Kamilia memalingkan muka. Rasanya ingin sekali melebur bersama malam. Dirinya saat ini, tidak ingin bertemu dengan si pemilik suara. Seandainya bisa, dia ingin berubah menjadi angin, menyelinap pergi tanpa diketahui.
"Kartika?" Ia masih mengulangi pertanyaannya.
Kamilia menghapus kesedihan dari matanya, seulas senyum dia paksa untuk tampil sempurna di bibirnya. Pemilik suara itu adalah pengisi mimpinya selama ini. Sebelum petaka ini mampir memporak-porandakan hidupnya.
"Kang Saiful." Kamilia tersenyum.
Nasib baik, malam begitu kelam sehingga sang pemilik mimpi tidak melihat bilur-bilur merah di tubuh Kamilia. Kenistaan yang harus Kamilia sembunyikan dari siapa pun. Jawaban apa yang harus Kamilia berikan, seandainya Saiful bertanya dari mana tanda penganiayaan itu berasal.
"Aku mencarimu saat kau tidak datang mengaji. Ibumu bilang kau pergi ke kota untuk bekerja. Benarkah?" tanya Saiful.
"Benar." Kamilia menjawab pendek. Dirinya berdiri, ingin pergi dan meninggalkan pemuda itu. Rasa malu hadir kala menyadari betapa kotor dirinya kini.
Kamilia melangkah meninggalkan Saiful. Pemuda itu sejenak tertegun melihat Kamilia tidak ingin berlama-lama dengannya. "Tidakkah dia tahu? Hampir gila rasanya, saat tak kulihat lagi, dia duduk mendengarkan aku mengajar ngaji," batin Saiful.
Kamilia terus melangkah meninggalkan pemuda itu. Bergegas langkahnya, sebelum bilur-bilur itu meninggalkan banyak jejak dengan pertanyaan-pertanyaan Saiful.
Pandangan Saiful menukik menembus malam. Seandainya bisa, dia pun ingin menembus hati Kamilia. Tidak ada yang dilakukannya saat Kamilia berlalu. Rasanya langkah terlalu kecil untuk mengejar gadis pengisi benaknya.
Kamilia menangis di kamarnya. Kantung matanya kembali penuh hingga meluber. Dia menyesali pertemuan ini, tidak seharusnya Saiful memergokinya sedang berduka. Menangis diam-diam di tengah gelap malam.
Saiful pulang saat malam sudah separuhnya terlewati. Dia bertekad akan menemui Kamilia besok. Apa pun akan dia hadapi, asal pujaan hati tetap di sisi.
"Aku pastikan besok, saatnya aku menjadi pemilik tunggal hatimu, Kartika," gumam Saiful.
Pemuda itu tak jua lelap dengan impiannya, tentang kembang desa yang bernama Kartika. Seulas senyum terukir di bibirnya, untuk sebuah mimpi yang selalu mengganggu tidurnya.
*****
Musim panas masih membakar bentala. Tanah pecah-pecah serta kekeringan mengiringi kepergian Kamilia. Dia hanya pamit kepada ibunya. Memeluk sebentar karena tidak tahan untuk tidak menangis. Kamilia bertekad untuk menjadi wanita kuat sejak saat ini. Dia tidak ingin menjejakkan kembali kakinya di kampung ini. Dendam sudah menguasai jiwanya kini. Semalam bapaknya sudah berbicara lagi dengan keras.
"Kamu harus kembali ke kota, Kartika! Mau menjual diri pun aku tak peduli," kata bapaknya.
Seperti biasa Kamilia hanya diam. Memamah rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat lecutan, kini bertambah pula dengan kata-kata dari bapaknya. "Biadab!" batinnya memaki.
Gadis itu menyembunyikan wajahnya di antara kursi bis dan kaca jendela. Entah ke mana tujuan perjalanannya nanti? Dia hanya naik bis jurusan Jakarta. Sudah lama dia mendengar tentang kota itu. Kota yang menawarkan segala impian, sekaligus kota yang kejam, sekejam ibu tiri. "Lantas lebih kejam mana kota itu dengan bapak?" gumamnya.
Kamilia tersenyum kecut. Wajahnya yang cantik sedikit pucat karena kurang tidur semalam. Dia memikirkan tujuan hidupnya. Tanpa diundang si penabur mimpi itu datang merecoki pikirannya juga.
Saiful juga sama tidak dapat tidur, gelisah ingin pagi segera datang. Ketika mentari menepati janjinya, Saiful secepatnya pergi ke rumah Kamilia.
Tidak dijumpainya gadis itu, hanya perempuan tua yang matanya sembab menyambut. Sejenak Saiful ragu untuk bertanya.
"Kartika ...."
Perempuan tua itu memotong ucapan Saiful dengan menunjukkan tangannya ke arah jalan. Saiful mengikuti arah telunjuk itu. Seketika otaknya berpikir cepat kalau gadis itu sudah pergi.
Saiful berlari secepat dia bisa. Dia tidak ingin masa depannya pergi. Kamilia harus hidup bersamanya. Dia bersedia melakukan apa pun asal gadis itu tetap di sisinya.
Dengan napas memburu, dirinya sampai di jalan besar. Akses satu-satunya menuju kota. Hanya kepulan asap berbau bensin yang menyambutnya. Kamilia sudah pergi.
"Terlambat!" Saiful memukul kepalanya sendiri. Hatinya sedih tidak dapat mencegah cinta pergi darinya. Namun, dia meyakini satu hal "Bila dia ditakdirkan untukku, maka dia tidak akan bisa lari dariku."
****
"Kosong?" Seorang perempuan cantik bertanya untuk kursi di sebelah Kamilia.
Kamilia kaget, kemudian refleks mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum, kemudian duduk. Gadis itu kembali meneruskan lamunannya sambil termangu melihat jalanan.
"Aku Melly, panggil saja Tante Melly." Wanita itu menyebut namanya tanpa ditanya.
"Kamilia." Entah mengapa kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tidak terpikir olehnya untuk menyebut nama Kartika kembali, karena baginya nama itu sudah mati.
"Nama yang bagus," kata Tante Melly.
"Namaku memang bagus, cuma takdirnya yang kurang bagus," ujar Kamilia pelan, nyaris tak terdengar.
"Apa? nasibmu kurang bagus?" tanya Tante Melly.
"Ooh tidak ... tidak," bantah Kamilia.
Rupanya pendengaran wanita itu setajam silet. Kamilia berusaha untuk tidak berkata apa pun. Orang ini adalah orang asing, otaknya berdering memperingatkan.
Melihat Kamilia terdiam, Tante Melly ikut terdiam. Pikiran mereka sama-sama mengembara. Rencana-rencana tentang masa depan harus dipersiapkan. Kamilia harus punya seribu kekuatan menanggung rasa sakit. Kemampuan itu satu-satunya cara agar bisa bertahan di ibukota.
Kilauan lampu-lampu menyambut Kamilia di ibukota. Gamang gadis itu melangkahkan kaki. Kebingungan membawanya ke sebuah kedai kopi. Dia memesannya satu gelas.
Tante Melly dengan segala siasatnya memperhatikan Kamilia. Pengalaman menempanya menjadi serba tahu tentang karakter seseorang. Begitu pula wajah polos Kamilia dengan begitu mudah dikenalinya.
Dengan berpura-pura sebagai pembeli kopi pula, wanita itu duduk dekat Kamilia. Gadis itu terkejut dengan kedatangan Tante Melly.
"Tante," Kamilia menyapa.
Serasa gayung bersambut, umpannya pun termakan ikan. Tante Melly memasang senyum terbaiknya untuk Kamilia. Obrolan panjang lebar menjadikan Kamilia setuju untuk ikut dengan Tante Melly. Gadis itu merasa, kali ini Tuhan menolongnya tepat waktu.
Senyum cerah terukir di bibir gadis itu. Setitik harapan kembali bangkit untuk menapaki masa depan. Sebuah taksi biru mengantarkan mereka ke sebuah rumah luas.
"Ayo, Mila, kita sudah sampai!" ujar Tante Melly.
Kamilia berdiri sejenak memperhatikan rumah luas tersebut. Tante Melly menggandeng tangannya untuk segera masuk.
"Wah, bawa oleh-oleh nih!" Seorang gadis muda berseru sambil melambaikan tangan ke arah Tante Melly.
"Huss!" Tante Melly tertawa renyah.
"Saingan, nih." Seorang gadis cantik lainnya berkata.
Kamilia hanya diam tidak mengerti. Dia terkagum-kagum dengan rumah Tante Melly yang indah. Tak urung sebuah pertanyaan menyeruak dalam batinnya, "Siapakah gadis-gadis tersebut?"
Kamilia diberi kamar oleh Tante Melly. Sebuah kamar bagus, tetapi lebih bagus kamarnya dulu di rumah Tuan Heru.
"Sialan mengapa aku teringat lelaki bejat itu?" Tak henti-hentinya Kamilia mengutuk pikirannya. Mengapa lelaki itu tiba-tiba hadir? Seolah-olah pertanda buruk.
Kamilia tersenyum getir, kenangan demi kenangan menyelinap satu persatu ke dalam benaknya. Memasung rindu yang enggan beranjak.Setelah cukup beristirahat, Kamilia keluar kamar menjelang sore. Ternyata penghuni rumah ini bukan cuma Tante Melly beserta dirinya. Ada banyak wanita muda di sini. Kamilia hanya memandang tanpa berani bertanya."Eh, sini!" Seorang wanita muda melambaikan tangannya ke arah dirinya."Aku?" tanya Kamilia sambil menunjuk dirinya sendiri."Ya."Kamilia berjalan pelan menuju ke arah wanita itu. Beberapa kali melewati wanita-wanita lain yang sedang berdandan. Mereka bersiap-siap berangkat bekerja. Pandangan mereka seolah-olah berkata,"Berlarilah secepat kau bisa!""Kamu gak dandan, Mila? Kenalin aku Calista." Wanita cantik itu memperkenalkan diri. Entah dari mana pula dia tahu nama Kamilia."Aku dandan untuk apa?" tanya Kamilia heran."Loh?" Calista menautkan kedua alisnya tanda heran."Ayo cepa
Dari malam ke malam Kamilia semakin pintar bersolek. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keberaniannya melepas pakaian kepada pelanggannya.Tante Melly semakin terkenal di kalangan para penikmat cinta sesaat setelah kedatangan Kamilia. Tentu saja dari bulan ke bulan pundi-pundi Kamilia pun semakin menggembung. Kamilia bukan lagi gadis kampung yang kusam, uang telah mengubahnya menjadi secantik model."Mila, jangan lupa kirim adikmu uang!" perintah Tante Melly. Di suatu malam saat ada seorang cukong berduit tebal membooking Kamilia. Pria itu royal dan sepertinya suka dengan suguhan yang Kamilia persembahkan."Tentu, Tante ... tentu," jawab Kamilia.Kamilia tidak pernah lupa mengirim uang buat ibunya di kampung, melalui rekening tetangganya dia sukses membuat ibunya kini dihargai orang. Sejak Kamilia bekerja, ibunya tidak payah lagi kalau buat sekadar belanja makan.Tante Melly memang begitu perhatian kepada anak buahnya. Mereka harus berdanda
Musim hujan semakin jemawa. Menyiksa semua mahkluk dengan dingin yang menusuk tulang. Tentu saja Tuan Hendra semakin rajin menyambangi Kamilia. Membawa uang penukaran raga. Senanglah hati Kamilia. Tuan Hendra berupaya agar Kamilia jatuh cinta padanya. Lelaki itu menutup semua akses Kamilia untuk dikenal lelaki lain. Tidak ada yang salah, karena perempuan itu suka hati. Mengabulkan semua permintaan Tuan Hendra.
Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga Kamilia mengikuti kehendak juru kamera itu. Dia akan keluar rumah diam-diam tanpa Hendra. Hal yang paling dibenci lelaki itu. Keraguan menyelimutinya saat mobil putih itu membawanya ke Kafe Senja. Tadi dia sudah mengirim pesan, agar fotografer itu datang tepat waktu. Kamilia takut, ketika Hendra pulang dirinya tidak ada di rumah. "Siapa dia?" Kamilia langsung saja menodong juru kamera itu dengan pertanyaan. "Sabar, Mila," jawabnya sambil mengerling nakal. "Maksudmu apa, Bagas?" tanya Kamilia. Ternyata namanya Bagas, sang juru kamera itu. "Ada harganya," jawab Bagas serius. "Berapa?" "Aku tidak meminta uang sebagai imbalan," jawab Bagas. Rupanya dia sudah mulai berani kurang ajar. Kamilia mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Bagas. Sesaat kemudian Bagas mengirim isyarat dengan mengelus tangan Kamilia. Tentu saja Kamilia menolak, perempuan itu menepiskan tangan Bagas.
Kamilia terkejut dengan pernyataan Tante Melly. Dia tak menyangka kalau Calista ternyata sudah melakukan operasi plastik. Itu berarti …."Apakah Tante tahu wajahnya dia yang sekarang?" tanya Kamilia penasaran."Tante pernah dikirim foto saat dia bersama pacarnya," ujar Tante Melly. Dengan cepat dia gulirkan HP-nya. Terlihat di layar seorang laki-laki bersama seorang wanita. Namun, rambut wanita tersebut menghalangi wajahnya.Kamilia melongoknya. Kembali didapatinya sebuah kejutan. Lelaki itu adalah Bagas. Ternyata benar, Calista itu adalah orang yang dia kenal. Ah … sempit sekali dunia ini."Mengapa tiba-tiba kamu kangen Calista, Mila? Bukankah kalian saling tidak menyukai?" goda Tante Melly."Gak ada apa-apa, Tante. Aku hanya heran dia tak ada di sini," jawab Kamilia."Kirain kangen, hihihi." Tante Melly terkikik geli."Ayo kita ke Mall, Tante. Hari ini aku ingin mengajak Tante makan suki," ajak Kamilia."M
Kamilia berusaha menyembunyikan wajahnya. Untung, posisinya sedikit terhalang hiasan restoran. Pasangan itu mengambil tempat agak jauh dari Kamilia. Kamila mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Perasaan Kamilia seperti membeku di titik rasa sakit. Dirinya merasa seperti secangkir air, tak berdaya di terik matahari. Menguap dan menjadikannya awan hitam. Hanya mampu mengamati bumi dari kejauhan.Awan hitam itu berjanji penuh keyakinan. Dia akan kembali ke bumi dengan kekuatan yang maha dahsyat. Kekuatan yang sanggup menghanyutkan apa pun rintangan. Tentu saja dengan kekuatan dendam yang meluap-luap."Ayo Tante, kita pulang," ajak Kamilia."Ini masih banyak makanan yang belum kita makan, Mila," kata Tante Melly. "Tapi, baiklah." Akhirnya Tante Melly setuju untuk pulang. Dia melihat paras Kamilia berubah.Kamilia mengantarkan Tante Melly pulang. Sepanjang perjalanan Kamilia membisu. Tante Melly diam, tetapi akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya
Hendra menghentikan tawanya. Dia menatap serius muka Kamilia. Kamilia bergeming, mukanya menunjukkan kebulatan hatinya."Mengapa?" tanya Hendra. "Aku pikir kau adalah penganut kebebasan, Mila. Kau tahu, kewajiban apa yang harus kau lakukan, bila menjadi seorang istri?""Aku tahu." Kamilia menjawab singkat. "Aku juga tahu, kewajibanku untuk melabrak Calista. Begitu juga pengganggu-pengganggu lainya," terusnya dalam hati.Hendra mengangkat bahu. Kamilia menganggap Hendra tidak peduli. Wanita itu berusaha mendesak Hendra. Namun, lelaki itu malah mencumbunya."Kita pikirkan nanti, oke!"Akhirnya Kamilia mengalah. Pikirnya, seandainya dia tetap memaksa, Hendra pasti akan marah. Kamilia tahu sifat Hendra, kalau hasratnya tidak kesampaian maka dia akan meradang. Kamilia menjadi pelampiasan Hendra setiap malam, tanpa jeda, kecuali saat datang bulan.Rasa kecewa yang tidak tercerna sempurna membuat Kamilia tidak sehangat biasanya. Namun,
Setelah beberapa saat menelan fase kebimbangan. Kamilia memutuskan untuk datang. Lenyap sudah rasa laparnya. Berganti dengan keinginan untuk menjadikan badan Calista sebagai samsak. Pelampiasan segala murkanya. Kamila berusaha tenang. Diam sejenak, memberikan energi positif kepada dirinya sendiri.Bagas menyambutnya di tempat tersembunyi. Dia mencoba merayu untuk tidak melabrak mereka. Namun, sebagai gantinya dia menawarkan sesuatu."Bagaimana kalau kita melakukan hal yang sama, Mila?"Ide gilanya membuat Kamilia melotot. Hampir telapak tangannya mampir ke wajah tampan itu. Namun, Kamilia masih bisa menahan diri."Jangan gila, Bagas!" desisnya geram. "Kau hanya perlu menunjukkan mereka. Selanjutnya menghilanglah dari hadapanku!""Sorry, bercanda," kata lelaki itu sambil menyeringai. Dia tahu lelaki macam apa Hendra. Celakalah dirinya bila Hendra tahu dirinya terlibat. Akan tetapi Bagas juga bukan seseorang yang gampang mengaku kalah. Di