Dalam beberapa hari, perlakuan Riana pada Sasha sudah terlihat begitu berbeda. Mode mute yang dilakukan Riana-bahkan ketika mereka sudah berada di apartemen pun membuat Sasha begitu gerah. Muak rasanya ia harus berada dalam satu atap yang mana penghuninya sama sekali enggan untuk diajak bicara. Terlebih, setiap Sasha ingin berbicara, Riana akan melengos tanpa melihat dirinya. Gosh! Sikap macam apa itu!
Perbincangan yang ingin Sasha utarakan hanya perihal dirinya yang akan mundur dari perebutan Jimmy. Sedari awal ia tak menginginkan Jimmy, ia hanya tak suka Riana terlalu dekat dengannya karena takut berdampak buruk untuknya.Sasha tahu, Riana adalah gadis yang selalu ingin disanjung dan disayang. Berada dalam lingkup keluarga yang notabene kebanyakan pria, membuatnya percaya diri bahwa dia harus bisa mendapatkan hati seorang pria. Apalagi Jimmy merupakan ciri pria yang diidamkannya, sudah tentu Riana akan mudah terpikat akan pesona pria itu.Sebenarnya SashHari-hari dijalani Sofia dengan damai, bahkan saat ia berada di ruang rapat sedang membersamai Axel pun tak terbesit dalam hatinya firasat tak enak. Namun, saat rapat usai dan ia sudah berada di tempat duduknya, mempunyai waktu untuk membuka ponsel. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal terlihat di layar pop up. Sofia mengetuk jari untuk membukanya. Tertulis sebuah kalimat singkat yang berisikan, 'Putrimu begitu menggemaskan.' Disertai dengan sebuah foto Luna dengan pria yang ia yakini adalah Hendra.Mata Sofia terbelalak, mulutnya menganga tak percaya, tangannya gemetar hingga ponselnya terjatuh dari genggaman. Axel langsung menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan sekretarisnya ketika ia keluar dari ruangannya. "Kamu gak apa-apa?"Pelan sekali Sofia menoleh ke arah Axel, kali ini mulutnya pun ikut bergetar ketika ia berucap, "P-pak, ada yang mengirimiku sebuah pesan, bacalah!" Sofia mengambil ponsel dan menyodorkannya pada Axel.Meskipun Axel tak mengetahui apa yang sebenarnya terj
Tanpa Axel dan Sofia sadari, rencana mereka yang lain berjalan dengan mulusnya, satu target sudah melenceng dari tujuan yang seharusnya.Panas api cemburu membakar hati Riana disaat ia terus menerus melihat Sasha yang terlihat dekat dengan Jimmy. Setelah Riana melihat mereka berdua duduk berhadapan di kantin tempo hari yang lalu, kini Riana melihat keduanya duduk satu meja lagi di tempat langganan Riana dan Sasha dulu.Tangan Riana mengepal di atas meja, ia duduk tak jauh dari tempat dua insan yang kini menjadi sorotannya. Kilatan amarah semakin terlihat jelas di netranya, kala dengan malu Sasha tersenyum sesudah Jimmy berbicara.'Sial! Sebenarnya apa yang mereka berdua katakan?'Telinga Riana tak mampu menangkap suara percakapan mereka. Ia kembali mengingat, pesan-pesan yang ia kirim ke Jimmy akhir-akhir ini selalu dibalas dengan singkat. Padahal sebelumnya, Jimmy selalu membalasnya dengan manis dan perhatian.Semua karena Sasha, pikir Riana.Dalam otaknya, ia segera menyusun strateg
Rianti mempercepat langkahnya. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk memenuhi rasa penasarannya. Jantungnya berdebar keras kala matanya sudah menangkap sosok yang tadi dicarinya itu, masih mengenakan gaun seksi dengan percaya diri.Sesekali wajah cantik itu tersenyum, semakin menambah kesan glamor dalam dirinya. Dulu, hal itu yang menjadikan Rianti kagum. Luar biasa sekali putranya karena bisa mendapatkan wanita secantik Stephanie. Tapi, bukan hanya itu yang menjadi perhatian Rianti saat ini. Sosok pria yang berada di samping Stephanie lah yang semakin membuatnya tercengang.Stephanie menggandeng lengan pria itu dengan eratnya, tersenyum, dan memberikan tatapan mesra layaknya pada sang kekasih. "Hendra..." lirih Rianti.'Ya Tuhan, apakah mereka benar-benar berbuat hal yang di luar nalar? Di tempat ini?' pikirnya dalam hati. Meskipun tubuh Rianti sedikit menggigil karena memikirkan teori menjijikkan yang terus membayangi benaknya, dia tetap harus meneruskan langkah untuk membuntuti
Sofia sangat menyadari tentang perubahan ekspresi dari Ruslan, namun dia tidak peduli. Dia terus melempar senyum kepada Axel, hingga adegan itu berakhir dengan Luna yang merengek pada papanya untuk segera masuk ke mobil. "Lebih baik kamu segera bawa Luna untuk bermain," ujar Sofia. Lebih tepatnya mengusir secara halus. Ruslan hanya mengangguk pasrah, dibanding harus melihat adegan yang memuakkan lagi lebih baik ia bersegera memasuki mobil dan segera melajukan mobilnya menjauh dari Sofia dan Axel.Kekhawatiran jelas nampak dari wajah Sofia. Dia terus menatap mobil Ruslan yang sudah menjauh dari pandangannya. Bagaimanapun, sejujurnya sulit untuk membiarkan putrinya berdua saja dengan mantan suaminya itu. Telapak tangan besar milik Axel menepuk pelan bahu kanan Sofia untuk menenangkannya. "Tenanglah, aku sudah mengutus orang untuk mengawasi gerak-geriknya." Sudah jauh-jauh hari ia mempersiapkan semuanya, termasuk keamanan yang ketat untuk Luna.Sofia menoleh, tersenyum kaku pada Axel.
Tangan putih nan mulus milik Stephanie melingkar erat di pinggang Hendra yang tengah menghisap puntung rokok dengan santainya. Mata sipit milik Hendra masih fokus menatap pemandangan bawah dari jendela hotel. "Apa papa udah pastikan si tua bangka itu tak sadarkan diri di rumah sakit?" tanya Stephanie dengan lembut."Hmm." Enggan rasanya Hendra membahas persoalan Rianti. Jujur saja, ia pun tak menyangka jika ia harus menyingkirkan wanita yang pernah dicintainya itu dengan kedua tangannya sendiri. Jika saja Rianti tak ikut campur dalam urusan pribadinya, mungkin wanita itu akan hidup baik-baik saja sampai detik ini.Stephanie melepas pelukannya. "Tapi, kenapa papa tidak membuatnya kehilangan nyawa sekalian?" "Rencana kita akan berantakan jika sampai membunuhnya."Helaan napas keluar dari bibir Stephanie. "Tua bangka itu akan membeberkan semuanya ke Ruslan, pa. Dia akan membuat boneka kita berpaling dan menjadi musuh, bukankah justru hal itu yang membuat rencana kita akan jatuh?""Tena
"Apa? Ibu Ruslan sedang kritis di rumah sakit?" teriak Axel ketika tengah menelepon salah satu rekannya yang ada di Jakarta. Saat ini ia sudah selesai mengikuti seminar dan bergegas menuju ke restauran untuk dinner bersama Sofia. "Oke, baiklah. Kabarkan aku berita selanjutnya."Axel menutup panggilan, beralih pada Sofia yang sedari tadi menatapnya bertanya-tanya. "Ibu Ruslan sedang kritis dan dirawat di rumah sakit.""Apa? Bagaimana bisa? bukankah sebelumnya dia masih sehat-sehat saja?" "Itulah yang membuatku terkejut, laporan dari rekanku sementara, dia ditusuk oleh orang yang tak dikenal ketika keluar dari hotel.""Di tusuk? Memangnya, ada urusan apa dia sampai pergi ke hotel?""Bukankah kamu sudah membuatnya curiga terhadap perilaku Stephanie? Aku yakin dia sedang membuntuti Hendra dan Stephanie ke hotel, karena mereka berdua juga terlihat memesan salah satu kamar di hotel tersebut.""Apakah Hendra yang melakukannya?" tebak Sofia. Dia berpikir, hal itu pasti bukanlah suatu yang k
Bau rumah sakit yang khas mulai merasuk ke lubang hidung Riana ketika ia melangkahkan kakinya menuju kamar ICU tempat Rianti dirawat. Ia segera memakai maskernya ketika bau khas yang tak ia sukai itu mulai membuat dadanya sesak. Ia menatap lurus ke arah depan, hatinya tak begitu perih ketika beberapa saat yang lalu ia mendengar kabar ibunya yang sedang kritis di rumah sakit. "Hah!" Riana meraup udara yang terperangkap di dalam masker dengan buasnya. Rasa sakitnya kini masih dihuni oleh Sasha yang ia anggap sudah mengkhianatinya.Matanya mulai berembun, langkahnya melambat. Fokusnya hanya mengingat tentang kejadian terakhir ketika bertengkar dengan Sasha. Belum pernah persahabatan mereka ternoda karena kisah cinta sebelumnya. Mendadak sekelebat memori mulai bermunculan dalam otaknya. Dulu Sasha selalu dikelilingi oleh para pria. Bukan hanya karena parasnya yang cantik, namun juga karena sifat tomboy yang justru membuat para lelaki terpikat untuk menaklukkannya.Sedang Riana? Ia meman
Dada Ruslan terasa begitu nyeri ketika mendapati sang ibu terbaring lemah di atas ranjang pasien. Sungguh, ia tidak sanggup untuk berpisah jauh dari wanita yang sudah melahirkannya itu. Pikirannya semakin melanglang jauh, entah apa yang akan terjadi jika Rianti pergi meninggalkan dirinya selamanya."Ibu, maaf Ruslan baru datang," ujarnya lirih ketika mendekatkan wajahnya di telinga Rianti. Tangan Ruslan menggenggam erat tangan Rianti yang berkeriput, mengelusnya dan menciumnya pelan. Dia terus menatap sosok ibunya yang lemah, mengabaikan kehadiran dua adik yang berdiri di sebrangnya tengah menatap Ruslan dengan wajah datar.Reynald dan Riana memilih diam, enggan menanggapi atau menimbrung dalam kesedihan yang dialami kakaknya. Mereka tak biasa berakrab ria dengan Ruslan. "Apa polisi sudah mengungkapkan siapa pelakunya?" tanya Ruslan pada kedua adiknya. Ia masih tak dapat mencerna kejadian apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya."Belum.""Sial!" umpat Ruslan.Ruslan meraup wajahnya