Setiap perbuatan pasti ada akibatnya, begitulah karma dari setiap manusia. Erika tidak menyadari kalau perbuatannya dulu juga sangat menyakiti perasaan Paulina. Begitu juga Bagas, tanpa sadar ulahnya membuat Paulina terluka.Paulina diantar Freza sampai rumah, laki-laki itu menolak saat Paulina menawarinya singgah. Dia masih ada urusan yang harus diselesaikan."Aku akan segera menikahimu!" Kata-kata Freza terus terngiang di telinga Paulina. Dia memandang kepergian Freza sampai mobil laki-laki itu hilang di kelokan jalan. Wanita itu tersenyum sendiri membayangkan dirinya menjadi istri Freza. Kebahagiaan perlahan-lahan merayapi hatinya.Langit begitu bersih, seperti hati Paulina saat ini. Tidak ada perasaan lain selain kebahagiaan. Cinta Freza berhasil mengikis habis semua rasa sedihnya karena perceraian. Walau dirinya yang minta, tapi sikap Garganif sangat menyakitkan.Paulina memandang langit, di sana rembulan tengah bersinar dengan sempurna. Menyempurnakan kebahagiaan Paulina tentang
Pagi-pagi Kamilia dan Rinai berangkat menuju rumah Freza. Dalam keadaan seperti ini hanya orang tua tempat berbagi. Kamilia sudah bulat tekadnya untuk menceritakan segala hal tentang Rinai.Wanita itu juga akan bercerita kepada Rinai tentang siapa ibu kandungnya. Walau Rinai belum mengerti, Kamilia yakin bocah cilik itu akan mampu untuk mengerti."Ada apa, pagi-pagi sudah berkunjung? Kamu bertengkar lagi dengan Garganif?" tanya Freza menyambut kedatangan Kamilia."Tidak, Papah," jawab Kamilia.Kamilia menitipkan Rinai kepada Inah. Dia ingin bicara empat mata dengan bapaknya. Banyak yang harus dia ungkapkan, tentang kekecewaannya terhadap Garganif."Bagaimana pendapatmu tentang perceraian, Papah?" tanya Kamilia."Siapa yang mau bercerai?""Tidak ada," kilah Kamilia."Lalu?"Freza memandang muka Kamilia yang terlihat seperti melamun. Laki-laki itu yakin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Bukankah Garganif sudah bercerai dengan Paulina?" tanya Freza."Ya tapi tingkahnya semakin me
Kamilia begitu khawatir akan keselamatan Garganif. Dirinya tahu tentang Freza yang begitu kejam terhadap pengkhianat. Itulah sebabnya dia rela memohon agar Freza tidak bertindak gegabah."Sudah … aku mau bawa Rinai makan," jawab Freza."Dengan siapa?""Paulina," jawab Freza singkat."Jangan ….""Sudah, siapkan saja dia!" potong Freza.Akhirnya Kamilia membiarkan Freza membawa Rinai untuk makan siang bersama Paulina. Wanita itu sudah siap saat Freza menjemputnya. Dia terlihat segar dan cantik."Ayo!" ajak Freza."Eh … ada Rinai!" Paulina kaget sekaligus gembira. Wanita itu menoleh cepat ke arah Freza.Freza memperhatikan raut muka Paulina. Dia senang sekali saat duduk berdampingan di mobil. Tentu kasih sayang seorang ibu kandung tidak akan lekang tergerus waktu. Walau nampak wajar, Freza tahu dalam batin Paulina menangis. Tentu saja sebagai ibu kandung, wanita itu ingin disebut ibu."Rinai senang pergi sama Tante Paulina?" tanya Freza."Senang sekali, Kakek," jawab Rinai riang."Mulai
Kamilia meminta izin kepada Freza untuk pulang ke rumah ibunya. Dia ingin menyepi untuk sementara waktu. Freza mengizinkan dengan satu syarat."Rinai biar bersama Papah aja dulu," kata Freza. "Bagaimana Papah bisa mengurus Rinai, sibuk begitu, kok?" tanya Kamilia."Sudahlah, pekerjaan bisa diatur," jawab Freza.Kamilia lega karena Rinai tidak merajuk saat ditinggalkan. Dia tidak tampak bersedih saat Kamilia pergi. Kamilia kembali menyusuri jalan yang dulu pernah dilaluinya dengan berlinang air mata. Dulu, sepanjang jalan itu dia meratapi nasibnya yang malang. Menjadi wanita penghibur sebagai penebus hutang.Masih terbayang saat dia membawa lara hatinya dengan sekujur tubuh sakit karena dianiaya Heru dan Sinta. Berharap perlindungan dari seorang bapak, malah disuruh kembali untuk bekerja lagi.Kamilia mengusap air matanya yang mengembun. Kelopak matanya rupanya sudah tidak kuat menahannya. Pandangannya di depannya tiba-tiba kabur. Kamilia lebih konsentrasi lagi dalam berkendara.Kamil
Amira diam, menata hatinya yang tiba-tiba berdegup kencang karena bahagia. Lebih baik dia menjadi seorang pengasuh daripada menjual diri. Air matanya kembali meluncur di pipinya yang tirus."Terima kasih, Nyonya," ucap Amira lirih."Ya," jawab Kamilia sambil tersenyum. Dia merasa sangat bahagia karena bisa menyelamatkan Amira dari jurang kehancuran. Andai dulu ada seorang malaikat yang menolongnya, dia tidak akan mengalami penderitaan yang begitu mengerikan.Namun, tanpa dirinya pindah ke kota, mustahil rahasia hidupnya juga akan terbongkar. Ternyata ada hikmah di balik semua penderitaan yang dialaminya. Dia mendapatkan kembali keluarganya yang hilang.Tanpa disangka sebelumnya, tiba-tiba dia mempunyai bapak yang kaya-raya. Masa lalu yang terkuak dengan sendirinya. Ibunya yang tidak banyak bicara, rupanya diamnya itu menyimpan seribu kisah dalam kegetiran. Kamilia semakin tidak mengerti dengan rahasia kehidupan.Kamilia semakin tenggelam dalam lamunan pahitnya. Satu persatu berkelebat
Kamilia berpikir untuk membawa Amira ke kampungnya. Dia ingin tahu kabar ibunya, sudah lama tidak mendengar kabar tentang mereka."Ayo ikut!" ajak Kamilia.Amira bangkit, tanpa bertanya apa pun dia mengikuti Kamilia. Kamilia menuju mobilnya dan melajukan mobilnya ke luar kota. Sebelum matahari terbenam mereka harus sampai di sana."Ini kampung, Nyonya?" tanya Amira. Dia percaya kini dengan cerita Kamilia tentang dirinya tadi."Panggil saja, Kakak!" suruh Kamilia."Baiklah." Mereka menuju rumah kecil yang asri. Kamilia sudah mengubahnya dari gubuk menjadi rumah permanen. Walau dirinya sangat membenci Ibrahim –bapak tirinya, setidaknya masih ada ibunya yang sangat dia sayangi.Lelaki tua itu sedang duduk sambil melihat ke jalan saat Kamilia tiba. Ingin sekali dirinya menyambut anaknya itu tapi dosa-dosanya yang dulu terhadap Kamilia menghalangi niatnya. Dia hanya termangu melihat kedatangan Kamilia."Anakmu
Kamilia mendekati Ibrahim yang sedang berjuang melawan maut. Dia menyebut nama Kamilia berulang kali dan minta air. Rasa hausnya tidak dapat ditahannya. Air sepenuh lautan pun tidak akan memuaskan dahaganya.Kamilia memegang tangan bapaknya. Air matanya luruh dengan sendirinya. Hatinya sedih mengingat saat dulu dirinya masih kecil, Ibrahim selalu membelanya. "Kartika jelek … tahu gak kalau itu bukan bapakmu," kata Tini teman sepermainannya."Itu bapakku!" seru Kartika. Dia tidak mengerti kala itu, mengapa ada yang meragukan kalau dirinya bukan anak kandung Ibrahim."Bukan!" seru Tini ngotot.Kartika bengong, hatinya sedih melihat temannya berkata demikian. Ida yang melihatnya bersedih menghiburnya."Sudahlah, Tini bohong. Kamu anak bapakmu," ujar Ida menghiburnya.Air mata Kartika tidak bisa dibendungnya. Gadis kecil itu pulang dengan hati hancur. Benarkah dia bukan anak bapaknya. "Mengapa kamu menangis, Kartika?" tanya Ibrahim.Kartika diam saja sambil mengusap air matanya. lidahn
Mereka berjalan menjauhi kuburan Ibrahim. Kamilia kaku saat melangkah dengan lelaki itu di sampingnya. Ternyata masih ada rasa di hatinya untuk pemuda itu.Kamilia merasa malu mengakui kata hatinya. Dia tidak mampu berkata-kata untuk sekedar bercengkrama. Begitu pula dengan Saiful, dia juga tidak berkata apa-apa.Amira menyambut keduanya di halaman rumah Kamilia. Dia merasa penasaran dengan sosok ustadz yang bersama dengan kakak angkatnya itu."Kak." Amira memanggil Kamilia. Pandangan matanya melirik malu-malu ke arah Saiful. Merasa mendapat topik pembicaraan, Kamilia ingin memperkenalkan Amira."Kenalkan, Kang. Ini adik angkatku, Amira," ujar Kamilia.Saiful tersenyum sambil mengangkat tangannya ke dadanya. Memberi salam kepada Amira."Aku Saiful." Pemuda itu juga menyebutkan namanya sambil tetap tersenyum.Kamilia memandang Amira yang tersipu. Entah apa maksudnya Amira ingin berkenalan dengan Saiful. Saiful menjadi canggung dengan kehadiran Amira."Dia belum punya suami," jelas Kami