Amira tersenyum kecut mendengar penghiburan Laila. Dia tidak yakin dengan perasaan Bintang. Adelia dan Bintang begitu akrab. "Kamu yakin, Laila?" tanya Amira."Aku yakin," tandas Laila. Entah mengapa ada semacam ketertarikan di hati Amira. Dia tidak mungkin mencintai orang lain selain Andra. Dalam diri Bintang, Amira seperti melihat Andra seutuhnya. Laila memperhatikan badan Amira yang semakin kurus. mukanya tidak bercahaya serta pandangan yang kuyu. Laila curiga, karena temannya di Jogja ada yang berpenampilan seperti Amira. Ternyata terdeteksi menjadi pemakai obat-obatan terlarang."Kamu bergaul sama siapa aja?" tanya Laila. "Temanku di sini hanya Adelia," jawab Amira.Mengapa kamu kurus sekali?" tanya Laila lagi. "Apakah kamu sakit?""Aku sering sakit kepala, Adelia yang punya obatnya. Aku sering beli kepadanya," jawab Amira."Obat apa?" tanya Laila."Obat sakit kepala tapi selain sakitku hilang, perasaan seperti di awang-awang," jawab Amira sambil menerawang mengingat. "Apa?
Amira menghela napas panjang, mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kisah sedihnya sebelum bertemu Kamilia. Dia teringat bagaimana bapaknya memaksanya untuk pergi mengikuti wanita itu –mucikari. Orang yang seharusnya menjadi pelindung malah menjerumuskannya."Aku ditebus oleh kakakku itu dan dibawa ke sini," ujar Amira. "Setelah itu beberapa hari di rumah akhirnya kakakku menyuruhku untuk melanjutkan sekolah lagi." Amira mengakhiri ceritanya."Beruntung sekali kamu bertemu orang baik," kata Laila."Ya, dia memang sangat baik sekali. Kamu tahu cerita masa lalu kakakku itu?" "Tahu dari mana, bertemu pun baru kali ini," jawab Laila."Menurut ceritanya, kisahnya sama sepertiku," kata Amira pelan. "Cuma bedanya dia tidak ada yang menolong, kalau aku ada.""Ooh, aku tidak bisa membayangkan perasaan hatinya dulu," ujar Laila."Ya, dia bercerita kepadaku … tiap malam menangis bahkan waktu tidur pun menangis. Belum lagi dapat siksaan dari suami kontraknya juga.""Mengerikan sekali," desis
Amira melirik sang instruktur yang begitu keren, pastinya karena dia juga seorang model. Tadinya ingin bertanya tapi Amira malu. Timbul ide dalam pikirannya, dirinya harus menjadi teman dekatnya Bintang. Gadis itu ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi."Kamu juga model?" tanya Amira lugu."Tentu saja, iya. Mengapa aku bisa jadi instruktur model? Ya, karena aku model senior," jawab Bintang."Tapi, aku tidak pernah melihatku di media," ucap Amira jujur. "Dih … mainmu kurang jauh! Hahaha hahaha hahaha hahaha." Bintang tertawa. Dia merasa lucu dengan kepolosan Amira."Hehehe hehehe." Amira ikut tertawa. Tunggu! Gadis itu ingat sesuatu … iklan shampoo! Ya … sekarang dirinya ingat, Bintang adalah bintang iklan shampoo.Diam-diam Amira kagum dengan keramahan Bintang. Berbanding terbalik dengan sikapnya di kampus. Entah apa yang membuatnya berubah. Mungkin karena Amira adik dari model terkenal –Kamilia, dan itu membuat Amira tidak dipandang sebelah mata."Adelia pacarmu?" tanya Amira masi
Garganif datang menjelang malam hari. Dia tetap dengan keputusannya untuk meminta perusahaan yang di Kalimantan. "Bagaimana? Apa kamu berubah pikiran dengan tidak pulangnya aku?" tanya Garganif langsung."Heh … kamu pikir aku mati dengan tidak pulangnya kamu?" Kamilia tersenyum sinis. Capek sekali dia menghadapi suami seperti itu. Sudah parasit tidak tahu diri pula, diberikan kedudukannya malah inginkan kursinya."Dasar istri tidak berguna, aku ceraikan kamu sekarang juga!" seru Garganif."Silahkan! Nanti aku panggil papaku, silahkan kamu bicara kepadanya!" suruh Kamilia."Tidak perlu! Aku tidak ada waktu untuk berbicara kepadanya," ujar Garganif."Dulu, kamu berlutut di hadapannya, memohon restunya untuk meminangku, sekarang seenaknya saja main cerai-cerai saja," ujar Kamilia sinis. "Apa dulu kamu tertarik karena hartaku?" tanya Kamilia lagi.Garganif tidak menjawab. Dia hanya mendengkus, hatinya sudah menghitam dan membatu. Dia hanya inginkan perceraian. Harta membuatnya berubah me
Kamilia tertarik memperhatikan ustadz yang sedang berceramah itu. Tiba-tiba hatinya berdegup. "Ah … bukankah itu Saiful." Hatinya berceloteh, rasa kagumnya mendadak muncul begitu saja. Asmara yang sekian lama terkubur ternyata belum padam sepenuhnya. Kamilia mengeluh dalam hatinya.Lamunannya melayang ke masa silam. Saat usia remajanya masih indah. Kamilia terpaku menatap wajah Saiful yang sedang menyampaikan ceramah. Wajahnya jernih dengan pakaian serba putih dan bersorban. "Ah!" Kamilia berusaha menepiskan rasa kagumnya. Saiful masih sendiri sampai saat ini. Entah menunggu siapa."Kak!" Amira memanggil pelan. Bagi Kamilia itu mengagetkan. Dia sampai terkejut saat menoleh ke arah Amira."Apa?""Itu kan temannya Kakak, Kak Saiful, kan?""Iya," sahut Kamilia malas."Hebat, ya," lanjut Amira."Hmmm."Kamilia enggan berkomentar. Dia memalingkan kembali wajahnya ke arah jalan. Kerumunan itu sudah tertinggal jauh. Namun, masih membekas di ingatan Kamilia.Mereka sampai ke kampung Kamili
Ibrahim berbinar matanya, melotot melihat dompet Harso yang tebal. Menerka-nerka kira-kira berapa juta ada di dompet Harso. Laki-laki itu melongokkan kepalanya mengintip dompet temannya itu."Apa sih?" "Berapa banyak itu?" tanya Ibrahim"Kepo! Hahaha hahaha hahaha.""Ya sudah … cepat mana duitnya!" bentak Ibrahim."Buset … galak yang ngutang daripada yang diutang!" seru Harso."Aku sudah ditunggu sama Joni," kata Ibrahim sambil melirik rekan seperjudiannya."Tiga hari lagi aku tagih!" ancam Harso."Datang aja ke rumah! Kalau sekarang aku menang aku bayar sama bunganya!" seru Ibrahim senang. Dengan cepat laki-laki sudah duduk melingkarkan meja judi."Aku menang!" seru Ibrahim senang. "Hahaha hahaha hahaha hahaha." Dia tertawa terbahak-bahak. Lelaki setengah tua itu berdiri dan menepuk-nepuk dada. Matanya berbinar-binar sambil meraup uang di atas meja.Harso mendekat, dia pun ikut senang Ibrahim menang judi. Itu pertanda duitnya akan segera kembali beserta bunganya. Matanya ikut berbin
Fery memandang Amira, laki-laki tersenyum malu. Dia memang belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Rasa grogi membuatnya merasa dingin sekujur tubuhnya. "Hahaha. Bercanda," ujar Fery sambil tertawa. "Huu!" seru Freza dan Bagas serentak. "Lho, Oom Bagas kapan gabung?" tanya Fery."Sampai gak nyadar, ya!" Bagas meledek Fery.Remaja itu cuma tertawa kecil. Padahal dia sengaja membelokkan pembicaraan. Pemuda itu malu digoda-godain. Akhirnya semua tertawa karena merasa lucu.Kamilia dapat sejenak melupakan kesedihannya. Untuk kedua kalinya dirinya kehilangan Garganif. Hatinya memang sudah membeku untuk lelaki itu. Namun, kehadirannya masih dibutuhkan Rinai. Apalagi dia berencana untuk mengajukan hak asuh. Lelaki itu memang sangat licik. Dia berencana menguras harta Kamilia. Namun, tentu saja Freza tidak akan tinggal diam."Ayo! Kita tidur!" ajak Freza.Mereka bubar karena malam sudah larut. Kembali Kamilia dengan lamunannya. Merenungi nasibnya yang malang. Wanita itu hancur, tentu saja. H
Garganif memperhatikan raut wajah Indah. "Cantik," batinnya. Apalagi saat dia tengah bercerita, bibirnya begitu menggemaskan."Suamiku belum pulang juga. Sedangkan hari sudah lewat tengah malam. Aku coba lagi meneleponnya, tetep tidak ada jawaban. Karena penasaran kucoba sekali lagi. Eh … diangkat tapi suara perempuan yang ada di sana. Aku tidak berbicara, diam saja mendengar suara-suara mereka. Terdengar mereka seperti sedang melakukan sesuatu. Saat itulah tiba-tiba bumi seperti menghimpitku, dunia terasa gelap. Aku tutup telponnya lalu menangis semalaman. Saat dia pulang, dia diam saja saat aku bertanya. Aku minta cerai akhirnya." Indah mengakhiri ceritanya.Seperti tersindir dalam hatinya Garganif merasa malu. Tabiatnya tidak ubahnya seperti suaminya Indah. Namun, dia mengaku kalau istrinya yang mengkhianatinya. Dia berpikir, toh Indah tidak mengenal dirinya.Garganif tertarik kepada wanita itu. Dia ingin mengajak wanita itu mampir ke apartemennya. Dirinya yang sekarang mempunyai