Beberapa hari kemudian, rapat umum pemegang saham pun dilaksanakan. Kakek Axel yang bernama Bumi Putra tak dapat datang untuk mengikuti rapat karena kondisi kesehatannya yang tak memungkinkan. Pria tersebut mengalami komplikasi yang cukup lama dan sekarang sedang mendapat perawatan di rumah sakit terbesar di Singapura. Hanya Axel sebagai pemegang saham kedualah yang akan memimpin rapat tersebut.
Di ruang rapat, Axel duduk diikuti Sofia sang sekretaris. Wajah-wajah yang sudah lama tak Axel lihat kini menebar senyum sopan padanya. Hanya satu, pria paruh baya yang hanya tersenyum mengejek menatapnya. Siapa lagi kalau bukan Hendra. Meskipun usianya sudah tak lagi muda, namun penampilan dan postur tubuhnya yang tegap menandakan ia seseorang yang penuh ambisi dan enerjik.Seorang MC terlihat membuka acara, lalu di susul oleh sambutan dari Axel sebagai seorang CEO sekaligus mengungkapkan alasan ketidakhadiran sang kakek.Berbagai acara sudah dilewati, acara yangSofia menoleh ke asal suara. Ternyata masih ada Rianti yang baru saja keluar dari mobil. Perlahan Ruslan pun menyerahkan Luna ke Sofia.Sofia tersenyum getir dalam hatinya. Anak mami masih melekat di kamu ternyata, mas! pikirnya dalam hati.Sedang Rianti hanya melewati keduanya pergi memasuki rumah."Sofia... apa aku boleh untuk menemuinya lagi besok?" tanya Ruslan. Wajahnya menunjukkan pengharapan. Luna begitu membuatnya hilang akan lelahnya dunia. Bermain dengan balita itu membuat hatinya sedikit gembira. "Gak! Jangan harap kamu bisa mengambil Luna lagi secara diam-diam!"Ruslan tak menyukai penolakan yang berkali-kali keluar dari mulut Sofia. Padahal, dulu Sofia adalah wanita yang paling patuh pada suaminya. "Tapi aku kan ayahnya, jadi aku berhak untuk menemuinya!""Iya, tapi bukan dengan cara yang seperti tadi! Yang kau lakukan itu sama saja dengan menculiknya, Ruslan!" Sudah tak ada lagi sikap hormat untuk Ruslan. Sofia bah
"Kamu ngapain disini?" tanya Jimmy karena Sasha tak segera menjawab. Mata Jimmy meneliti situasi. "Ini, siapa?" tanyanya lagi menunjuk pria asing yang membopong tubu Sasha. Wajah Sasha tak terlihat baik-baik saja, mata sayu dengan tubuh yang bisa ambruk kapan saja. Membuat Jimmy yakin, jika Sasha sedang berada di bawah pengaruh alkohol yang tinggi."Minggir kamu, aku ini adalah kekasihnya!" tukas pria asing yang berusaha membopong Sasha untuk segera keluar club.Jimmy menarik lengan Sasha. "Eits, tunggu dulu! Dia adalah rekan kerjaku, dan kau bisa terkena pasal hukum jika membawa seseorang yang sedang tidak sadar diri, bukan?"Pria asing itu tak percaya. "Pembohong!""Sebentar aku bisa buktikan." Jimmy merogoh ponsel dalam saku, lalu menghubungi nomor Sasha yang ia simpan secara diam-diam. Tak disangka, perbuatan diam-diamnya akan berguna untuk saat ini. Dering ponsel milik Sasha yang berada di dalam tas selempangnya terdengar,
Berjalan sempoyongan, dengan pakaian yang kusut dan kacau, Reynald jalan memasuki rumah. Saat ia menutup pintu, suara yang sangat dikenalinya bertanya, "Dari mana aja kamu?"Rey menoleh, menyipitkan mata, berusaha melihat dengan jelas siapa yang ia lihat. Alkohol membuat penglihatannya sedikit kabur. "Ibu? Kenapa jam segini belum tidur?" Rey memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut.Rianti menghampiri putra bungsunya, lalu menjepit hidungnya. "Kamu mabuk, Rey?" Tanya Rianti tak percaya.Rey mengendus bau bajunya sendiri. Nihil, menurutnya ia sama sekali tak bau alkohol. "Kamu nih ngapain aja sih, Rey? Kenapa malah jadi mabuk-mabukkan gini? Kemarin juga, kenapa gak dateng pas kakakmu ada kenaikan jabatan?" tanya Rianti bertubi-tubi. Tak sabar untuk menunggu jawaban dari sang anak.Rey menghela napasnya. Ia paling tak suka jika ibunya selalu berbicara tentang kakaknya. Mengelu-elukan dan memuji bak pria itu adalah anak tanpa cela. Alasan
Pesan masuk membuat Rianti mengalihkan perhatiannya dari Ruslan. Ia meraih ponsel yang berada di atas meja, mengusap layar dan membuka aplikasi pesan. Keningnya mengernyit saat mendapati pesan yang berisi, [Jika kau ingin tahu, selidiki dulu menantumu!]Sontak Rianti melemparkan ponselnya tapi beruntung, ponsel itu hanya berakhir di atas sofa. Pupilnya bergetar setelah ia membaca pesan teks tersebut, seolah dirinya ada yang mengawasi dirinya di rumah itu."Gak mungkin..." gumamnya lirih.Rianti menolehkan kepalanya ke segala penjuru, nyatanya tiada siapapun selain dirinya yang berdiri di depan sofa. Dengan tangan gemetar, Rianti meraih kembali ponselnya dan memeriksa kembali isi pesan tersebut. Nomor yang mengirim pun tidak terdeteksi karena disembunyikan oleh si pengirim. Tring! Pesan kembali masuk. [Jangan takut! Ikuti saja perintahku! Esok, ikuti kemana menantumu pergi!] Badan Rianti semakin menggigil setelah menerima pesan tersebut. Tubuhnya
Hampa dan kesepian begitu dirasakan Ruslan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Entah apa yang ia dapatkan dari berjuang untuk mendapatkan apa yang menjadi ambisi sang ayah. Yang jelas, dirinya telah kehilangan banyak hal karena itu.Belum mendapatkan apa yang menjadi tujuannya saja, hatinya sudah begitu terasa kosong. Membohongi diri sendiri bahwa ia nampak baik-baik saja. Bahkan saat ia diangkat menjadi direktur pun perasaannya masih hampa. Padahal, selangkah lagi tujuannya akan tercapai.Hatinya semakin pedih ketika ia tengah berdiri di ambang pintu ruang kerja milik Axel yang terbuka dan mendapati Sofia tersenyum manis kepada Axel dan berbincang penuh tawa dengan lelaki itu. Sedang Ruslan, ia hanya dapat menatap ke arah wanita yang pernah mengisi kesehariannya dari arah kejauhan. Wajah wanita itu berseri-seri dengan polesan makeup dan baju branded. Nampak cantik dan elegan. Berbanding terbalik ketika ia masih menjadi pendamping Ruslan.Enggan rasanya ia
Dalam beberapa hari, perlakuan Riana pada Sasha sudah terlihat begitu berbeda. Mode mute yang dilakukan Riana-bahkan ketika mereka sudah berada di apartemen pun membuat Sasha begitu gerah. Muak rasanya ia harus berada dalam satu atap yang mana penghuninya sama sekali enggan untuk diajak bicara. Terlebih, setiap Sasha ingin berbicara, Riana akan melengos tanpa melihat dirinya. Gosh! Sikap macam apa itu!Perbincangan yang ingin Sasha utarakan hanya perihal dirinya yang akan mundur dari perebutan Jimmy. Sedari awal ia tak menginginkan Jimmy, ia hanya tak suka Riana terlalu dekat dengannya karena takut berdampak buruk untuknya.Sasha tahu, Riana adalah gadis yang selalu ingin disanjung dan disayang. Berada dalam lingkup keluarga yang notabene kebanyakan pria, membuatnya percaya diri bahwa dia harus bisa mendapatkan hati seorang pria. Apalagi Jimmy merupakan ciri pria yang diidamkannya, sudah tentu Riana akan mudah terpikat akan pesona pria itu.Sebenarnya Sash
Hari-hari dijalani Sofia dengan damai, bahkan saat ia berada di ruang rapat sedang membersamai Axel pun tak terbesit dalam hatinya firasat tak enak. Namun, saat rapat usai dan ia sudah berada di tempat duduknya, mempunyai waktu untuk membuka ponsel. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal terlihat di layar pop up. Sofia mengetuk jari untuk membukanya. Tertulis sebuah kalimat singkat yang berisikan, 'Putrimu begitu menggemaskan.' Disertai dengan sebuah foto Luna dengan pria yang ia yakini adalah Hendra.Mata Sofia terbelalak, mulutnya menganga tak percaya, tangannya gemetar hingga ponselnya terjatuh dari genggaman. Axel langsung menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan sekretarisnya ketika ia keluar dari ruangannya. "Kamu gak apa-apa?"Pelan sekali Sofia menoleh ke arah Axel, kali ini mulutnya pun ikut bergetar ketika ia berucap, "P-pak, ada yang mengirimiku sebuah pesan, bacalah!" Sofia mengambil ponsel dan menyodorkannya pada Axel.Meskipun Axel tak mengetahui apa yang sebenarnya terj
Tanpa Axel dan Sofia sadari, rencana mereka yang lain berjalan dengan mulusnya, satu target sudah melenceng dari tujuan yang seharusnya.Panas api cemburu membakar hati Riana disaat ia terus menerus melihat Sasha yang terlihat dekat dengan Jimmy. Setelah Riana melihat mereka berdua duduk berhadapan di kantin tempo hari yang lalu, kini Riana melihat keduanya duduk satu meja lagi di tempat langganan Riana dan Sasha dulu.Tangan Riana mengepal di atas meja, ia duduk tak jauh dari tempat dua insan yang kini menjadi sorotannya. Kilatan amarah semakin terlihat jelas di netranya, kala dengan malu Sasha tersenyum sesudah Jimmy berbicara.'Sial! Sebenarnya apa yang mereka berdua katakan?'Telinga Riana tak mampu menangkap suara percakapan mereka. Ia kembali mengingat, pesan-pesan yang ia kirim ke Jimmy akhir-akhir ini selalu dibalas dengan singkat. Padahal sebelumnya, Jimmy selalu membalasnya dengan manis dan perhatian.Semua karena Sasha, pikir Riana.Dalam otaknya, ia segera menyusun strateg