Maria melepas sepatu pantofel, menaruhnya di antara susunan sepatu lain. Sementara Naya sejak tadi sudah sibuk menyalakan AC, melepas blazernya. Bersiap sebagai pengacara yang menerima cerita dari kliennya. Tahu bahwa sang klien salah, tapi tetap harus ia bela.Naya menarik napas, lalu membuangnya perlahan. “Jadi gimana? Rencana lo?”“Resign? Gue mikirnya gini. Jujur, gue nggak ada perasaan apapun sama Pak Vincent. Lo tahu sendiri kan tipe gue gimana? Cuma… Selain dia hobi jajanin gue..”“Oh! Jadi tas mahal lo yang katanya hadiah itu dari dia?!”“Itu salah satunya. Minggu lalu dia bawa gue liburan singkat ke Jogja.”“Yang lo izin sakit itu?”Maria mengangguk cepat. “Dan lo tahu kan kelanjutannya?”Rasanya Naya ingin membuang jauh pikiran kotornya, tapi tidak bisa. Dia paham cara bermain temannya itu. Dan apalagi yang dilakukan pasangan selingkuh saat liburan cukup jauh?“Ternyata dia jago, Na. Jago banget.” Dengan wajah yang memerah, pikiran Naya flashback ke satu minggu lalu. Saat di
Khusus malam ini, Maria memutuskan menginap di apartemen Naya. Entah bagaimana caranya pria berkumis tipis itu membuat Maria kehilangan akal. Bahkan dia dengan semangat bercerita pada Naya tentang bagaimana Pak Vincent memberinya rasa puas.Naya memasang lembaran sheet mask dengan hati-hati di wajahnya. "Tumben banget, sama cowok-cowok lain nggak pernah kamu sampai segininya, Ia."Maria mengangkat bahu. "Gue sendiri heran, apa dia pakai pelet ya? Gue ada di posisi yang kalau Pak Vincent minta jatah tiap hari pun gue jabanin.""Wah parah… Fix dipelet." Naya terkekeh sambil tetap berusaha membuat masker di wajahnya tidak lepas."Bukan yang pertama, tapi so far jadi yang terbaik bagi gue. Cuma ya sayang aja, udah jadi suami orang."Teringat, bagaimana malam pertama bersama Pak Vincent. Liburan ke Jogja yang awalnya dalam rangka refreshing setelah beres menyelesaikan proyek, jadi sesi honeymoon mereka berdua. Maria ingat bagaimana pria itu membujuknya untuk tidur di satu kamar hotel, mesk
Maria mendesah kencang saat pria di atasnya mengeluarkan cairan dalam senggamanya. Meski dia belum benar-benar mencapai puncak, tapi Maria merasa sangat puas. Menyadari hal itu, Pak Vincent kembali menarik dan mendorong miliknya dengan gerakan lebih cepat. Hanya ada suara mereka berdua di dalam kamar yang saling berpadu. Sesekali Pak Vincent menciumi puting kemerahan Maria yang mengeras. “Pak… Aku…” Belum tuntas melanjutkan kata-katanya, Maria merasakan aliran dalam tubuhnya yang membuatnya gemetar hebat. Giliran ia yang mencapai puncak. “Ahhhh…..” Mereka mengatur napas masing-masing. Pak Vincent perlahan menarik miliknya, membuat Maria kembali mendesah panjang. Tidak tahu setan seperti apa yang sudah menguasai dirinya, tapi Maria begitu menikmati. Sampai dia melupakan bahwa pria di sampingnya saat ini adalah suami dari seseorang. Hanya semalam, apa yang salah? Tanya Maria pada dirinya sendiri. Toh banyak pria di luar sana yang rutin ‘jajan’ demi memenuhi kebutuhannya. Anggap saja
Kalau saja Lukas yang sekarang sama seperti dua tahun lalu. Ketika Naya benar-benar memantapkan hati bahwa pria itu memang jodohnya, mengisi kekosongan yang sebelumnya ia sedang rasakan. Tidak, kini Lukas malah menciptakan banyak kekosongan yang berkembang menjadi tanda tanya.Naya menghela napas, berat. Lagi-lagi chat yang tadi malam ia kirim belum juga dibaca oleh Lukas. Begitupun dengan panggilan telepon yang berkali-kali tidak diangkat. Ada apa sebenarnya? Naya mulai berpikir mengenai ide menyusul Lukas ke Surabaya. Lagipula, sudah lama dia tidak berlibur ke luar kota.Selama Evan masih berada di sampingnya dan baik-baik saja perihal Lukas, Naya merasa masih aman. Egois, tapi ini jalan yang ia ambil disertai alasan-alasan kuat. Bukan sekadar bermain saja tanpa banyak pertimbangan. Naya hanya membutuhkan ‘tempat terakhir’, membuatnya yakin untuk menjalani hubungan lebih serius, hingga menjadi keluarga yang utuh.“Ngapain lu, kesambet setan pantry baru tahu..” Bimo mencolek bahunya
Baru saja menginjakan parkiran kantor, memasuki lobby lantai dasar, bersiap menekan tombol lift, perasaan tidak enak tiba-tiba terasa. Naya melirik jam di tangan, meregangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tidak tahu mengapa sejak bangun pagi, perasaannya terasa kacau. Mungkin karena pikirannya yang sedang sibuk menerka-nerka.Naya sontak menghela napas ketika pintu lift di hadapannya terbuka. Seorang junior dengan gerakan panik muncul dan menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca. Kemudian dia menarik lengan Naya untuk segera menjauh dari lift."Ada apa? Kenapa?" Kening Naya mengkerut, sambil mengamati pintu lift yang sudah menutup dengan sendirinya."Mbak, jangan naik dulu." Junior itu melihat ke sekitar, memastikan tidak ada siapapun yang mendengar ucapannya.Naya semakin tidak paham. "Kenapa sih, Ta?""Lagi ada perang dunia di atas, Mbak. Jangan ke atas dulu, udah kita di sini dulu aja. Karena suasananya nggak enak banget." Lita menahan lengan Naya."Gimana gimana?""Mbak Mar
Hari ini berlalu begitu saja. Tanpa pamit, setelah berbincang dengan HRD, Maria langsung mengosongkan mejanya, pergi meninggalkan kantor tepat sebelum jam makan siang tadi. Perempuan itu meminta Naya untuk diam, berpura-pura tidak tahu, dan membatasi interaksi dengannya hari ini. Maria tidak mau rekannya itu terbawa ke dalam skandal dirinya dengan Pak Vincent.Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi jujur Naya ingin menangis. Ada rasa sedih, bersalah, juga kehilangan atas kepergian Maria dari kantor. Bukan hanya satu dua bulan saja, ataupun satu tahun, tapi mereka berdua telah menjadi rekan kerja dalam waktu yang cukup lama.Ada rasa menyesal dalam hati kecil Naya saat mengingat bagaimana ia memilih diam dan membiarkan Maria mengambil risiko besar soal hubungannya bersama Pak Vincent. Harusnya dia bisa mengingatkan. Apalagi Maria menjadi selingkuhan dari orang penting di kantor yang kalau dipikir ulang, benar-benar 'ekstrim'.Naya memejamkan mata. Bagaimana rasanya jadi selingku
"Ini buat apa, sih?" tanya Naya sambil menahan senyum. Pura-pura tidak paham. Dia membentangkan lingerie berwarna dusty pink.Padahal Naya tidak pernah membahas soal pakaian satu ini pada Evan. Apa mungkin Evan bisa membaca pikirannya? Memang Naya sering berpikir untuk bisa mengenakan lingerie di satu malam bersama seseorang yang spesial. Tampil cantik dan seksi, membuat orang spesial itu tidak bisa berkata-kata.Entah dari mana pikiran aneh itu, tapi semenjak Naya menyadari usianya bukan lagi remaja dan sudah dikejar-kejar status ‘belum laku’, pikirannya menjadi lebih liar. Dia ingin melakukan banyak hal demi mendapat kepuasan. Begitupun sebaliknya, dia ingin bisa memberi kepuasan."Di lantai tiga tadi lagi ada sale, aku langsung kepikiran kamu." Evan menarik tubuh Naya, membiarkannya duduk di pangkuan. "Aku pikir, kamu bakal cantik banget pas pakainya. Rambut kamu juga udah makin panjang. Aku suka."Naya memejamkan mata ketika pria itu menciumi rambut panjangnya yang sudah mencapai
Mata Naya sibuk memerhatikan satu-persatu barang yang Evan masukan ke dalam trolly. Dia masih tidak menyangka seorang Evan bisa mengenal semua bahan masakan itu. Khususnya beberapa botol berisikan rempah-rempah yang tidak semua Naya kenal."Kamu mau beli apa lagi?" Evan mendorong trolly mereka menuju area kasir.Naya menggeleng. "Ayo cepat balik ke atas, aku mulai laper nih. Nggak sabar cobain masakan kamu."Dalam kepalanya, Naya sedang membayangkan bagaimana kalau kegiatan seperti ini menjadi rutinitas bagi mereka berdua. Membeli bahan untuk mengisi kulkas dan lemari makan di setiap weekend. Evan membantu memasak di waktu kosongnya.Tetapi, tentu saja tanpa ada rasa bersalah karena telah menjadi pengkhianat. Sepenuhnya menjadi one and only bagi Evan dan begitupun sebaliknya. Dalam hatinya, Naya berjanji untuk segera membawa hubungan mereka ke jenjang lebih serius ketika dia sudah bisa memastikan kisahnya bersama Lukas benar-benar sudah usai.Evan memersilakan Naya duduk seolah menjad