“Katanya, kalau ada bulu mata rontok tuh berarti ada yang lagi kangen.” Sambil menyalakan mesin mobil, Adrian memperhatikan Naya yang sedang berusaha mengambil bulu mata di pipinya.Naya berdecak. “Kata siapa, sih? Bohong itu.”“Dih, kagak percaya. Si Lukas tuh kayaknya, bulu mata kerinduan Lukas sama lo.”Rindu? Gimana bisa rindu, tapi jarang banget memberi kabar? Naya berbicara dalam hati. Normalnya manusia akan berusaha selalu terkoneksi di mana pun, kapan pun, saat jauh dari orang yang mereka sayangi. Terlebih statusnya pacar. Rasanya wajib untuk selalu memberi kabar, meski salah satu di antaranya sibuk.Selepas Lukas kembali ke Surabaya, semua berjalan seperti biasa. Seolah Naya harus lagi-lagi kehilangan pria itu. Kehilangan yang tidak benar-benar hilang.Adrian membawa mobilnya ke sebuah gerai penjual durian yang terkenal di Jakarta. Aroma durian langsung menusuk rongga hidung, saat pintu mobil dibuka. Naya dan Adrian duduk di salah satu meja di tengah gerai setelah memilih seb
Kedua mata Adrian menatap serius wajah Naya, terlihat kaget, tapi berusaha tetap santai. Membuat Naya merasa nyaman. Entah mengapa ia bisa dengan lancar mengucapkan fakta itu, Naya hanya butuh tempat mengadu. Tidak selalu menutupi hubungan 'terlarang' dia bersama Evan. "Lo anaknya berani juga ya ternyata. Gue kira pendiem gitu. Kagak masalah, selama lo bisa tanggung jawab." Adrian menyodorkan potongan durian terakhir.Naya menggeleng. "Kenyang banget."Jujur, Naya ingin bercerita banyak tentang pengkhianatannya terhadap Evan. Menjelaskan mengapa dia bisa melakukan itu. Bagaimana awal mula bertemu Evan dan bagaimana dia mau mengambil risiko di baliknya. Selama ini hanya ada Maria yang menjadi tempat aduan."Mama tahu kok." Naya menambah informasi."Serius? Terus?""Ya… Nggak yang gimana. Kan kamu tahu Mama pengen banget aku cepetan nikah. Jadi dia nggak begitu peduli. Yang penting secepatnya aku nikah."Jangankan soal Evan, toh Mama saja menjodohkan dia dengan Adrian walau tahu hubung
Perasaan campur aduk yang sulit diutarakan. Itu alasan mengapa Naya menangis sambil memeluk punggung Evan erat. Ada perasaan kesal karena pria itu tidak peka dengan kecemburuannya terhadap Aninditha. Ada pula perasaan kesal karena ia sendiri gengsi untuk mengungkapkan rasa cemburu itu.Sungguh, Naya tidak punya bakat posesif. Bahkan selama berhubungan dengan Lukas dan pacar sebelumnya, dia memilih cuek, membuang jauh sikap cemburu. Naya selalu ingin membuat sang pacar merasa bebas, tidak terkekang. Tidak tahu mengapa, bersama Evan jadi seperti ini."Mau aku temenin malam ini?" Evan mengambil helm dari tangan Naya.Tidak seperti biasanya, kali ini Naya menggeleng. "Capek banget hari ini. Agak mabuk duren ini. Mau langsung tidur."Evan menghela napas. "Padahal aku masih kangen. Kangen banget."Naya mengulas senyum simpul. "Aninditha mana?"Walau tidak ingin memulai perdebatan, tapi Naya ingin menanyakan keberadaan perempuan itu. Aninditha yang sekian jam lalu berhasil membuatnya cemburu
"Ide bagus sih, Na." Maria memoles lipstick pada bibirnya. Pencahayaan toilet kantor yang lumayan baik membuat pantulan bayangan wajah Maria tampak istimewa. Rambut ikalnya yang baru saja ia potong memberi kesan lebih segar.Sementara Naya sibuk mengaitkan peniti pada kemejanya. Tanpa ia sadari, kancingnya sudah menghilang entah kemana."Kapan lagi kan lo kasih kejutan buat Lukas?"Naya berdecak. "Bukan gitu, selain setengah hati aku lagi nggak pengen ketemu dia, ya aneh aja. Mau ngapain? Kangen? Dikit. Tapi rasa khawatirnya lebih banyak.""Lo takut ketahuan selingkuh apa gimana?" Dengan cuek Maria bertanya lantang."Ssst.. Kurang gede tuh suara. Ngerti, kan? Aku nyamperin pacarku dan kasih kejutan, sedangkan aku punya cowok lain di sini. Terus udah beberapa kali kepikiran buat milih Evan dibandingkan Lukas yang nggak juga kasih kejelasan. Mana Mama tuh terus-terusan nanya. Ngerti?" Ada getaran di suara Naya."Seenggaknya lo datengin buat tanya lebih jelas. Mau lanjut apa nggak. Lo se
Maria menarik cepat tangan Naya, memintanya ikut ke lantai dasar. Wajahnya begitu panik. Tidak ada penjelasan yang keluar dari mulut Maria, dia hanya bolak-balik menatap layar ponselnya. Pertanyaan-pertanyaan yang Naya ucapkan pun tidak ada yang ia jawab.Ini anak kenapa, sih? Naya bingung sendiri. Maria menaruh telunjuknya di bibir dan meminta Naya diam saja. Mereka berdiri tepat di balik pilar gedung. Tidak lama seorang wanita dengan usia sekitar 40 tahun ke atas memasuki pintu lantai dasar. Suara high heels-nya terdengar sama.Wanita itu mengenakan dress bermotif bunga. Panjangnya selutut. Tas bermerk mahal menempel di lengannya. Naya tidak bisa melihat jelas wajah wanita itu karena kaca mata gelapnya. Rambutnya panjang lurus dan rapi, terlihat berkilau.Ketika wanita itu melewati pilar, aroma parfum mahal menyerbak. Terlihat ada seorang asisten, perempuan muda yang mengikutinya di belakang seperti ekor. Wanita bersama asistennya itu masuk ke dalam lift dan menghilang."Ini kita ng
Maria melepas sepatu pantofel, menaruhnya di antara susunan sepatu lain. Sementara Naya sejak tadi sudah sibuk menyalakan AC, melepas blazernya. Bersiap sebagai pengacara yang menerima cerita dari kliennya. Tahu bahwa sang klien salah, tapi tetap harus ia bela.Naya menarik napas, lalu membuangnya perlahan. “Jadi gimana? Rencana lo?”“Resign? Gue mikirnya gini. Jujur, gue nggak ada perasaan apapun sama Pak Vincent. Lo tahu sendiri kan tipe gue gimana? Cuma… Selain dia hobi jajanin gue..”“Oh! Jadi tas mahal lo yang katanya hadiah itu dari dia?!”“Itu salah satunya. Minggu lalu dia bawa gue liburan singkat ke Jogja.”“Yang lo izin sakit itu?”Maria mengangguk cepat. “Dan lo tahu kan kelanjutannya?”Rasanya Naya ingin membuang jauh pikiran kotornya, tapi tidak bisa. Dia paham cara bermain temannya itu. Dan apalagi yang dilakukan pasangan selingkuh saat liburan cukup jauh?“Ternyata dia jago, Na. Jago banget.” Dengan wajah yang memerah, pikiran Naya flashback ke satu minggu lalu. Saat di
Khusus malam ini, Maria memutuskan menginap di apartemen Naya. Entah bagaimana caranya pria berkumis tipis itu membuat Maria kehilangan akal. Bahkan dia dengan semangat bercerita pada Naya tentang bagaimana Pak Vincent memberinya rasa puas.Naya memasang lembaran sheet mask dengan hati-hati di wajahnya. "Tumben banget, sama cowok-cowok lain nggak pernah kamu sampai segininya, Ia."Maria mengangkat bahu. "Gue sendiri heran, apa dia pakai pelet ya? Gue ada di posisi yang kalau Pak Vincent minta jatah tiap hari pun gue jabanin.""Wah parah… Fix dipelet." Naya terkekeh sambil tetap berusaha membuat masker di wajahnya tidak lepas."Bukan yang pertama, tapi so far jadi yang terbaik bagi gue. Cuma ya sayang aja, udah jadi suami orang."Teringat, bagaimana malam pertama bersama Pak Vincent. Liburan ke Jogja yang awalnya dalam rangka refreshing setelah beres menyelesaikan proyek, jadi sesi honeymoon mereka berdua. Maria ingat bagaimana pria itu membujuknya untuk tidur di satu kamar hotel, mesk
Maria mendesah kencang saat pria di atasnya mengeluarkan cairan dalam senggamanya. Meski dia belum benar-benar mencapai puncak, tapi Maria merasa sangat puas. Menyadari hal itu, Pak Vincent kembali menarik dan mendorong miliknya dengan gerakan lebih cepat. Hanya ada suara mereka berdua di dalam kamar yang saling berpadu. Sesekali Pak Vincent menciumi puting kemerahan Maria yang mengeras. “Pak… Aku…” Belum tuntas melanjutkan kata-katanya, Maria merasakan aliran dalam tubuhnya yang membuatnya gemetar hebat. Giliran ia yang mencapai puncak. “Ahhhh…..” Mereka mengatur napas masing-masing. Pak Vincent perlahan menarik miliknya, membuat Maria kembali mendesah panjang. Tidak tahu setan seperti apa yang sudah menguasai dirinya, tapi Maria begitu menikmati. Sampai dia melupakan bahwa pria di sampingnya saat ini adalah suami dari seseorang. Hanya semalam, apa yang salah? Tanya Maria pada dirinya sendiri. Toh banyak pria di luar sana yang rutin ‘jajan’ demi memenuhi kebutuhannya. Anggap saja