat, kan? Dia di Jakarta? Sejak kapan?”Naya merapikan rok selututnya. “Tadi malam, tiba-tiba ngasih kabar kalau dia ke sini.”“Terus?”“Apanya yang terus?”“Ketemu nyokap dong?”Naya mengangkat bahu. “Iya gitu deh.”“Astaga, lo pasti pusing, kan? Secara nyokap lo udah juga ketemu sama Evan.” Maria mengamati sekitar, memastikan tidak ada siapapun di dekat mereka. “Waktunya lo milih, Lukas apa Evan? Pacar lo atau selingkuhan lo itu.”Mereka menaiki lift. “Evan juga udah jadi cowok gue, Ia. Dia janji bakal ada di samping gue. Jadi…”“Jangan bilang lo…..”Pintu lift terbuka. Tanpa melanjutkan ucapan, mereka berjalan ke meja masing-masing. Walau dari balik kubikel terlihat Maria yang m
Mama minta bertemu langsung di restoran karena ia ada janji bertemu temannya. Naya membuka buku menu, tidak ada makanan yang menarik baginya meski chinese food adalah salah satu masakan kesukaannya. Sesekali matanya mengamati gerak-gerik Lukas yang duduk tepat di hadapannya. "Mau pesan sekarang?" tanya pramusaji yang sejak tadi berdiri di samping mereka dengan kedua tangan memegang note dan pulpen.Lukas menutup buku menu. "Tungguin Mama aja dulu kali, ya?""Iya, nanti aja.""Lagi nunggu dulu, Mbak. Menunya di sini aja." Lukas kembali membuka buku menu.Sekejap pramusaji itu menghilang dari pandangan.Ingin sekali Naya langsung bertanya seputar apa yang ingin pria itu bicarakan padanya. Tetapi ia menahannya dalam hati, berharap Lukas duluan yang memulai pembicaraan."Na," panggil Lukas, nada suaranya datar. Kedua matanya fokus memandangi Naya.Kening Naya mengkerut. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dan tanpa ia sadari, ia menggerakkan kaki kanannya berulang. "Bantu aku buat bil