Kamilia begitu khawatir akan keselamatan Garganif. Dirinya tahu tentang Freza yang begitu kejam terhadap pengkhianat. Itulah sebabnya dia rela memohon agar Freza tidak bertindak gegabah."Sudah … aku mau bawa Rinai makan," jawab Freza."Dengan siapa?""Paulina," jawab Freza singkat."Jangan ….""Sudah, siapkan saja dia!" potong Freza.Akhirnya Kamilia membiarkan Freza membawa Rinai untuk makan siang bersama Paulina. Wanita itu sudah siap saat Freza menjemputnya. Dia terlihat segar dan cantik."Ayo!" ajak Freza."Eh … ada Rinai!" Paulina kaget sekaligus gembira. Wanita itu menoleh cepat ke arah Freza.Freza memperhatikan raut muka Paulina. Dia senang sekali saat duduk berdampingan di mobil. Tentu kasih sayang seorang ibu kandung tidak akan lekang tergerus waktu. Walau nampak wajar, Freza tahu dalam batin Paulina menangis. Tentu saja sebagai ibu kandung, wanita itu ingin disebut ibu."Rinai senang pergi sama Tante Paulina?" tanya Freza."Senang sekali, Kakek," jawab Rinai riang."Mulai
Kamilia meminta izin kepada Freza untuk pulang ke rumah ibunya. Dia ingin menyepi untuk sementara waktu. Freza mengizinkan dengan satu syarat."Rinai biar bersama Papah aja dulu," kata Freza. "Bagaimana Papah bisa mengurus Rinai, sibuk begitu, kok?" tanya Kamilia."Sudahlah, pekerjaan bisa diatur," jawab Freza.Kamilia lega karena Rinai tidak merajuk saat ditinggalkan. Dia tidak tampak bersedih saat Kamilia pergi. Kamilia kembali menyusuri jalan yang dulu pernah dilaluinya dengan berlinang air mata. Dulu, sepanjang jalan itu dia meratapi nasibnya yang malang. Menjadi wanita penghibur sebagai penebus hutang.Masih terbayang saat dia membawa lara hatinya dengan sekujur tubuh sakit karena dianiaya Heru dan Sinta. Berharap perlindungan dari seorang bapak, malah disuruh kembali untuk bekerja lagi.Kamilia mengusap air matanya yang mengembun. Kelopak matanya rupanya sudah tidak kuat menahannya. Pandangannya di depannya tiba-tiba kabur. Kamilia lebih konsentrasi lagi dalam berkendara.Kamil
Amira diam, menata hatinya yang tiba-tiba berdegup kencang karena bahagia. Lebih baik dia menjadi seorang pengasuh daripada menjual diri. Air matanya kembali meluncur di pipinya yang tirus."Terima kasih, Nyonya," ucap Amira lirih."Ya," jawab Kamilia sambil tersenyum. Dia merasa sangat bahagia karena bisa menyelamatkan Amira dari jurang kehancuran. Andai dulu ada seorang malaikat yang menolongnya, dia tidak akan mengalami penderitaan yang begitu mengerikan.Namun, tanpa dirinya pindah ke kota, mustahil rahasia hidupnya juga akan terbongkar. Ternyata ada hikmah di balik semua penderitaan yang dialaminya. Dia mendapatkan kembali keluarganya yang hilang.Tanpa disangka sebelumnya, tiba-tiba dia mempunyai bapak yang kaya-raya. Masa lalu yang terkuak dengan sendirinya. Ibunya yang tidak banyak bicara, rupanya diamnya itu menyimpan seribu kisah dalam kegetiran. Kamilia semakin tidak mengerti dengan rahasia kehidupan.Kamilia semakin tenggelam dalam lamunan pahitnya. Satu persatu berkelebat
Kamilia berpikir untuk membawa Amira ke kampungnya. Dia ingin tahu kabar ibunya, sudah lama tidak mendengar kabar tentang mereka."Ayo ikut!" ajak Kamilia.Amira bangkit, tanpa bertanya apa pun dia mengikuti Kamilia. Kamilia menuju mobilnya dan melajukan mobilnya ke luar kota. Sebelum matahari terbenam mereka harus sampai di sana."Ini kampung, Nyonya?" tanya Amira. Dia percaya kini dengan cerita Kamilia tentang dirinya tadi."Panggil saja, Kakak!" suruh Kamilia."Baiklah." Mereka menuju rumah kecil yang asri. Kamilia sudah mengubahnya dari gubuk menjadi rumah permanen. Walau dirinya sangat membenci Ibrahim –bapak tirinya, setidaknya masih ada ibunya yang sangat dia sayangi.Lelaki tua itu sedang duduk sambil melihat ke jalan saat Kamilia tiba. Ingin sekali dirinya menyambut anaknya itu tapi dosa-dosanya yang dulu terhadap Kamilia menghalangi niatnya. Dia hanya termangu melihat kedatangan Kamilia."Anakmu
Kamilia mendekati Ibrahim yang sedang berjuang melawan maut. Dia menyebut nama Kamilia berulang kali dan minta air. Rasa hausnya tidak dapat ditahannya. Air sepenuh lautan pun tidak akan memuaskan dahaganya.Kamilia memegang tangan bapaknya. Air matanya luruh dengan sendirinya. Hatinya sedih mengingat saat dulu dirinya masih kecil, Ibrahim selalu membelanya. "Kartika jelek … tahu gak kalau itu bukan bapakmu," kata Tini teman sepermainannya."Itu bapakku!" seru Kartika. Dia tidak mengerti kala itu, mengapa ada yang meragukan kalau dirinya bukan anak kandung Ibrahim."Bukan!" seru Tini ngotot.Kartika bengong, hatinya sedih melihat temannya berkata demikian. Ida yang melihatnya bersedih menghiburnya."Sudahlah, Tini bohong. Kamu anak bapakmu," ujar Ida menghiburnya.Air mata Kartika tidak bisa dibendungnya. Gadis kecil itu pulang dengan hati hancur. Benarkah dia bukan anak bapaknya. "Mengapa kamu menangis, Kartika?" tanya Ibrahim.Kartika diam saja sambil mengusap air matanya. lidahn
Mereka berjalan menjauhi kuburan Ibrahim. Kamilia kaku saat melangkah dengan lelaki itu di sampingnya. Ternyata masih ada rasa di hatinya untuk pemuda itu.Kamilia merasa malu mengakui kata hatinya. Dia tidak mampu berkata-kata untuk sekedar bercengkrama. Begitu pula dengan Saiful, dia juga tidak berkata apa-apa.Amira menyambut keduanya di halaman rumah Kamilia. Dia merasa penasaran dengan sosok ustadz yang bersama dengan kakak angkatnya itu."Kak." Amira memanggil Kamilia. Pandangan matanya melirik malu-malu ke arah Saiful. Merasa mendapat topik pembicaraan, Kamilia ingin memperkenalkan Amira."Kenalkan, Kang. Ini adik angkatku, Amira," ujar Kamilia.Saiful tersenyum sambil mengangkat tangannya ke dadanya. Memberi salam kepada Amira."Aku Saiful." Pemuda itu juga menyebutkan namanya sambil tetap tersenyum.Kamilia memandang Amira yang tersipu. Entah apa maksudnya Amira ingin berkenalan dengan Saiful. Saiful menjadi canggung dengan kehadiran Amira."Dia belum punya suami," jelas Kami
Bagaikan merpati yang terluka sayapnya, tak bisa lagi terbang, hanya kepakan lemah diantara rasa sakit. Bagai atlet lari yang terluka kakinya, berlari terseok berusaha mencapai garis finish. Hati tercabik menjadi serpihan. Layaknya puzzle, mencoba merangkai menjadikannya utuh kembali. Hambar dan tak bisa dibohongi, semuanya sudah selesai. Hanya sampai disini, kisah cintanya dengan Garganif.Rasa sakit itu membawa lenyap sugesti dalam diri. Tak tahu di mana hinggapnya … entahlah.Karena walaupun tahu, tak hendak Kamilia menyelisik. Cinta yang diberikan dengan setulus hati, hanya pahit yang diterima.Sepuluh tahun berjuang agar semua tampak wajar-wajar saja. Betapa dengan susah payahnya Kamilia menjaga kehormatannya … wahai engkau orang yang dipanggil suami.Bertahan dalam keterpurukan bukanlah keputusan yang bagus. Namun, disaat tak lagi punya pilihan, itu yang terbaik walaupun luka hati kian melebar. Sesungguhnya hati Kamilia sudah tak mampu lagi untuk selalu bersamanya, tapi rasa m
Alex heran mengapa wanita di depannya tahu kepada Freza. Bosnya itu yang dia tahu adalah orang yang misterius. Tidak ada yang tahu latar belakang kehidupannya. Apalagi keluarganya."Mbak kenal dia?" tanya Alex."Sedikit, coba ceritakan apa yang kamu lakukan untuk Freza? Apa isi bungkusan itu?" tanya Kamilia.Alex menggeleng, raut khawatir terbayang di wajahnya. Tidak mungkin dia berterus-terang kalau isi bungkusan itu adalah narkoba."Aku sudah salah, bagaimana caranya aku lepas dari perempuan ini? Ini pasti polisi yang menyamar," batin Alex.Batin Alex merutuki kecerobohannya. Dia terpesona dengan kecantikan dan kebaikan Kamilia. Padahal ini hanya sebuah jebakan, begitu pikirnya."Ayo dimakan?" suruh Kamilia.Kini Alex ragu-ragu dengan makanan di depannya. Dia tidak ingin menyentuhnya apalagi memakannya. Khawatir ada obat bius di dalamnya. Bisa berakhir hidupnya kalau dirinya sampai ngoceh tentang diri Freza –bosnya."Aku tidak lapar," jawab Alex."Mengapa? Tadi kamu bersemangat pesan