Terima kasih atas dukungan Readers! 🙏🙏🙏
Suasana kafe cukup kacau, Aisyah sudah mencoba menghubungi Lisa berkali-kali tetapi hasilnya nihil. Lisa tidak mengangkatnya. Para karyawan dan pelanggan sedari tadi tampak cemas, tapi syukurlah sepertinya perkelahian sudah selesai."Dasar brengsek!" umpat Revin pada Nick yang sudah terkapar lemas di lantai."Ampun, Bang," lirih Nick takut-takut menatap Revin yang masih berdiri menjulang di dekatnya. Nick merasakan kepalanya semakin berkunang-kunang. Dia sungguh takut Revin akan menendang dan terus menyerangnya. Bisa-bisa dia mati. Lebih baik dia merendahkan dirinya demi keselamatan."Awas saja kalau kau tidak menjaga mulutmu itu berbicara tentang istriku! Aku bisa membuatmu lebih dari ini," ucap Revin sambil mengusap darah di sudut mulutnya yang pecah akibat balasan serangan Nick sebelumnya.Mata Nick melebar mendengar ucapan Revin. Ia mengangguk dan segera dibantu untuk duduk oleh dua karyawan kafe."Jauhi istriku. Jangan pernah kau mencoba kemari lagi!"Kening Nick tampak mengerut
Alis Evans menaik mendengarnya. "Kenapa dadamu bisa sakit? Bukankah kau jago berkelahi? Dengan siapa kau berkelahi?"Revin tidak menjawab, dia malah kembali memejamkan matanya."Revin!" panggil Evans. Melihat tidak ada respon, Evans sedikit khawatir. Dia membungkuk dan membuka kancing kemeja Revin. Dia ingin memeriksa dadanya. Apakah ada luka atau memar di sana. Evans sudah pernah mengalami koma karena berkelahi, waktu itu berkelahi dengan Danish, kakak laki-lakinya Erika karena kesalahpahaman. Jadi wajar jika Evans langsung memeriksa Revin."Tidak ada apa-apa di sini," gumam Evans."Kak Revin kenapa, Kak?" tanya Erika ingin tahu."Tidak apa-apa. Dia sepertinya tertidur. Lebih baik dia kuantar pulang saja.""Ya sudah kalau begitu, Kak," ucap Erika.Di waktu yang sama, Lisa masih berada di area kuburan. "Kenapa sudah malam?" gumamnya bingung. Dia pun memutuskan pergi ke kafe miliknya untuk makan malam. Keadaan kafe tampak baik-baik saja ketika dia datang."Mbak Lisa!" sambut beberapa ka
Melihat Revin, Aisyah sedikit bergidik, pasalnya kemarin itu Revin cukup menakutkan saat berkelahi. Dia pun segera pamit undur diri pada mereka."Ada apa?" tanya Lisa setenang mungkin tanpa menatap Revin yang sudah berdiri tegak di hadapannya.Kening Revin mengerut melihat sikap Lisa yang tampak santai saja, sementara dia tadi malam sudah seperti orang gila, sampai akhirnya berkelahi dan mabuk. Benar-benar bodoh! Di mata Revin, Lisa benar-benar sombong saat ini, mentang-mentang sudah ada Ben di sisinya. "Kau bertanya ada apa? Apa kau pikir kita tidak perlu berbicara sama sekali? Kita masih berstatus suami istri.""Kau sudah tahu semua kebusukanku. Apa lagi yang mau dibicarakan? Aku juga tidak berniat membela diri.""Oh begitu ya? Kau benar-benar wanita ular penipu yang luar biasa. Biar kau tahu saja, aku juga tidak sudi berlama-lama denganmu. Kedatanganku ke sini hanya ingin memberi tahumu secara langsung bahwa aku akan segera mengurus surat perceraian kita. Kuharap kau tidak bersembun
Hendra memucat saat Perusahaan Abimana tiba-tiba memutus kerja sama mereka secara sepihak. Dia pun segera menemui besannya itu di kantor utama Abimana secara langsung.Cukup lama Hendra menunggu hingga akhirnya dia diperbolehkan masuk untuk menemui Alex. Di ruang itu, selain Alex, ada Revin juga yang sedang duduk dengan tangan bersedekap sambil menatap remeh pada Hendra."Alex, apa yang terjadi? Kenapa kalian tiba-tiba memutus kerja sama kita secara sepihak begini? Apa saya ada berbuat kesalahan?" tanya Hendra menahan rasa kesal di dalam dada. Dia merasa tidak membuat kesalahan. Dia menjalankan peranannya dengan baik dalam kerja sama ini. Dan kerja sama ini cukup berhasil mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Jadi masalahnya ada di mana?"Kau pasti sudah tahu sendiri apa kesalahan kalian? Jangan berpura-pura bodoh!" sahut Revin.Hendra berpikir dengan kening mengerut. "Apa ini ada kaitannya dengan Lisa?" tanyanya menebak.Alex membuka suara. "Iya. Revin akan menceraikan Lisa
Hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungan. Lisa berangkat ke rumah sakit menggunakan taksi online. Semakin lama tubuhnya semakin lemah saja. Dia tidak berani menyetir sendiri."Bayi saya bagaimana, Dok? Apa dia baik-baik saja?" tanya Lisa dengan wajah cemas pada Dokter Inggrid saat ia melakukan USG. Dokter Inggrid menghela napas perlahan."Dia baik-baik saja. Jangan terlalu cemas, Bu Lisa."Lisa menghela napas lega. "Syukurlah..., terima kasih, Dokter. Jadi, bayi saya laki-laki atau perempuan, Dok?"Dokter Inggrid tersenyum lembut. "Bayinya perempuan."Lisa diam. Dengan rasa sedih dia mengusap perutnya perlahan. Bayinya perempuan... Lisa masih sangat mengingat ucapan Revin bahwa ia menginginkan anak laki-laki. Karena baginya mengawasi anak perempuan sungguh merepotkan."Saya menginginkan bayi laki-laki, Dok. Apa Dokter yakin kalau bayi saya perempuan?""Belum pasti juga, Bu Lisa. Tidak ada yang seratus persen. Kemungkinan besar bayinya perempuan. Tapi, zaman sekarang laki-laki atau
"Lisa, aku menunggumu sedari tadi. Bisakah kita bicara? Sebentar saja," ucap Ben dengan mimik serius."Sudah kukatakan berkali-kali, tidak ada yang perlu dibicarakan di antara kita. Tolong jangan ganggu aku. Aku lelah." Lisa langsung melangkah hendak meninggalkan Ben, tetapi Ben tiba-tiba berlutut membuat Lisa terkejut melihatnya. Beberapa pengunjung kafe langsung melirik pada mereka."K-kenapa kau tiba-tiba berlutut?" tanya Lisa heran dan merasa tidak nyaman."Aku minta maaf atas apa yang kau alami. Gara-gara aku, kau mengalami banyak kesulitan. Aku ingin menebus kesalahanku. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk bicara?"Lisa mengerutkan kening. "Bagaimana kau ingin menebus kesalahanmu? Mau menikahiku seperti yang kau katakan waktu lalu?"Ben berdiri, lalu berkata, "Itu jika kau bersedia. Aku tulus menawarkannya padamu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia sebisa-bisaku. Tak akan kubiarkan siapapun menyakitimu, termasuk aku. Aku juga akan menyayangi bayi yang kau kandung sepert
Revin telah sampai di rumah sakit. Dia lalu membungkuk melihat Lisa yang masih tetap lunglai sama sekali tidak bergerak di dalam mobil."Lisa?" panggilnya lirih saat dengan ragu ia menempelkan jarinya di bawah hidung Lisa. Dia nyaris tidak bisa merasakan napasnya. Dengan cepat ia kembali menggendong istrinya itu keluar dari mobil."Tolong istri saya!" raungnya panik begitu mendekati ruang IGD. Dengan sigap dokter dan perawat yang bertugas bergerak menghampiri Revin. Lisa langsung ditangani oleh beberapa dokter di sana."Dokter, tolong istri saya!" raung Revin kembali dengan suara sedikit bergetar. Rasa takut semakin kental merasukinya saat melihat para petugas itu tampak sibuk memeriksa Lisa."Iya, Pak, biarkan kami periksa dulu," ucap salah satu dokter yang bertugas. Kening mereka tampak mengerut saat melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, mulai dari pernapasan, denyut nadi dan tekanan darah. Dokter itu lalu menoleh pada Revin yang sedari tadi berkukuh tidak berpindah tempat di deka
Damian membeli kue dengan ragu-ragu. Ada kue stroberi dan coklat yang terlihat sangat enak di toko kue yang saat ini sengaja ia singgahi sepulang sekolah. "Aku tidak tahu kesukaan Lisa. Payah banget. Apa aku beli dua-duanya saja ya?"Damian memutuskan untuk membeli keduanya. Setelahnya dia langsung melajukan motornya menuju kafe Lisa."Permisi, apa Lisa ada di lantai atas?" tanya Damian pada Aisyah.Aisyah menoleh. "Mas Damian? Mbak Lisa tadi pingsan. Untung tadi ada Mas Revin. Sepertinya Mas Revin membawanya ke rumah sakit," jelasnya.Mendengar itu, raut wajah Damian berubah cemas. "Pingsan? Lisa dibawa ke rumah sakit mana?""Saya tidak tahu, Mas. Soalnya Mas Revin terburu-buru membawa Mbak Lisa."Kening Damian seketika mengerut. Dia langsung mengambil ponselnya menghubungi Revin."Revin, ke mana kau membawa Lisa?" tanyanya dengan suara cemas. "Karyawan kafe mengatakan kau membawanya pergi.""Kami di Rumah Sakit Citra Kasih," jawab Revin tanpa semangat."Rumah Sakit Citra Kasih? Kenap