Dukung karya author dengan memberi Vote yuk! Terima kasih! Happy Reading! ^^
Mata Revin menyipit melihat Lisa seketika menyembunyikan ponselnya."Aku tahu kau barusan video call. Siapa itu? Kenapa kau langsung menyembunyikan ponselmu?" tanyanya dengan nada curiga. Tadi Revin sempat melihat Lisa tersenyum lembut saat video call."I..ini.."Revin langsung merampas ponsel Lisa tanpa menunggu jawaban. Tebakan Revin, itu adalah pria, mungkin saja Nick. Itu sebabnya keningnya langsung mengerut curiga.Lisa tampak gugup saat Revin memeriksa ponselnya dengan raut serius dan mata tajam."Dokter Sinta?" ucapnya membaca riwayat panggilan video. Revin mengangkat satu alis sambil menatap Lisa dengan tanda tanya. Dia agak heran, kenapa Lisa sampai segugup itu hanya karena ia mendapatinya sedang melakukan panggilan video dengan seorang dokter?"Dokter Sinta, apa dia dokter kandunganmu?" tanya Revin menebak."I-iya, Kak," jawab Lisa berbohong karena Dokter Sinta adalah psikiater.Sedari tadi Lisa tidak membalas pesan terakhir Dokter Sinta, dokter itu menjadi agak khawatir, itu
Lisa terpekik saat tiba-tiba tubuhnya terangkat dan sudah berada di pangkuan Revin. Ia terkejut akan posisinya dan langsung mendongak menatap Revin."Yang mau memukulmu siapa?" tanya Revin."Tadi Kakak bilang mau memukulku," lirih Lisa.Revin mendengkus pelan. "Sikapmu tadi seolah aku sudah terbiasa memukulmu. Jawab aku, apa aku pernah memukulmu? Tidak pernah, kan? Kalaupun kau salah mendengar, seharusnya jangan bersikap berlebihan."Lisa diam. Revin tidak ingat pernah menampar Lisa di malam pernikahan mereka. Saat itu Revin mabuk, tetapi Lisa mengingatnya."Kau makan cukup baik tadi. Kau harus makan seperti itu seterusnya supaya janinmu sehat."Lisa mengangguk. Dia merasa nyaman berada di pangkuan Revin seperti bayi. Mata Revin melirik pada bibir Lisa yang sedikit terbuka."Kau juga harus ingat bahwa tidak ada kucing yang menolak ikan asin." Setelah berkata seperti itu, Revin mengecup bibir Lisa, mata Lisa melebar merasakan kecupan singkat itu."Kau dingin, aku akan menghangatkanmu. K
Ben segera tersadar dan matanya beralih pada Revin yang sedang menatapnya tajam."Suaramu keras sekali, Revin. Ada apa?" tanya Alex agak kesal karena terkejut. Renata dan Lisa juga menatap Revin dengan wajah bingung."Tanyakan saja pada Om Ben," jawab Revin dengan nada dingin."Bukankah tadi kalian baik-baik saja? Ada apa tiba-tiba, Ben?" Alex menatap Ben dengan wajah heran.Ben tahu apa yang membuat Revin marah, tapi tadi itu dia juga tidak sadar melakukannya. Lalu dengan nada tenang dia berkata, "Erwin, kau sepertinya salah paham.""Salah paham atau tidak, yang pasti aku tidak suka kalau Om menatap istriku seperti itu, apa pun alasannya!" lugas Revin."Apa?" Renata terkejut masih bercampur dengan rasa bingung. Begitu pula Alex dan Lisa.Ben mendesah pelan. Dia sendiri bingung kenapa tanpa sadar ia terus-terusan menatap Lisa hingga lagi-lagi tertangkap oleh Revin. "Apa mungkin aku tertarik pada Lisa?" ucapnya dalam hati. "Hah...Mana mungkin?" tolaknya dengan cepat.Alex membuka suara.
"Aku tidak akan ikut campur, Pa. Asalkan Liliana itu adalah perempuan yang baik."Hati Lisa sangat berat tapi dia tulus mengucapkannya. Perempuan baik akan menjadi ibu yang tepat untuk bayinya nanti.'Kalau dipikir-pikir justru bagus jika mereka menjodohkan Kak Revin sekarang. Jadi aku bisa sempat menilai sifat calon ibu untuk bayiku nanti.' Lisa mencoba menghibur hatinya sendiri.Di lantai atas saat Lisa hendak memasuki kamar, Ben menahannya."Lisa!" serunya pelan.Lisa menoleh. "Ada apa, Om?" tanya Lisa sedikit tak tenang."Ada yang ingin kubicarakan padamu," ucap Ben."Maaf, Om kan tahu sendiri, Kak Revin melarang kita mengobrol berdua. Lebih baik bicara saat ada Kak Revin.""Tidak, jika Om bicara saat ada dia, dia akan berpikir kalau Om tidak percaya padanya. Om hanya ingin tahu apakah yang dikatakan Erwin itu benar atau tidak, cerita tentangmu.""Untuk apa Om tahu? Apa dengan bercerita Om akan lebih percaya padaku daripada Kak Revin?"Ben diam."Tidak, kan?" ucap Lisa lagi."Meman
Ben telah kehilangan satu kesempatan untuk memiliki seorang anak yang selama ini ia impikan dan itu semua karena dia adalah seorang bajingan! Pemikiran itu yang membuat Ben merasa tertusuk."Lisa...," ucapnya tapi tidak tahu harus berkata apa. Ben lalu mengatupkan mulutnya dengan wajah penyesalan."Apa Om percaya yang kukatakan?" tanya Lisa melihat Ben sepertinya memang bersimpati padanya."Aku percaya padamu," jawab Ben masih dengan raut yang sama. Meyakini fakta bahwa Lisa pernah mengandung anaknya, Ben memutuskan untuk tidak memasang jarak. Mulai di sini, dia tidak lagi menggunakan kata om untuk menyebut dirinya sendiri."Walaupun aku tidak memiliki bukti?" tanya Lisa dengan mata melebar."Iya, walaupun begitu.""Kenapa?" Lisa merasa tak percaya akan apa yang ia dengar. Bahkan saat Damian berkata bahwa ia percaya padanya dan membuatnya langsung tersentuh, tetap saja Lisa tidak bisa percaya sepenuhnya. Lisa berpikir mungkin saja Damian berbicara manis dengan tujuan untuk mendapatkan
"Lili, nanti pulangnya dijemput sama Pak Mardi, ya?" ucap Nenek Salwa. Pak Mardi adalah salah satu pekerja di rumah nenek Salwa. "Iya, Nek!" jawab Lisa yang saat ini memakai baju seragam sekolah dasar, putih dan merah. Sudah seminggu Lisa bersekolah di kampung seperti permintaan neneknya. Entah Lisa betah atau tidak, neneknya berharap cucunya itu betah karena Nenek Salwa merasa kesepian di kampung. Tetapi Nenek Salwa juga tidak suka jika harus pindah ke ibu kota. Dia lebih suka tinggal di kampung, di rumahnya sendiri, rumah peninggalan suaminya. Lisa lalu mencium tangan neneknya, dan hendak turun dari mobil. "Eh, tunggu dulu, Sayang. Ini kok nggak dibawa?" Nenek Salwa memberi kotak berisi bermacam kue. "Oh iya lupa! Hehe!" "Nenek nggak mau Lili jajan sembarangan." "Iya, Nek," jawab Lisa. Setelahnya Lisa berjalan memasuki kelas. Semua anak di kelas Lisa, sangat ramah padanya. Itu karena Lisa paling cantik di kelas. Lisa merasa senang karena dia cepat punya banyak teman. Namun har
Revinlah yang saat ini berdiri di hadapannya. Walaupun Lisa mengenali suara Revin saat Revin memanggilnya tadi, tapi tetap saja dia terkejut mendapati Revin ada di depannya."Kak Revin? Kenapa Kakak cepat sekali pulang?""Ada barang yang ketinggalan," jawab Revin, langsung masuk ke dalam kamar."Oh! Kenapa kakak tidak suruh orang saja mengambilnya?" tanya Lisa sambil mengekori Revin."Aku tidak suka ada orang asing masuk ke dalam kamarku.""Kalau begitu, Kakak kan bisa suruh aku mengantarnya. Kakak nggak perlu capek-capek pulang ke rumah terus kembali lagi ke kantor," ucap Lisa dengan suara lembut.Revin membuka laci lalu mengambil flashdisk berisi data penting. Saat tanpa sengaja matanya melihat kunci lemari yang ia simpan berada di atas meja, dia langsung memungutnya dengan cepat lalu mengantonginya.Kemudian ia menoleh menatap Lisa. "Bagaimana aku bisa menyuruhmu? Kau mudah capek. Tadi malam saja kau langsung kelelahan padahal cuma sebentar."Lisa diam. "Apa tadi malam Kak Revin tid
"Halo, Damian?" sapa Lisa ketika mengangkat telepon."Kak Lisa," lirih Damian enggan.'Tumben Damian memanggilku kakak? Apa gara-gara peringatan papa waktu itu, ya?'"Ada apa?" sahut Lisa."Itu...um, tolong datang ke sekolahku sekarang. Kalau tidak, guru BK akan membuatku terus berdiri di ruang ini entah sampai kapan," ucap Damian tak bersemangat sambil melirik bapak guru yang sedang bersedekap memelototinya."Apa? Ulah apa lagi yang kau lakukan, Damian? Dan kenapa kau malah meneleponku? Bukankah harusnya kau menelepon mama atau papa?" Lisa tak habis pikir melihat tingkah Damian.Damian mendesah malas. "Aku mohon, Kak Lisa," ucapnya memelas. Sebenarnya tadi walaupun terpaksa, Damian sudah mencoba menghubungi Nafa, tetapi nomor Nafa tidak aktif. Saat Damian menelepon ke rumah, asisten rumah tangga mengatakan bahwa Nafa tidak sedang berada di rumah. Sedangkan menelepon Hendra sama sekali tidak ingin ia lakukan. Hendra bukan ayah kandungnya! Selain itu, Hendra pasti akan marah besar padan