Begitu berada di dalam, Revin langsung mengedarkan pandangannya. "Di mana Lisa?" tanya Revin tanpa basa-basi pada Aisyah.
"Mbak Lisa ada di atas, Mas," jawab Aisyah apa adanya. Revin langsung berbalik dan naik ke lantai atas.
Di lantai atas, dia tidak mendapati Lisa. "Lisa!" panggilnya geram. Dia berjalan menuju kamar Lisa. Dan ceklek! Revin membuka daun pintu tetapi pintunya terkunci. Rahang Revin mengeras. Otaknya sudah kotor membayang kan Lisa sedang berduaan dengan laki-laki di kamar itu.
"LISAA!" teriaknya. Dorr! Dorr! Dor! Revin menggedor pintu dengan kasar.
"Tunggu sebentar, Kak!" sahut Lisa.
"Buka pintunya, cepat!" Dorr! Dorr! Dorr! "LISAAA!"
Revin sungguh tidak sabar! Lisa pun terburu-buru menuju pintu. Dia mengunci pintu hanya ingin memperbaiki dandanannya sekejap. Dia tidak ingin terlihat lusuh dan pucat di hadapan Revin. Walaupun sudah
Ayo, ayo, ayo! Semangat Vote dong, Readers, biar author besok semangat update lagi! Selamat Membaca! Dan Terima kasih! ❤️ (◠‿◕)(。•̀ᴗ-)✧
Begitu Lisa berucap seperti itu, Revin langsung mencengkeram kasar tangan Lisa."Jadi kau mencoba membawa laki-laki ke rumah karena aku membawa Cherrine?" tanyanya dengan gigi merapat. Lisa meringis pelan hingga Revin segera tersadar dan melonggarkan cengkeramannya.Lisa menelan ludahnya. "Apa maksud kakak?""Kau membawa laki-laki bernama Damian ke rumah!" bentak Revin membuat Lisa semakin menciut ketakutan. Bahkan tubuhnya yang sudah gemetaran semakin bergetar. Dia takut dipukul Revin. Revin sama sekali tidak menyadari ketakutan Lisa. Dia sedang dipenuhi emosi."Damian itu adikku. Kami dua bersaudara," jawab Lisa cepat dengan suara parau. Seketika cengkeraman di tangan Lisa lepas."Kau punya adik?" tanyanya tak percaya dengan kening mengerut. Lisa mengangguk.Revin diam sejenak kemudian mendengkus. "Aku akan segera tahu kau berbohong atau tidak soal itu."
Lisa menghela napas pelan, berupaya menekan rasa sesak di dadanya. "Alasanku setuju untuk bercerai karena aku merasa bersalah pada kakak.. Aku akui, aku memang sengaja tidak meminum pil kontrasepsi agar aku bisa mengandung anak kakak. Aku juga berbohong ketika aku mengatakan bahwa aku tidak sadar ketika kakak menggauliku malam itu karena meminum pil obat tidur. Apa yang kakak tuduhkan padaku memang benar adanya. Aku memang menjebak Kakak dalam pernikahan ini." Air mata Lisa mengalir ketika mengakui dosa yang tidak ia lakuan itu. Lisa benar-benar sudah lelah. Jika ini bisa membuat Revin berhenti menekannya dan juga bisa mengeluarkan Cherrine dari rumah, Lisa rasa itu sudah cukup. Revin tertawa mendengar ucapan Lisa. Dia puas sekaligus merasa jengkel. "Benar-benar kau itu perempuan yang tidak tahu malu! Akhirnya kau mengakuinya juga. Sungguh luar biasa! Apa semua ucapan yang kulontarkan selama ini padamu, benar-benar membuatmu tertekan? Baguslah kalau begitu. Mu
Revin mengawasi Lisa yang baru saja mengangguk. Benar-benar perempuan luar biasa, dihina seperti itu malah santai saja. Memang perempuan yang tidak punya harga diri! Revin mengutukinya di dalam hati sementara ia tidak mengetahui bahwa mata Lisa sudah sedari tadi kosong."Apa tadi kau sempat mengganti pakaianmu? Kalau belum, ganti pakaianmu sekarang. Ini sudah malam. Kita harus pulang."Lisa kembali mengangguk pelan. Dia mengambil pakaiannya dari lemari dan langsung membuka ritsleting dress yang masih ia kenakan di hadapan Revin. Gaunnya jatuh ke lantai memampangkan tubuh mulusnya yang hanya mengenakan pakaian dalam.Mulut Revin tanpa sadar terbuka melihatnya. Bukan karena ia terangsang. Tetapi ia terkejut. Revin mendapati bahwa Lisa telah kehilangan berat badannya cukup banyak. Ia mengerutkan keningnya. Tubuh Lisa mengecil dan kurus. Apa ini karena pengaruh kehamilannya? Apa karena kehamilannya cukup berat sampai-sampai
"Di mana Lisa?" Revin bertanya pada Cherrine. "Mbak Lisa masuk ke dalam kamarnya, Mas. Katanya dia sudah makan," jawab Cherrine ringan. "Apa kau yakin dia mengatakan sudah makan?" Revin bertanya dengan nada serius. "Iya, dia bilang sudah makan malam, Mas," jawab Cherrine berbohong. "Mungkin makan malam bersama Damian. Entahlah, mudah-mudahan sih bukan bersama lelaki itu." 'Dasar anaconda.' Revin mengumpat dalam hati, ia tahu Cherrine mencoba memprovokasinya. Tetapi Revin belum ingin menunjukkan kebenciannya pada Cherrine. Keberadaan Cherrine lumayan menguntungkan dirinya. Bahkan berkat keberadaan Cherrine, urusan cerai dengan Lisa di masa depan akan lancar jaya. Dan walaupun Cherrine tidak akan tinggal lagi di rumahnya mulai besok, tetapi Revin merasa bahwa nantinya mungkin saja Cherrine masih akan bermanfaat untuknya di masa depan ketika menghadapi Lisa. Itu sebabnya ia masih menjaga sikapny
"Maka dari itu, Mas. Kenapa Mas malah menyuruh saya berhenti? Nanti Mas tidak ada yang merawat." Cherrine berwajah sendu menanggapi ucapan Revin tadi.Revin tidak peduli pada apa yang dikatakan Cherrine. Tanpa menjawab, Revin langsung memulai sarapan. Dia merasa tidak nyaman selama sarapan, tetapi tidak mungkin juga ia mengetuk kamar Lisa untuk mengajaknya sarapan. Tentu aneh, bukan? Revin memutuskan untuk tidak peduli, dan segera menghabiskan sarapan itu dan berangkat bekerja.Di kamar, Lisa hanya diam saja mendengar apa yang dikatakan Revin barusan. Padahal kapan dia seperti itu? Dia selalu bangun pagi menyiapkan sarapan untuk Revin, kecuali satu kali saat dia dirawat di rumah sakit satu malam itu.Begitu Revin pergi, Bibi Ema datang ke rumah sambil membawa tas besarnya berisi pakaian. Revin sudah menghubungi yayasan agar Ema bekerja penuh di rumah itu. Itu artinya dia akan tinggal di rumah itu dan mendapat gaji yang l
"Tuan Revin, Nyonya Lisa sedang sarapan." Pelayan Ema mengirim foto Lisa yang sedang sarapan. Sebelumnya Revinlah yang memberi tahu pada Ema bahwa Nyonya Lisa belum sarapan melalui pesan singkat. "Baguslah. Perhatikan dia," balas Revin. "Baik, Tuan." Membaca pesan terakhir dari pelayan Ema. Revin meletakkan ponselnya pelan di atas meja kerja. "Sungguh perempuan yang merepotkan," keluhnya dengan kening mengerut, tanpa ia sadari hatinya menjadi tenang. Pengakuan Lisa akan dosa-dosanya memang membuat Revin sedikit melunak. Apalagi penyesalan itu tampak terbukti dengan kerelaan Lisa untuk bercerai tanpa menuntut apapun. *** Suara pintu diketuk, dan Alex langsung memasuki ruangan putranya. "Ada apa kau mencari Papa?" Alex langsung berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya, dan duduk di sana. &
Saat ini, Lisa berada di kafe lantai atas. Terdengar langkah Aisyah menaiki tangga dan menghampiri Lisa yang sedang memeriksa data keuangan kafe."Mbak Lisa memanggil saya?" tanya Aisyah."Iya. Duduk dulu, Aisyah." Aisyah langsung duduk."Pendapatan kafe kita meningkat drastis. Kalian pasti sangat bekerja keras. Saya akan menambah bonus kalian bulan ini, terutama untukmu. Apa ada keluhan dari semua karyawan?" tanya Lisa penuh perhatian."Terima kasih, Mbak. Sejauh ini belum ada keluhan. Kami masih bisa beristirahat tepat waktu secara bergantian." Aisyah berucap bersemangat."Syukurlah. Besok pagi saya berencana mengunjungi panti asuhan Pelangi Anak. Kamu temani saya ya!""Baik, Mbak."Lisa pun meminta pegawainya untuk menyiapkan segala sesuatu untuk besok. Mulai dari makanan, peralatan sekolah, pakaian, mainan, dan amplop-amplop berisi ua
"Bahkan lebih baik kau tidak usah sama sekali memakai make-up jika sedang di rumah." Revin kembali berucap. Bagi Revin tanpa make-up pun Lisa sebenarnya sudah cantik. Bahkan tampak lebih muda 4 tahun dan terlihat polos sekali melebihi Erika. Revin sudah pernah melihat sendiri wajah Lisa tanpa make-up. "Begitu kutahu kalau aku sedang hamil, aku langsung berkonsultasi pada dokter tentang merk make-up, juga krim wajah yang aman untuk kupakai, Kak." Lisa menjelaskan dengan suara rendah. "Itu tidak pasti. Bisa saja doktermu itu bodoh. Setahuku tidak baik memakai make-up ke wajah saat hamil apalagi makeup yang tebal!" Lisa menelan ludahnya. Tidak tahu siapa yang benar di antara mereka. "Baiklah, aku akan memakai riasan yang tipis." Lisa memutuskan untuk mengalah. Biarlah dia terlihat semakin buruk rupa, toh kenyataannya rasa jijik Revin padanya tidak bisa diubah. Revin menghela napas. "Terserah pad