Pagi ini begitu cerah, secerah suasana hati Riana Ho. Senyum manisnya terus mengembang, sesekali mata sipitnya menyapu lobi berharap menemukan pria yang mempunyai lesung di pipinya. Lalu matanya terbelalak, senyumnya semakin merekah kala Jimmy memasuki pintu lobi dengan tangannya yang melambai di udara kearahnya. Tapi Riana berpura-pura tak melihat, fokusnya ia alihkan menatap layar komputer. Dari ekor mata, Riana dapat melihat Jimmy tengah berlarian kecil menuju ke arahnya. Degup jantungnya semakin berdetak tak karuan seiring tubuh atletis itu mendekat ke arahnya."Hi, Sweety."Sekuat tenaga Riana tak menampilkan senyum manisnya. "Hi, Jimmy."Jimmy menarik bibirnya ke bawah. Menampilkan ekspresi sedih dibuat-buat. "Kenapa kamu tidak terlihat ceria seperti biasa? Dimana senyum manis yang membuat dadaku berdebar setiap melihatnya?" Ah, Jimmy mengakui dirinya sendiri yang mempunyai keahlian merayu untuk mangsanya.Pipi Riana bersemu merah. Ia menyel
Riuh ramai di restoran Jepang yang terletak 800m dari perusahaan Bumi Grafis tak membuat Riana dan Jimmy berhenti bercerita dan tertawa. Keduanya saling melempar candaan yang mana menjadi sebuah kehangatan untuk Riana. "Aku baru tahu kalau kamu juga orang yang humoris, Jim.""Aku dari kecil suka nonton kartun dan film yang berbau komedi. Bagiku, hal itu bisa mengusir kebosanan karena aku adalah anak tunggal.""Oh ya? Kenapa bosan? Bukannya enak ya jadi anak tunggal? Gak akan ada yang merebut mainan atau cemilan yang kamu suka, gak akan ada yang mengejek atau membully." Riana menjadi teringat Reynald, adik satu-satunya yang suka diam-diam menghabiskan cemilan favoritnya ataua terkadang mengatainya cengeng ketika menonton drama Korea. Hal itu terkadang benar-benar membuatnya jengkel saat itu terjadi."Justru itu akan menjadi sebuah kenangan indah di masa tua, Riana. Kau tidak akan mendapatinya lagi ketika sudah dewasa. Contohnya aku, aku tidak mempunyai masa
Peluh keringat membasahi dua tubuh yang sudah polos dan terbaring diatas ranjang dengan napas yang terengah-engah. Pergumulan panas telah terjadi antara Rosa dengan Reynald. "Tak aku sangka kalau ternyata kamu pemuda suci, Rey."Reynald tak menanggapi ucapan Rosa. Dirinya masih mengatur napas dan denyut jantung yang berdebar-debar. Dirinya pun tak menyangka akan melepas keperjakaannya dengan wanita janda yang berusia lebih tua darinya. Memang Rey akui, ia menikmati pergumulan panasnya dengan Rosa meskipun ia melakukannya tidak atas dasar cinta. Wanita itu begitu hebat memainkan kejantanannya di dalam celah lembutnya.Ada alasan tersendiri mengapa Rey mau melakukan permintaan Rosa yang memang sudah gila. Tiga jam sebelum kejadian ini terjadi, dia berunding dan bertukar pendapat dengan kakaknya. Siapa sangka, Ruslan malah menyuruhnya untuk mengikuti permainan Rosa."Lakukan Rey, jika itu bisa membuatmu terus bertahan di Bumi Grafis. Tapi ingat, jangan sampai
Beberapa hari kemudian, rapat umum pemegang saham pun dilaksanakan. Kakek Axel yang bernama Bumi Putra tak dapat datang untuk mengikuti rapat karena kondisi kesehatannya yang tak memungkinkan. Pria tersebut mengalami komplikasi yang cukup lama dan sekarang sedang mendapat perawatan di rumah sakit terbesar di Singapura. Hanya Axel sebagai pemegang saham kedualah yang akan memimpin rapat tersebut.Di ruang rapat, Axel duduk diikuti Sofia sang sekretaris. Wajah-wajah yang sudah lama tak Axel lihat kini menebar senyum sopan padanya. Hanya satu, pria paruh baya yang hanya tersenyum mengejek menatapnya. Siapa lagi kalau bukan Hendra. Meskipun usianya sudah tak lagi muda, namun penampilan dan postur tubuhnya yang tegap menandakan ia seseorang yang penuh ambisi dan enerjik.Seorang MC terlihat membuka acara, lalu di susul oleh sambutan dari Axel sebagai seorang CEO sekaligus mengungkapkan alasan ketidakhadiran sang kakek.Berbagai acara sudah dilewati, acara yang
Sofia menoleh ke asal suara. Ternyata masih ada Rianti yang baru saja keluar dari mobil. Perlahan Ruslan pun menyerahkan Luna ke Sofia.Sofia tersenyum getir dalam hatinya. Anak mami masih melekat di kamu ternyata, mas! pikirnya dalam hati.Sedang Rianti hanya melewati keduanya pergi memasuki rumah."Sofia... apa aku boleh untuk menemuinya lagi besok?" tanya Ruslan. Wajahnya menunjukkan pengharapan. Luna begitu membuatnya hilang akan lelahnya dunia. Bermain dengan balita itu membuat hatinya sedikit gembira. "Gak! Jangan harap kamu bisa mengambil Luna lagi secara diam-diam!"Ruslan tak menyukai penolakan yang berkali-kali keluar dari mulut Sofia. Padahal, dulu Sofia adalah wanita yang paling patuh pada suaminya. "Tapi aku kan ayahnya, jadi aku berhak untuk menemuinya!""Iya, tapi bukan dengan cara yang seperti tadi! Yang kau lakukan itu sama saja dengan menculiknya, Ruslan!" Sudah tak ada lagi sikap hormat untuk Ruslan. Sofia bah
"Kamu ngapain disini?" tanya Jimmy karena Sasha tak segera menjawab. Mata Jimmy meneliti situasi. "Ini, siapa?" tanyanya lagi menunjuk pria asing yang membopong tubu Sasha. Wajah Sasha tak terlihat baik-baik saja, mata sayu dengan tubuh yang bisa ambruk kapan saja. Membuat Jimmy yakin, jika Sasha sedang berada di bawah pengaruh alkohol yang tinggi."Minggir kamu, aku ini adalah kekasihnya!" tukas pria asing yang berusaha membopong Sasha untuk segera keluar club.Jimmy menarik lengan Sasha. "Eits, tunggu dulu! Dia adalah rekan kerjaku, dan kau bisa terkena pasal hukum jika membawa seseorang yang sedang tidak sadar diri, bukan?"Pria asing itu tak percaya. "Pembohong!""Sebentar aku bisa buktikan." Jimmy merogoh ponsel dalam saku, lalu menghubungi nomor Sasha yang ia simpan secara diam-diam. Tak disangka, perbuatan diam-diamnya akan berguna untuk saat ini. Dering ponsel milik Sasha yang berada di dalam tas selempangnya terdengar,
Berjalan sempoyongan, dengan pakaian yang kusut dan kacau, Reynald jalan memasuki rumah. Saat ia menutup pintu, suara yang sangat dikenalinya bertanya, "Dari mana aja kamu?"Rey menoleh, menyipitkan mata, berusaha melihat dengan jelas siapa yang ia lihat. Alkohol membuat penglihatannya sedikit kabur. "Ibu? Kenapa jam segini belum tidur?" Rey memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut.Rianti menghampiri putra bungsunya, lalu menjepit hidungnya. "Kamu mabuk, Rey?" Tanya Rianti tak percaya.Rey mengendus bau bajunya sendiri. Nihil, menurutnya ia sama sekali tak bau alkohol. "Kamu nih ngapain aja sih, Rey? Kenapa malah jadi mabuk-mabukkan gini? Kemarin juga, kenapa gak dateng pas kakakmu ada kenaikan jabatan?" tanya Rianti bertubi-tubi. Tak sabar untuk menunggu jawaban dari sang anak.Rey menghela napasnya. Ia paling tak suka jika ibunya selalu berbicara tentang kakaknya. Mengelu-elukan dan memuji bak pria itu adalah anak tanpa cela. Alasan
Pesan masuk membuat Rianti mengalihkan perhatiannya dari Ruslan. Ia meraih ponsel yang berada di atas meja, mengusap layar dan membuka aplikasi pesan. Keningnya mengernyit saat mendapati pesan yang berisi, [Jika kau ingin tahu, selidiki dulu menantumu!]Sontak Rianti melemparkan ponselnya tapi beruntung, ponsel itu hanya berakhir di atas sofa. Pupilnya bergetar setelah ia membaca pesan teks tersebut, seolah dirinya ada yang mengawasi dirinya di rumah itu."Gak mungkin..." gumamnya lirih.Rianti menolehkan kepalanya ke segala penjuru, nyatanya tiada siapapun selain dirinya yang berdiri di depan sofa. Dengan tangan gemetar, Rianti meraih kembali ponselnya dan memeriksa kembali isi pesan tersebut. Nomor yang mengirim pun tidak terdeteksi karena disembunyikan oleh si pengirim. Tring! Pesan kembali masuk. [Jangan takut! Ikuti saja perintahku! Esok, ikuti kemana menantumu pergi!] Badan Rianti semakin menggigil setelah menerima pesan tersebut. Tubuhnya