Ruslan mencoba kembali memanggil nomor si pemanggil. Namun nihil, nomor tersebut sudah tidak aktif. Ia mengacak rambutnya frustasi, apakah ia sebodoh itu? Hingga ia mengetahui semua kejadian ini dari orang lain?Apa yang sebenarnya terjadi?***Silau matahari yang sedikit menyembul di balik gorden jendela mulai mengganggu ketenangan Sofia yang sedang mengarungi mimpi dalam lelapnya. Perlahan ia mulai menggeliatkan tubuh dan membuka matanya dengan perlahan.Hal pertama yang ia tatap adalah dinding putih polos tanpa hiasan apapun. Meskipun matanya sedikit terasa berat untuk terbuka, namun Sofia masih terus berusaha menatap sekeliling dan akhirnya dia menemukan jam dinding ketika menolehkan kepalanya ke arah kanan. "Jam 11," gumamnya.Kepalanya mendadak berdenyut nyeri, membuatnya meringis kesakitan. Sofia masih belum mengingat persis apa yang terjadi semalam, hingga akhirnya ia terperanjat bangun ketika otaknya sudah mampu memproses ingatan dengan baik.Deretan ingatan tentang semalam
"Rey...""Ya?""Ini semua ulah Hendra.""Apa?""Ibu mengalami ini semua karena Hendra, Rey!" Riana mengulangi ucapannya dengan sedikit lantang.Reynald menatap adiknya tak percaya sekaligus kesal. "Jangan becanda, Ri! Aku tidak sedang mood untuk diajak becanda!""Aku tidak becanda, Rey!" Mata Riana memerah dengan air mata yang masih menetes."Kalau gitu untuk apa Hendra mencelakakan ibu? Ibu kan berada di pihaknya, jadi tidak mungkin dia pelakunya!" jawab Reynald masih kekeh tak percaya. Riana mengusap air matanya lalu memperhatikan sekitar untuk memastikan tidak ada siapapun selain mereka. "Stephanie yang memberitahuku, dia mengetahui apapun yang kita lakukan. Kita ini selalu diawasi oleh mereka, Rey! Baru saja dia datang untuk mengancamku! Dia ingin aku untuk tetap fokus menjalankan rencana mereka!""Mereka? Siapa yang kamu maksud dengan mereka? Lagipula berani-beraninya wanita jalang itu mengancammu! Akan kuberi dia pelajaran!" Reynald kesal. Ia memang membenci setiap wanita yang
Jalanan begitu lengang ketika Ruslan mengemudikan mobilnya dengan cepat, membuatnya sampai di rumah Sofia 10 menit lebih cepat dari biasanya. Masalah lain yang harus ia selesaikan adalah menjauhkan Sofia dan kedua anaknya dari musuh terbesarnya, Axel. Sungguh hatinya tak rela jika orang yang ia cintai akan jatuh ke pelukan pria itu!Ruslan tersenyum miris. 'Cinta?' Apakah akhirnya ia menyadari bahwa dirinya mencintai Sofia?Entahlah."Papa!" Suara nyaring dari malaikat kecil yang menyambut membuat hatinya yang suntuk menjadi sejuk."Halo Luna sayang!" Ruslan menyambut Luna yang berlarian ke arahnya dengan menggendong dan memeluk erat.Dari ekor mata Ruslan juga terlihat ada malaikat kecil lain yang berdiri dari kejauhan dengan mata yang enggan memandangnya. "Lucas," gumam Ruslan."Untuk apa kamu kesini?" Sofia mendekati Ruslan dengan wajah enggan. Penampilannya kini selalu lebih baik dengan blous motif bunga dipadu padankan dengan celana jins navy, bahkan kini ia selalu memoles makeup
Disisi lain, hawa malam yang dingin semakin membuat tubuh Sasha gemetar hebat. Ia meringkuk di atas sofa dan sesekali menggigit kuku jarinya untuk meredakan keresahan hati yang tengah dirasakannya. Layar ponselnya kembali menyala, membuat wajah Sasha kembali memucat, keringat dingin mulai membasahi keningnya.'Oh Tuhan! Salah apa aku hingga harus menjalani ini semua?' jeritnya dalam hati.Layar ponsel kembali meredup ketika diabaikan oleh Sasha, membuatnya sedikit lega. Namun itu hanya kelegaan sementara karena sedetik kemudian sebuah pesan singkat masuk, membuat Sasha mau tak mau mengambil ponsel dengan tangan yang bergetar.[Lakukan perintahku malam ini juga atau adikmu yang akan menanggung semuanya!]Netra Sasha membulat dan tubuhnya semakin menggigil, sontak ia melempar ponsel ke arah tembok. "Aahh!" Sasha menjerit frustasi dan menangis tak karuan.Hatinya remuk kala ia terlambat menyadari bahwa kesalahan terbesarnya adalah tergiur akan uang yang ditawarkan oleh Hendra sebagai m
Susah payah Jimmy membopong tubuh Sasha yang kesadarannya hanya tinggal separuh. Setelah membawa keluar dari club, Jimmy langsung membawa Sasha untuk pulang ke rumahnya sama seperti kejadian sebelumnya. Tidak ada maksud tertentu, Jimmy hanya merasa iba pada Sasha yang sesekali masih terisak dalam separuh sadarnya. Terlebih Jimmy berpikir tidak mungkin meninggalkan Sasha untuk pulang di rumah sendirian tanpa ada seseorang di sisinya. Jimmy mengetahui apapun tentang Sasha karena hal itu sudah menjadi bagian tugas dari Axel, maka dari itu Jimmy juga mengetahui tentang Riana yang sudah pergi dari sisi Sasha. Permasalahan apa yang menimpanya hingga membuatnya menangis terisak? Bahkan Sasha memilih pergi ke club dan memanggil dirinya untuk menemaninya. Apakah karena kepergian Riana?Benak Jimmy terus bertanya-tanya tentang keadaan Sasha yang terisak dan enggan untuk bercerita. Saat Jimmy sudah sampai, suasana lingkup apartemen begitu tenang dan hening seperti malam-malam sebelumnya. Disa
Napas Sasha tercekat kala ia menatap jenazah adiknya yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit dengan wajah yang tertutup oleh selimut. Dengan langkah yang berat ia mulai mendekat secara perlahan, matanya mulai mengembun kala tangannya yang bergetar berhasil menyingkap selimut yang menutupi wajah ayu dari sang adik. Air mata sudah tak dapat dibendung, dadanya terasa sesak dan tangisnya mulai pecah. Melihat mata yang tertutup itu mengingatkan Sasha akan mata bening yang selalu terpancar ketika melihat kedatangannya. Bibir tipis yang kini memucat itu mengingatkannya akan senyuman manis ketika menyambutnya.Kemarin sebelum Sasha mabuk, ia masih bisa menghubungi kabar sang adik. Namun setelah dia susah menghubungi adiknya, tiba-tiba dia mendapat kabar bahwa adiknya meninggal akibat tabrak lari dari orang yang tak bertanggung jawab. Segera Sasha bergegas ke bandara, ia memilih menaiki pesawat agar cepat sampai menuju Surabaya, tempat adiknya berada.Dan disinilah dia sekarang, berdir
Voice note dari Sasha terus berulang kali diputar oleh Riana setelah ia pulang dari rumah duka. Suara itu terdengar nyaring di dalam ruangan yang hening. Tadi pagi dia segera bergegas pulang ke Surabaya setelah mendengar sahabatnya itu meninggal karena bunuh diri. Langkahnya begitu berat untuk menemui kawannya yang sudah terbaring kaku menjadi mayat. Rasa sesak di dada membuatnya berulang kali mengeluarkan air mata. Semuanya terjadi begitu cepat. Ibunya terbaring koma dan kini sahabatnya meninggal setelah menenggak kopi yang dicampur dengan racun sianida.Riana menatap langit luar melalui jendela kamarnya. Dalam benaknya mempertanyakan pada Tuhan tentang ketidakadilan dalam hidupnya. Mengapa hidupnya penuh rintangan dan cobaan, tidak seperti hidup orang lain yang mulus seperti jalan tol tanpa ada halangan.'Kenapa hidup ini begitu tidak adil untukku?' keluhnya dalam hati.Menurut yang Riana dengar, Sasha tak meninggalkan pesan apapun selain voice note yang dikirimkan untuk Riana, sete
Biji mata Ruslan membulat sempurna saat ia mendapati Stephanie sedang duduk bergelayut manja di sebelah papanya. Meskipun Ruslan tahu bahwa hubungan mereka adalah orangtua dan anak angkat, namun tetap hal yang asing baginya melihat kedekatan keduanya yang tidak biasa."Oh, maaf aku tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu." Ruslan menatap lurus ke arah Stephanie yang terlihat kaget sekaligus bingung dengan situasi ini. Wanita itu terlihat menyisir rambut panjangnya dengan tangan sambil menatap ke arah lain. hal yang sangat Ruslan hapal ketika wanita itu sedang gugup."Tidak apa, apa yang kamu inginkan?" Hendra berusaha bersikap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Hendra kembali menghisap puntung rokoknya sembari menatap datar ke arah Ruslan. Ia tak ingin putranya itu mencurigai hubungannya dengan Stephanie, masih belum waktunya bagi Ruslan untuk tahu. Suatu saat Ruslan akan tahu, tapi itu nanti setelah tujuannya memiliki perusahaan keluarga Axel tercapai.Ruslan menggeser pandang