"Lisa, aku menunggumu sedari tadi. Bisakah kita bicara? Sebentar saja," ucap Ben dengan mimik serius."Sudah kukatakan berkali-kali, tidak ada yang perlu dibicarakan di antara kita. Tolong jangan ganggu aku. Aku lelah." Lisa langsung melangkah hendak meninggalkan Ben, tetapi Ben tiba-tiba berlutut membuat Lisa terkejut melihatnya. Beberapa pengunjung kafe langsung melirik pada mereka."K-kenapa kau tiba-tiba berlutut?" tanya Lisa heran dan merasa tidak nyaman."Aku minta maaf atas apa yang kau alami. Gara-gara aku, kau mengalami banyak kesulitan. Aku ingin menebus kesalahanku. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk bicara?"Lisa mengerutkan kening. "Bagaimana kau ingin menebus kesalahanmu? Mau menikahiku seperti yang kau katakan waktu lalu?"Ben berdiri, lalu berkata, "Itu jika kau bersedia. Aku tulus menawarkannya padamu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia sebisa-bisaku. Tak akan kubiarkan siapapun menyakitimu, termasuk aku. Aku juga akan menyayangi bayi yang kau kandung sepert
Revin telah sampai di rumah sakit. Dia lalu membungkuk melihat Lisa yang masih tetap lunglai sama sekali tidak bergerak di dalam mobil."Lisa?" panggilnya lirih saat dengan ragu ia menempelkan jarinya di bawah hidung Lisa. Dia nyaris tidak bisa merasakan napasnya. Dengan cepat ia kembali menggendong istrinya itu keluar dari mobil."Tolong istri saya!" raungnya panik begitu mendekati ruang IGD. Dengan sigap dokter dan perawat yang bertugas bergerak menghampiri Revin. Lisa langsung ditangani oleh beberapa dokter di sana."Dokter, tolong istri saya!" raung Revin kembali dengan suara sedikit bergetar. Rasa takut semakin kental merasukinya saat melihat para petugas itu tampak sibuk memeriksa Lisa."Iya, Pak, biarkan kami periksa dulu," ucap salah satu dokter yang bertugas. Kening mereka tampak mengerut saat melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, mulai dari pernapasan, denyut nadi dan tekanan darah. Dokter itu lalu menoleh pada Revin yang sedari tadi berkukuh tidak berpindah tempat di deka
Damian membeli kue dengan ragu-ragu. Ada kue stroberi dan coklat yang terlihat sangat enak di toko kue yang saat ini sengaja ia singgahi sepulang sekolah. "Aku tidak tahu kesukaan Lisa. Payah banget. Apa aku beli dua-duanya saja ya?"Damian memutuskan untuk membeli keduanya. Setelahnya dia langsung melajukan motornya menuju kafe Lisa."Permisi, apa Lisa ada di lantai atas?" tanya Damian pada Aisyah.Aisyah menoleh. "Mas Damian? Mbak Lisa tadi pingsan. Untung tadi ada Mas Revin. Sepertinya Mas Revin membawanya ke rumah sakit," jelasnya.Mendengar itu, raut wajah Damian berubah cemas. "Pingsan? Lisa dibawa ke rumah sakit mana?""Saya tidak tahu, Mas. Soalnya Mas Revin terburu-buru membawa Mbak Lisa."Kening Damian seketika mengerut. Dia langsung mengambil ponselnya menghubungi Revin."Revin, ke mana kau membawa Lisa?" tanyanya dengan suara cemas. "Karyawan kafe mengatakan kau membawanya pergi.""Kami di Rumah Sakit Citra Kasih," jawab Revin tanpa semangat."Rumah Sakit Citra Kasih? Kenap
Hendra menghela napas berat. Situasi perusahaannya saat ini benar-benar genting. Masalahnya mustahil untuk mendapatkan bantuan dengan cepat dari pihak lain. Hendra sudah bekerja keras agar kerja sama bisnis dengan keluarga Abimana berjalan dengan lancar dan mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit bagi kedua belah pihak. Perusahaan Wijaya pun semakin seimbang. Tetapi kalau kerja sama berhenti mendadak seperti ini, perusahaan Wijaya akan tamat jika dia tidak bergerak cepat."Lisa, kenapa kau selalu mempersulit Papa?" gumamnya dengan nada kesal. "Mau seberapa banyak kotoran yang ingin kau lemparkan ke wajahku? Kelakuanmu yang jalang membuatku dipandang rendah dan hina oleh keluarga Abimana. Kau juga memengaruhi adikmu untuk melawanku." Hendra sekali lagi menghela napas. "Sungguh melelahkan," gumamnya.Di ruang kerjanya itu, Hendra berdiri lalu melangkah memasuki ruang lain. Di sana ia membuka brankas pribadi. Selain emas yang cukup banyak, di sana juga berisi surat-surat berharga. Dia
Sudah sepuluh menit Revin hanya berdiri kaku tepat di samping pembaringan Lisa. Keningnya mengerut dan matanya terus mengawasi Lisa yang terbaring lemah tak berdaya."Kenapa?" Satu kata itu terus merundungi pikiran Revin hingga membuat wajahnya rumit karena tidak mendapatkan jawaban yang sesuai. Kenapa Lisa merahasiakan penyakitnya? Kenapa Lisa lebih memilih mempertahankan kandungannya dengan resiko kematian, padahal dokter tadi menjelaskan padanya, seandainya Lisa mau dioperasi waktu itu dia akan kembali sehat seperti sedia kala? Kenapa? Kenapa Lisa tidak langsung memberi tahu saja riwayat kesehatannya padanya sehingga kesalahpahaman dapat terhindarkan?"Seandainya kau langsung memberi tahuku dan menunjukkan riwayat kesehatanmu bahwa kau tidak boleh hamil, tentu aku langsung percaya bahwa kau tidak mungkin sengaja menjebakku dengan kehamilan. Tapi kenapa kau harus menutupi fakta itu? Kenapa kau malah memberikan alasan yang tidak masuk akal sehingga aku terus bersikap kejam padamu? Ini
Revin menghela napas pelan saat melihat Damian melangkah ke arahnya dengan cepat."Sekarang kau pasti sudah puas kan melihat Lisa sekarat?" ucap Damian dengan tangan mengepal. Dia sempat mendengar pembicaraan Revin bersama Evans dan Erika, dan itu membuatnya sangat terkejut, sedih dan sekaligus marah. Hidup Lisa sudah tidak tertolong! Kepada siapa dia bisa melampiaskan rasa marahnya? Rasanya dia ingin sekali meninju wajah Revin tapi dia menahannya sebisa mungkin. Evans dan Erika saling memandang, merasa heran melihat sosok remaja tampan yang terlihat marah menatap tajam pada Revin dengan matanya yang sudah memerah."Gara-gara kau, Lisa mendapat tamparan dari Hendra! Kalau mau cerai ya cerai saja! Untuk apa kau melapor-lapor pada Hendra?"Mulut Revin tetap terkatup. Hubungannya dengan Damian memang jadi buruk sejak kejadian malam itu, malam saat dia berpikir Lisa hilang padahal hanya bersembunyi di dalam rumah. Waktu itu Revin menghina Lisa saat berbicara dengan Damian di telepon. Dia b
Nafalah yang barusan menyela pembicaraan. Dia mendengar suaminya hendak dimasukkan ke penjara. Itu tidak boleh terjadi! Perusahaan Wijaya sedang masa kritis, jika Hendra tidak ada, perusahaan akan bangkrut. Nafa tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tetapi Damian tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat dia menjawab Revin, "Iya! Lisa akan senang! Kalaupun tanpa diduga dia tidak senang, tapi faktanya kau sudah memberinya keadilan dengan menjebloskan Hendra ke penjara. Saat ini Lisa koma, sebagai suaminya dan sebagai saksi mata, kau berhak menuntut Hendra!"Bagi Damian, selain karena Hendra memang pantas dipenjara, Hendra juga adalah ancaman bagi kehidupannya. Dia begitu mirip dengan Dani. Suatu hari bisa saja kebenaran akan terungkap dan Hendra pasti akan mengamuk dan tidak akan membiarkannya hidup. Jika Hendra berada di penjara, setidaknya dia akan aman selama beberapa tahun ini. Dia akan bertumbuh dengan tenang. Tidak seperti sekarang selalu mewanti-wanti keadaan dengan siaga
"Damian! Jangan mengada-ada!" bentak Nafa tiba-tiba dengan tubuh bergetar."Aku akan memenjarakannya! Bisakah kau jelaskan sekarang juga?" sahut Revin cepat dengan suara tinggi. Matanya menatap tajam pada Nafa, membuat Nafa bergidik.Evans sendiri perlahan membawa Erika melangkah mundur ke tempat yang aman saat keadaan tampak memanas.Damian menarik napasnya. Ini adalah pilihan yang berat tapi dia memutuskan untuk memilih jalan yang benar. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap Revin. "Pria yang kalian bicarakan adalah pamanmu, kan? Namanya Ben, si bandot tua. Dia bukanlah mantan Lisa! Tiga tahun lalu, dia memerkosa Lisa. Lisa hamil dan rumah menjadi kacau. Hendra pun mengamuk dan memukuli Lisa, dia juga terkadang menendangnya. Lisa pun menjadi stres dan akhirnya keguguran," ucapnya dengan jelas.Mulut Revin seketika terbuka tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya karena ia begitu terkejut mendengar penjelasan Damian. Damian tahu pria yang mereka bicarakan adalah Ben! Pem