Share

Bab 4 SI PENABUR MIMPI

Kamilia memalingkan muka. Rasanya ingin sekali melebur bersama malam. Dirinya saat ini, tidak ingin bertemu dengan si pemilik suara. Seandainya bisa, dia ingin berubah menjadi angin, menyelinap pergi tanpa diketahui.

"Kartika?" Ia masih mengulangi pertanyaannya.

Kamilia menghapus kesedihan dari matanya, seulas senyum dia paksa untuk tampil sempurna di bibirnya. Pemilik suara itu adalah pengisi mimpinya selama ini. Sebelum petaka ini mampir memporak-porandakan hidupnya.

"Kang Saiful." Kamilia tersenyum.

Nasib baik, malam begitu kelam sehingga sang pemilik mimpi tidak melihat bilur-bilur merah di tubuh Kamilia. Kenistaan yang harus Kamilia sembunyikan dari siapa pun. Jawaban apa yang harus Kamilia berikan, seandainya Saiful bertanya dari mana tanda penganiayaan itu berasal.

"Aku mencarimu saat kau tidak datang mengaji. Ibumu bilang kau pergi ke kota untuk bekerja. Benarkah?" tanya Saiful.

"Benar." Kamilia menjawab pendek. Dirinya berdiri, ingin pergi dan meninggalkan pemuda itu. Rasa malu hadir kala menyadari betapa kotor dirinya kini.

Kamilia melangkah meninggalkan Saiful. Pemuda itu sejenak tertegun melihat Kamilia tidak ingin berlama-lama dengannya. "Tidakkah dia tahu? Hampir gila rasanya, saat tak kulihat lagi, dia duduk mendengarkan aku mengajar ngaji," batin Saiful.

Kamilia terus melangkah meninggalkan pemuda itu. Bergegas langkahnya, sebelum bilur-bilur itu meninggalkan banyak jejak dengan pertanyaan-pertanyaan Saiful.

Pandangan Saiful menukik menembus malam. Seandainya bisa, dia pun ingin menembus hati Kamilia. Tidak ada yang dilakukannya saat Kamilia berlalu. Rasanya langkah terlalu kecil untuk mengejar gadis pengisi benaknya.

Kamilia menangis di kamarnya. Kantung matanya kembali penuh hingga meluber. Dia menyesali pertemuan ini, tidak seharusnya Saiful memergokinya sedang berduka. Menangis diam-diam di tengah gelap malam.

Saiful pulang saat malam sudah separuhnya terlewati. Dia bertekad akan menemui Kamilia besok. Apa pun akan dia hadapi, asal pujaan hati tetap di sisi.

"Aku pastikan besok, saatnya aku menjadi pemilik tunggal hatimu, Kartika," gumam Saiful.

Pemuda itu tak jua lelap dengan impiannya, tentang kembang desa yang bernama Kartika. Seulas senyum terukir di bibirnya, untuk sebuah mimpi yang selalu mengganggu tidurnya.

*****

Musim panas masih membakar bentala. Tanah pecah-pecah serta kekeringan mengiringi kepergian Kamilia. Dia hanya pamit kepada ibunya. Memeluk sebentar karena tidak tahan untuk tidak menangis. Kamilia bertekad untuk menjadi wanita kuat sejak saat ini. Dia tidak ingin menjejakkan kembali kakinya di kampung ini. Dendam sudah menguasai jiwanya kini. Semalam bapaknya sudah berbicara lagi dengan keras.

"Kamu harus kembali ke kota, Kartika! Mau menjual diri pun aku tak peduli," kata bapaknya.

Seperti biasa Kamilia hanya diam. Memamah rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat lecutan, kini bertambah pula dengan kata-kata dari bapaknya. "Biadab!" batinnya memaki.

Gadis itu menyembunyikan wajahnya di antara kursi bis dan kaca jendela. Entah ke mana tujuan perjalanannya nanti? Dia hanya naik bis jurusan Jakarta. Sudah lama dia mendengar tentang kota itu. Kota yang menawarkan segala impian, sekaligus kota yang kejam, sekejam ibu tiri. "Lantas lebih kejam mana kota itu dengan bapak?" gumamnya.

Kamilia tersenyum kecut. Wajahnya yang cantik sedikit pucat karena kurang tidur semalam. Dia memikirkan tujuan hidupnya. Tanpa diundang si penabur mimpi itu datang merecoki pikirannya juga.

Saiful juga sama tidak dapat tidur, gelisah ingin pagi segera datang. Ketika mentari menepati janjinya, Saiful secepatnya pergi ke rumah Kamilia.

Tidak dijumpainya gadis itu, hanya perempuan tua yang matanya sembab menyambut. Sejenak Saiful ragu untuk bertanya.

"Kartika ...."

Perempuan tua itu memotong ucapan Saiful dengan menunjukkan tangannya ke arah jalan. Saiful mengikuti arah telunjuk itu. Seketika otaknya berpikir cepat kalau gadis itu sudah pergi.

Saiful berlari secepat dia bisa. Dia tidak ingin masa depannya pergi. Kamilia harus hidup bersamanya. Dia bersedia melakukan apa pun asal gadis itu tetap di sisinya.

Dengan napas memburu, dirinya sampai di jalan besar. Akses satu-satunya menuju kota. Hanya kepulan asap berbau bensin yang menyambutnya. Kamilia sudah pergi.

"Terlambat!" Saiful memukul kepalanya sendiri. Hatinya sedih tidak dapat mencegah cinta pergi darinya. Namun, dia meyakini satu hal "Bila dia ditakdirkan untukku, maka dia tidak akan bisa lari dariku."

****

"Kosong?" Seorang perempuan cantik bertanya untuk kursi di sebelah Kamilia. 

Kamilia kaget, kemudian refleks mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum, kemudian duduk. Gadis itu kembali meneruskan lamunannya sambil termangu melihat jalanan.

"Aku Melly, panggil saja Tante Melly." Wanita itu menyebut namanya tanpa ditanya.

"Kamilia." Entah mengapa kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tidak terpikir olehnya untuk menyebut nama Kartika kembali, karena baginya nama itu sudah mati. 

"Nama yang bagus," kata Tante Melly.

"Namaku memang bagus, cuma takdirnya yang kurang bagus," ujar Kamilia pelan, nyaris tak terdengar.

"Apa? nasibmu kurang bagus?" tanya Tante Melly.

"Ooh tidak ... tidak," bantah Kamilia.

Rupanya pendengaran wanita itu setajam silet. Kamilia berusaha untuk tidak berkata apa pun. Orang ini adalah orang asing, otaknya berdering memperingatkan.

Melihat Kamilia terdiam, Tante Melly ikut terdiam. Pikiran mereka sama-sama mengembara. Rencana-rencana tentang masa depan harus dipersiapkan. Kamilia harus punya seribu kekuatan menanggung rasa sakit. Kemampuan itu satu-satunya cara agar bisa bertahan di ibukota.

Kilauan lampu-lampu menyambut Kamilia di ibukota. Gamang gadis itu melangkahkan kaki. Kebingungan membawanya ke sebuah kedai kopi. Dia memesannya satu gelas.

Tante Melly dengan segala siasatnya memperhatikan Kamilia. Pengalaman menempanya menjadi serba tahu tentang karakter seseorang. Begitu pula wajah polos Kamilia dengan begitu mudah dikenalinya.

Dengan berpura-pura sebagai pembeli kopi pula, wanita itu duduk dekat Kamilia. Gadis itu terkejut dengan kedatangan Tante Melly.

"Tante," Kamilia menyapa.

Serasa gayung bersambut, umpannya pun termakan ikan. Tante Melly memasang senyum terbaiknya untuk Kamilia. Obrolan panjang lebar menjadikan Kamilia setuju untuk ikut dengan Tante Melly. Gadis itu merasa, kali ini Tuhan menolongnya tepat waktu.

Senyum cerah terukir di bibir gadis itu. Setitik harapan kembali bangkit untuk menapaki masa depan. Sebuah taksi biru mengantarkan mereka ke sebuah rumah luas.

"Ayo, Mila, kita sudah sampai!" ujar Tante Melly.

Kamilia berdiri sejenak memperhatikan rumah luas tersebut. Tante Melly menggandeng tangannya untuk segera masuk.

"Wah, bawa oleh-oleh nih!" Seorang gadis muda berseru sambil melambaikan tangan ke arah Tante Melly.

"Huss!" Tante Melly tertawa renyah.

"Saingan, nih." Seorang gadis cantik lainnya berkata.

Kamilia hanya diam tidak mengerti. Dia terkagum-kagum dengan rumah Tante Melly yang indah. Tak urung sebuah pertanyaan menyeruak dalam batinnya, "Siapakah gadis-gadis tersebut?"

Kamilia diberi kamar oleh Tante Melly. Sebuah kamar bagus, tetapi lebih bagus kamarnya dulu di rumah Tuan Heru.

"Sialan mengapa aku teringat lelaki bejat itu?" Tak henti-hentinya Kamilia mengutuk pikirannya. Mengapa lelaki itu tiba-tiba hadir? Seolah-olah pertanda buruk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status