Kamilia gugup saat menjawab. Dia bingung dengan pilihan yang disodorkan. Dia hanya diam sambil memandang ke luar.
Malam ini dia melihat bintang dari balik jendela kamarnya. Dihitungnya satu persatu, ada satu yang paling berkilau dan itu adalah mimpinya. Ketika dia berteman sepi dan mengurai bosan. Mimpi itu menyentak lamunannya tentang harapan. Celoteh malam tentang mimpi hanya bualan. Dilemparnya mimpi itu dengan satu senyuman tawar. Kamilia melihat bintang yang berkelompok. Wanita itu memandangnya tanpa kedip.
"Sedang apa kau, Mila?" tanya Hendra. Lelaki itu ikut mendongak ke langit.
"Aku sedang mengumpulkan mimpi yang berserakan. Mimpi itu berhamburan saat aku terjatuh. Aku takut karena kisah kelamku yang menyiksa, masih menunggu lanjutannya," kata Kamilia.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku yang tadi Mila?"
"Aku tak mau lagi bersinggungan dengan harapan. Aku benci kecemburuan," gumam Kamilia.
Wanita itu mencari raut wajah di antara b
Freza dan Bagas berpandangan, heran mengapa Kamilia tidak mengenali mereka. Bagas cepat memanggil dokter.Dokter datang dan memeriksa Kamilia. Dokter ingin berbicara empat mata dengan Tuan Freza. Sekarang dengan melihat kondisi Kamilia, dokter itu yakin dengan prediksi sebelumnya."Anak Bapak kena amnesia retrograde. Pada kondisi ini, penderita tidak dapat mengingat informasi atau kejadian di masa lalu. gangguan ini bisa dimulai dengan kehilangan ingatan baru terbentuk, kemudian berlanjut dengan kehilangan ingatan yang lebih lama. Seperti ingatan masa kecil."
Bagas memperhatikan Kamilia yang masih tertidur. Lelaki itu berharap saat terbangun nanti Kamilia sembuh dan ingatannya kembali pulih."Saiful? Siapakah lelaki itu?" pikir Bagas. "Adakah lelaki itu dari masa lalu Kamilia?"Kamilia terbangun dari tidurnya. Dia tampak segar dan siap untuk pulang. Cedera di kepalanya memang tidak parah, tidak ada luka di kepalanya. Namun, dampaknya sangat memprihatinkanBagas tidak berani bertanya tentang Saiful. Lelaki itu tidak mau kalau sampai Kamilia kumat lagi. Tentu kepulangan akan tertunda lagi. Bagas akan bertanya kalau Kamilia sudah pulih kesehatannya.Waktu berjalan begitu cepat. Kamilia masih tidak ingat dengan masa lalunya. Wanita itu tetap meneruskan profesinya sebagai seorang model. Dia tinggal bersama Bagas dan bapaknya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada ibunya, tidak juga kepada adiknya. Kamilia benar-benar sudah lupa dengan mereka."Besok ada pemotretan di Bali," kata Bagas. Sekarang Bagas berti
Laki-laki itu memamerkan ke arah Kamilia. Wanita itu menyambutnya dengan senyuman. "Kamilia. Namamu Hendra?" tanya Kamilia. "Iya, kenapa?" Kamilia membuka layar ponselnya. Dia mencari di galeri foto. Dia pandangi lama, kemudian memandang ke arah Hendra. Tidak ada sesuatu yang sama sekali. "Ada apa?" tanya Hendra heran.
Hendra senang sekali ditawari pekerjaan oleh Freza. Bagas sedikit curiga dengan keantusiasan Hendra. "Apa yang direncanakan lelaki itu?" pikir Bagas. Bagas memperhatikan lagi wajah Hendra dengan seksama. Tetap tidak ada kemiripan dengan Hendra kenalannya dulu. Bagas coba lagi memperhatikan bentuk tubuhnya. Mengingat-ingat apa kiranya yang menjadi ciri khas Hendra. Tak ada yang diingatnya kalau sedang begini. "A aku di mana?" Kamilia ternyata sudah sadar. Hendra cepat-cepat mendekati Kamilia. Matanya menatap lembut Kamilia. Kamilia membalasnya sekilas. Dia memandang sekeliling, heran mengapa ada di sini. "Kamu pingsan tadi, Mila!" jelas Bagas. "Kenapa?" "Tadi kamu pingsan gara-gara melihat bapak-bapak menyeret anak gadisnya," kata Bagas. Ah, ya. Kamilia ingat sekarang, tadi dia melihat di diri gadis itu seperti melihat dirinya. Kamilia ingat dulu dia pernah ada di posisi itu. Kamilia ingat, bapaknya –Ibrahim mengha
Kamilia memandang ibunya, meminta penjelasan. Wanita yang kini beranjak tua itu menunduk, memainkan ujung bajunya. Dia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk memulai berbicara. Kamilia menunggu dengan sabar. "Ayo ngomong!" bentak Ibrahim. "Iya, Freza tahu kalau ini adalah tulang punggung keluarga ini. Melihat engkau sudah lupa dengan keluargamu, Freza berbaik hati membantu keluarga ini." Wajah sendu mengungkapkan Kamilia, mengharapkan pembelaan.
Kamilia memandang mobilnya yang penyok. Dia sudah menghubungi Hendra dan Bagas. Tidak satu orang pun yang muncul. Kamilia kesal jadinya. Dia harus berurusan dengan polisi."Ke mana sih, Hendra kok gak nongol-nongol?" gerutu Kamilia."Ayo ke kantor!" ajak Pak Polisi."Tunggu teman saya, Pak, ini bukan salah saya!" tawar Kamilia."Nona bisa jelaskan nanti di kantor!" kata Polisi itu lagi.Sebuah mobil minibus hitam tampak akan berjalan mendahului mobil Polisi. Polisi serta-merta mencegatnya. Polisi marah kepada sopirnya. Saat sedang mendamprat sopir itu, tiba-tiba Polisi itu mendapat telpon. Langsung Polisi itu memeriksa nomor plat mobil. Sang supir pucat pasi."Minggir!" bentak Polisi.Beberapa orang Polisi menggeledah isi mobil tersebut. Tidak ada yang mencurigakan, tetapi Polisi tidak putus asa. Mereka tetap mencari. Sampai ada sesuatu yang mencurigakan di kolong jok mobil. Polisi cepat-cepat mengambilnya."Naaah! Keluar
Mata Kamilia mulai berkabut karena air mata. Dulu dia membantu lugu saat dimintai tanda-tangan. Sekarang barulah dia mengerti. Mau ke mana dia mencari uang untuk menebus dirinya sendiri. Uang hasil dia menjadi model entah ke mana. Dia sudah menemukan buku tabungan di rumah Hendra, kosong. hampir dua tahun ingatannya hilang.Dunia ini terasa sangat tidak adil bagi dirinya. Tidak ada kebahagiaan dalam alur lakonnya. Kamilia selalu menjadi bagian pent
Kamilia mengantar Bagas sampai depan rumah. Dia lalu berkemas untuk pergi dari rumah besar ini. Kamilia sewaktu-waktu memandang berkeliling. Dua tahun dia menghuni kamar ini.Tidak terbersit di benaknya sedikit pun, hidupnya akan kembali berkisah tentang kepedihan. Wanita itu seperti dejavu saat dirinya berkemas dulu. Memasukan baju-baju usang ke dalam tas. Baju-baju yang kini entah ada di mana, mungkin sudah menjadi lap.Kamilia goyah, ingi