"Parasit sepertiku tidak membutuhkan cinta," kata Kamilia dingin.
Selalu diulang-ulang lagi kata-kata itu. Ya … dia merasa seperti parasit sebelum menjadi model kini. Seharusnya dirinya tidak banyak tingkah di luaran.
"Tidak seperti itu, Mila. Aku akan mencintaimu seumur hidupku." Bagas mulai mengeluarkan rayuannya. Tentu saja gadis itu hanya mencibir.
"Hhhh … baru saja kau mengajakku bekerja sama agar Calista bisa kembali ke pelukanmu, kini kau menjilat ludahmu sendiri." Kamilia mendengkus.
"Hahaha hahaha. Kau cemburu?"
"Heei … !"
Kamilia mencibir saat Bagas menyebutnya cemburu. Entah apa yang ada dalam pikiran pemuda itu. Kamilia tidak bisa menduganya. "Cemburu apa?" kata hatinya.
Sementara itu, Hendra di rumahnya merasa badannya semakin sakit. Lemas sekujur badannya. Dia melihat jam dinding.
"Harusnya Kamilia sudah kembali, kemana dia pergi?" Hendra bertanya-tanya.
Dia merasa kalau ada yang beruba
Wajah Kamilia sedikit pucat saat tahu itu rumah orang tua Bagas. Wanita itu mengeluh dalam hatinya. Dia merasa Bagas sudah menjebaknya semakin jauh."Mengapa kau membawaku ke sini?" tanya Kamilia.Pemuda itu hanya mengangkat bahunya. Dia malah bersiap untuk turun."Tunggu, mengapa kau membawaku ke sini?" Kamilia bertanya lagi."Aku sudah lama tidak ke sini, kangen." Bagas menjawab sekenanya."Bukan sebuah alasan!" Kamilia berkata dengan sedikit penekanan. Dia memandang Bagas dengan tajam."Sudahlah, mau ikut turun gak?""Hendra sedang sakit dan menungguku di rumah," jawab Kamilia."Terlambat … ayo ikut!" Bagas tidak menyerahkan kunci mobil kepada Kamilia.Kamilia terpaksa mengikuti Bagas. Entah rencana apa lagi yang ada di pikiran laki-laki itu. Kamilia benar-benar tidak bisa menduga. Pikirannya masih tertuju kepada Hendra. Takut penyakitnya bertambah parah.Kamilia melihat ada beberapa mobil mewah berderet
Bang Bos melayangkan tinjauannya ke muka anak muda tersebut. Lelaki itu berkelit, tapi ia tetap dalam posisi bertahan, mungkin ia segan dengan Bang Bos yang menjadi pemimpin para napi di sini.Biarpun Bang Bos pimpinan, dirinya tidak sesuka hati melecehkan para napi bawahannya. Dia termasuk pemimpin yang bijak. Namun, bagi napi baru memang ada semacam perkenalan di sini, dilihat dari kasusnya dulu. Kalau kasus ringan cukup satu pukulan. Namun, jika kasus perkosaan, wow ini sasaran empuk bagi penghuni lama, untuk menghadapi tangan melayangkan bogem muka napi baru.
"A ... aa ... apa?"Bagas memandangnya tidak percaya. Freza hanya terdiam. Bagas kembali lagi, duduk dekat bapaknya.Freza hanya mematung, memandang jauh ke depan. Dia sangat terkejut dengan berita yang baru saja diterimanya. Begitu pula dengan Bagas. Pemuda itu memandang lekat bapaknya, meminta penjelasan.Bagas terhenyak mendengar cerita bapaknya.
Kamilia mendapati Hendra tengah bertelanjang dada di ranjang. Di bawahnya Calista tengah tertawa cekikikan. Tas yang dilemparkan Kamilia tepat mengenai pelipis gadis itu. Calista dari tempat tidur."Kau yang jalang!" Calista tidak terima dimaki. Dia membalik menyerang Kamilia.Kamilia yang sudah mempersiapkan diri menyambut serangan Calista. Tangan Calista dipelintir kemudian dihargainya. Calista
Sebelumnya lelaki itu hendak berbuat tidak senonoh kepada Kamilia. Kamilia memejamkan matanya. Berdoa dengan sisa-sisa keyakinan dalam hatinya. Kamilia tidak yakin, Tuhan akan menolongnya. Seperti kejadian-kejadian lalu. Saat dia berharap Tuhan menolong, selalu Tuhan itu tidak ada. Kamilia gamang dengan keyakinannya kini.Saat suara senjata api itu menggema, Kamilia terlonjak kaget. Wanita itu menyangka dirinya yang tertembak. Cepat dia membuka matanya dan melihat lelaki itu jatuh bersimbah darah. Tanpa sempat Kamilia tahu namanya."Ooh!" Terdengar satu teriakan tertahan.Wanita itu melihat dengan cepat ke asal suara. Tampak Hendra dan Bagas berdiri mematung. Mereka juga kaget mendengar suara tembakan. Hendra menutup mulutnya. Bagas berlaku biasa saja. Malah menatap tanpa belas kasihan terhadap lelaki yang tertembak."Berani sekali kau mengganggu putriku!" Tuan Freza datang sambil mengacungkan sebuah pistol."A apa? Putrimu?" Hendra bertanya sambil
Tak henti-hentinya Kamilia mengutuk dirinya yang ceroboh. Kamilia melihat ke arah Tante Melly yang juga nampak khawatir. Kamilia menggelengkan kepalanya."Bisakah kita bicara, Tuan?" tanyaTante Melly. "Dia bukan pelacur, kau bisa pilih yang lain, free buat Tuan." Tante Melly masih mencoba membujuk.Lelaki itu tetap menginginkan Kamilia untuk melayaninya malam ini. Tentu saja Kamilia tidak mau. Namun di sisi lain, karirnya dipertaruhkan."Tunggu sebentar!" Kamilia berjalan ke pojok ruangan. Menelpon seseorang, kemudian balik lagi."Bagaimana?" tanya Arya.Kamilia hanya tersenyum. Dia tidak menanggapi permintaan Arya. Tentu saja lelaki itu jengkel. Dia sengaja mengambil beberapa foto Kamilia."Anda tidak bisa mengambil foto tanpa izinku, Tuan!' Kamilia berkata keras.Keributan tidak bisa dihindarkan lagi, Kamilia merebut handphone Arya. Arya berkelit, Kamilia menangkap ruangan kosong lalu terjatuh. Sekali lagi Arya men
Ibunya memandang Kamilia tanpa kedip. Ada keraguan di matanya. Kamilia balas membocorkan mata ibunya. Dia mengetahui jika dirinya akan kuat mendengar cerita ibunya. "Kehamilanku berhasil digugurkan." Kata-kata ibunya kembali seperti perasaan Kamilia. “Lalu… a aku anaknya siapa?” tanya Kamilia. "Setelah kepergianku dari rumahnya, Tuan Freza tentu saja marah-marah mencariku.
Kamilia gugup saat menjawab. Dia bingung dengan pilihan yang disodorkan. Dia hanya diam sambil memandang ke luar. Malam ini dia melihat bintang dari balik jendela kamarnya. Dihitungnya satu persatu, ada satu yang paling berkilau dan itu adalah mimpinya. Ketika dia berteman sepi dan mengurai bosan. Mimpi itu menyentak lamunannya tentang harapan. Celoteh malam tentang mimpi hanya bualan. Dilemparnya mimpi itu dengan satu senyuman tawar. Kamilia melihat bintang yang berkelompok. Wanita itu memandangnya tanpa kedip. "Sedang apa kau, Mila?" tanya Hendra. Lelaki itu ikut mendongak ke langit. "Aku sedang mengumpulkan mimpi yang berserakan. Mimpi itu berhamburan saat aku terjatuh. Aku takut karena kisah kelamku yang menyiksa, masih menunggu lanjutannya," kata Kamilia. "Kau tidak menjawab pertanyaanku yang tadi Mila?" "Aku tak mau lagi bersinggungan dengan harapan. Aku benci kecemburuan," gumam Kamilia. Wanita itu mencari raut wajah di antara b