Kuseret kakiku untuk segera menjauh dari tempat tersebut, sebelum hal yang lebih menyakitkan terlihat.
"Sayang, kamu dari mana?" Ibu segera menghampiriku yang tengah berjalan dari arah lain."Lihat, Bu." Aku menghidupkan gawai, lalu memperlihatkan video yang sempat aku rekam.Seketika, wajah Ibu langsung memerah, rahangnya mengeras. "Ini, tidak bisa dibiarkan, Mila."Ibu segera merongoh ponsel dari tas kecilnya dan menempelkan benda persegi itu di telinga."Halo, bagaimana urusan kantor, apa sudah selesai?"Aku tidak tahu Ibu menelpon siapa, namun yang pasti dia terlihat mengangguk selama beberapa saat."Bagus! Pastikan Chandra tidak mengetahui hal ini terlebih dahulu." Ibu menoleh ke arahku, bibirnya menyunggingkan senyuman. "Ya, benar. Kamu memang bisa di percaya.""Bagaimana, Bu?" tanyaku pada Ibu yang kembali memasukan ponsel berlogo apel ke tas mewahnya."Beres!" Ibu mengacungkan jempol. "Ayo! Acaranya inti akan segera di mulai. Tapi, sebelumnya kamu ingat 'kan, Nak, apa yang harus di lakukan?"Aku tersenyum sinis, lalu mengandeng Ibu untuk kembali menemui orang-orang. "Tentu saja, Bu. Lagipula sepertinya teman Ibu yang bernama Dhea tersebut sudah menginginkan hal ini sejak lama."***Dari kejauhan, kulihat Dinda sudah berdiri di tempatnya semula, selama itu pula aku terus memperhatikan penampilannya yang sedikit berbeda. Taman belakang rumahku, sepertinya menjadi hotel dadakan untuk sementara waktu."Sayang." Aku menoleh, saat suara yang cukup aku kenal terdengar. "Apa?""Sayang, maafin, Mas. Tadi, Mas tiba-tiba sakit perut, makanya lama. Maaf, ya!" Mas Chandra menggenggam tanganku dengan erat. "Tidak apa-apa, Mas."Sakit perut katanya? Hah! Alasan yang sangat basi. Silahkan saja berbohong di belakangku, anggap aku bodoh dan tidak berdaya. Tapi, di luar itu semua, akan aku pastikan, aku lebih cerdik dari pada kamu, Mas.Kembali membayangkan mereka beradu kasih dalam gelapnya malam, ditemani semilir angin yang terasa cukup dingin, membuatku semakin muak.Tidak modal!"Sayang, kamu marah pada, Mas?" Mas Chandra penuh rasa bersalah, bibir bawahnya sedikit maju ke depan.Marah? Tentu saja! Bahkan, rasanya aku ingin mengusirmu dan wanita j*l*ng itu saat ini juga. Tapi, sepertinya itu kurang berkesan bagi mereka. Aku ingin, meninggalkan kesan terbaik bagi mereka. Sehingga, mereka berdua tidak akan bisa melupakannya.Baru saja aku akan kembali berkata, tiba-tiba MC datang menghampiriku. Katanya acara puncak akan segera tiba.***"Selamat malam semuanya." Sontak perhatian orang-orang tertuju padaku yang sedang berdiri di atas panggung, tangan kanan memegang sebuah pengeras suara. "Malam ini, merupakan malam yang paling spesial bagi saya dan suami. Banyak sekali kejutan dan hal tidak terduga yang terjadi selama pernikahan kami." Aku berhenti sejenak, menelan saliva susah payah. Hampir saja, air mataku luruh kala mengingat perbuatan Mas Chandra.Banyak sekali hal yang aku katakan, sambil berusaha untuk tetap tersenyum semanis mungkin. "Di acara puncaknya kali ini, saya akan memberikan sebuah kejutan yang tidak terlupakan untuk seseorang." Orang-orang berbisik, kala aku mengatakan hal tersebut. "Untuk Dinda dan suaminya, Pak Bram. Silahkan naik ke atas panggung."Sesaat kemudian, Dinda dan Bram yang berdiri di tengah-tengah langsung saling pandang dengan mata melebar sempurna. Tentu saja, sebagian dari tamuku tahu dengan Bram, tapi mungkin tidak dengan Dinda."Pak Bram, itu suaminya Bu Dhea," pekik seorang wanita setengah baya yang ada di hadapanku. "Benarkah? Bu Dhea pemilik butik yang ada di seberang jalan itu, 'kan?" tanya yang lainnya."Iya! Wah, aku gak nyangka, loh. Padahal Bu Dhea cantik banget." Riuh tamu undanganku terdengar memenuhi tempat pesta. Dari ujung mata, sekilas kuperhatikan Mas Chandra yang membeku. "Eh, ceweknya yang baju hitam itu, ya? Cantik, sih." Aku terus memperhatikan seorang wanita bersanggul yang berdiri tepat di depan panggung. "Tapi, sayang gak tahu diri," tambahnya yang membuat suasana semakin ricuh."Dinda, Pak Bram, silahkan naik!" ucapku kembali sambil bergeser ke samping, mempersilahkan keduanya untuk naik.Namun, keduanya malah sama-sama membeku dengan wajah memerah padam. Dinda sepertinya enggan untuk mendongak. Hingga, detik berikutnya, dia berlari. Membelah kerumunan orang-orang yang masih menatap jijik ke arahnya."Mila, apa yang kamu lakukan? Kenapa melakukan hal itu pada Dinda?" Mas Chandra tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku menoleh, menatap matanya yang melotot tajam. "Memangnya kenapa, ada yang salah, ya?" Aku menatap Bram yang masih berdiam di tempat, tatapan penuh kemarahan terpancar. "Dinda menikah tanpa sepengetahuanku. Jadi, aku memberikannya sebuah kejutan ... kecil.""Tapi, Mila ... ah, ya, sudah terserah kamu saja." Mas Chandra turun dari panggung sambil menghembuskan napas berat."Lagipula, orang berikan kejutan malah lari seperti itu. Gak tahu terima kasih," tambah Ibuku yang malah semakin memperkeruh suasana.Makanya, jangan bermain-main denganku. Padahal ini belum seberapa. Permainan yang sebenarnya dimulai, ini hanya sebuah pemanasan kecil. "Eh, Bu Mila, mereka beneran menikah?" tanya seorang wanita setengah baya yang mengenakan pakaian mewah. Aku sedikit mengangkat gaun, lalu turun dari atas panggung, menghampiri beberapa orang yang sedang berkerumun."Tadi, Dinda bilang seperti itu padaku. Jadi, kemungkinan besar benar.""Tidak tahu diri banget! Heran deh, orang modelan gitu makin hari, malah makin banyak," celetuk yang lainnya."Benar! Aku sampai takut, suamiku main gituan.""Benar. Ih, ngeri juga, ya, Bu-ibu."Masih banyak omongan lainnya yang di lontarkan oleh para ibu-ibu. Sepertinya aku menghadirkan pembahasan baru bagi para ibu-ibu. Tapi, dengan begitu aku yakin, jika Dinda tidak akan kuat hidup lebih lama di sini.***Hampir semua ibu-ibu sosialita sudah berkumpul di rumahku. Dari pakaiannya saja, aku sudah bisa menebak, jika mereka bukan dari kalangan biasa saja. Perhiasan, hingga barang-barang bernilai jutaan rupiah melekat di tubuh mereka. Maka tidak heran, jika baru sampai saja, sudah saling memamerkan kekayaan masing-masing. "Eh, kalian tahu, gak? Katanya si Dinda mau ikut arisan, loh." Seketika aku langsung menoleh, saat secara tidak sengaja mendengar nama Dinda. Aku tidak menyangka, jika kulit wajahnya benar-benar tebal. "Beneran? Ih, jijik banget tau gak Jeng. Gak mau deket-deket aku sama dia, takut," tambah ibu-ibu yang lainnya. Ibu-ibu yang awalnya saling pamer harta, seketika langsung terdiam. Mereka langsung nimbrung, ketika membahas soal Dinda. Apa kataku kemarin, sepertinya Dinda tidak akan tahan hidup lama-lama di sini. Rasakan, Dinda! Julitan ibu-ibu lebih kejam dari apapun. "Eh, katanya lagi Bu Dea udah gugat cerai Pak Bram, loh." "Seriusan? Bagus, lah! Laki-laki kayak gitu
"Ada apa, Mila?" Aku menoleh ke arah Ibu yang nampak kaget. "Mas Chandra kecelakaan, Bu." "Sri ... Sri," teriak Ibu dengan cukup nyaring. Dari arah dapur, datang seorang wanita paruh baya memakai daster batik. " Bi Ani, Tolong bilang ke Sri, jaga Faris sampai saya dan Mila kembali. Jangan khawatirkan soal upah." "Baik, Nyonya." "Aku tunggu di depan," ucapku pada Ibu, setelah sebelumnya menyambar dompet yang tergeletak di meja. "Panggil Pak Asep!" perintaku pada seorang satpam yang sedang duduk di teras. Tidak beberapa lama kemudian, seorang pria datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Bu?" "Cepat, Panaskan mobil! Kita akan segera pergi ke rumah sakit." "Baik, Bu." Kutarik napas dalam selama beberapa kali, lalu menjatuhkan bokong di salah satu kursi kayu yang tertata dengan cukup rapih di teras. Keningku terasa berdenyut, jantung berdegup cukup kencang. Beberapa kali aku memijat pelipis sambil menunduk dalam. "Mila, cepat berangkat!" Aku mendongak, lalu segera bangkit, mengik
"Mas, ngapain Dinda ada sama kamu?" Mas Chandra yang sedang duduk di kursi penumpang, sepertinya sedikit tersentak dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba. "A-aku mau nganter Din--" "Nganter Dinda ke mana?" tanyaku sambil melotot saat mendengar Mas Chandra gugup. "Ke hotel atau vila?" "Mila! Ngapain kamu ngomong begitu? Suami kena musibah, bukannya dirawat baik-baik, malah diomelin," gerutu Mas Chandra sambil beralih menatap ke luar jendela mobil. "Karma," celetukku tiba-tiba. "Apa?! Memangnya aku sudah lakuin kejahatan apa sama kamu?" Sontak, aku langsung menatap Mas Chandra sambil mengangkat kedua alisku. Apa aku tidak salah dengar atau memang dia yang tidak sadar diri. Ah, tapi menurut perkataan orang-orang juga, mana ada maling mau ngaku. Bisa-bisa di gebukin tuh dan itu sama halnya dengan Mas Chandra. Mana mau dia ngaku, suka nikah lagi dengan Dinda. Bisa-bisa reputasinya hilang. Tapi, memang hal itu akan segera terjadi, tinggal menunggu waktu saja. "Sudah beres, Bu?"
"Apa kabar Bu Aeni dan Pak Joko." Sontak, dua orang pria dan wanita paruh baya yang sedang memunggungi kami langsung menoleh. Mata keduanya nampak terbelalak saat melihat kedatangan kami bertiga. Di kejauhan, kulihat Dinda sedang duduk di atas kursi roda, di bawah terik matahari. Dia yang awalnya terpejam, ikut menoleh saat menyadari kedatangan kami. "Ba-baik, Bu. Ibu Rina bagaimana?" Bu Aeni--ibu Dinda terlihat hendak menyalami ibuku. Tapi, ibu dengan cepat langsung menyilangkan tangannya di dada. "Seperti yang kalian lihat," jawab Ibu simpel. Bu Aeni nampak begitu canggung, sesekali dia terlihat menatap Mas Chandra yang menunduk tepat di sampingku. Baru beberapa saat kemudian, matanya melebar sempurna, mulutnya terbuka lebar ketika melihat perutku yang nampak besar. Ibu sengaja menyuruhku memakai daster yang tidak terlalu longgar. "Non Mila, hamil?" pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulutnya. Membuat Pak Joko yang berdiri di samping Bu Aeni menatap tidak percaya ke arahk
"Nanti malam, tolong ambil dompet, perhiasan dan kunci mobil milikku yang ada di laci dekat ranjang," ucapku dengan nada rendah kepada seseorang melalui sambungan telepon. "Baik, Bu," jawabku cepat. Aku mengangguk pelan, satu sudut bibirku terangkat. "Bagus! Kamu dan temanmu tidak usah khawatir akan tertangkap, karena kami sudah mengatur semuanya." Aku terdiam sejenak, mendengarkan derap langkah yang semakin mendekat. "Ingat! Ikuti rute yang aku arahkan." Segera kumatikan sambungan telepon. Lalu, mengarahkan jari ke salah satu aplikasi berjualan online, berpura-pura menggulir layar, memperhatikan satu-persatu barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku berpura-pura tetap diam, saat pintu kamar terbuka, menampilkan seorang yang memang ingin aku hindari. "Sayang, sedang apa?" Mas Chandra mendekat, merebahkan diri di sampingku. Dia nampak sedikit mengintip layar ponselku. "Mau belanja online, Mas," jawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar ponsel. "Tumben, meman
"Nanti malam, tolong ambil dompet, perhiasan dan kunci mobil milikku yang ada di laci dekat ranjang," ucapku dengan nada rendah kepada seseorang melalui sambungan telepon. "Baik, Bu," jawabku cepat. Aku mengangguk pelan, satu sudut bibirku terangkat. "Bagus! Kamu dan temanmu tidak usah khawatir akan tertangkap, karena kami sudah mengatur semuanya." Aku terdiam sejenak, mendengarkan derap langkah yang semakin mendekat. "Ingat! Ikuti rute yang aku arahkan." Segera kumatikan sambungan telepon. Lalu, mengarahkan jari ke salah satu aplikasi berjualan online, berpura-pura menggulir layar, memperhatikan satu-persatu barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku berpura-pura tetap diam, saat pintu kamar terbuka, menampilkan seorang yang memang ingin aku hindari. "Sayang, sedang apa?" Mas Chandra mendekat, merebahkan diri di sampingku. Dia nampak sedikit mengintip layar ponselku. "Mau belanja online, Mas," jawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar ponsel. "Tumben, meman
[Mas, aku minta uang!] Seperti dugaanku, Dinda pasti akan mengirimkan pesan tersebut pada suamiku. Untung saja, beberapa hari yang lalu, aku sempat menyadap ponsel Mas Chandra. [Uangku sudah habis, Dinda. Apa kamu tidak dengar, jika keluargaku baru saja kemalingan.] balas Mas Chandra beberapa detik kemudian. [Mas, aku gak mau tahu, ya! Pokoknya kamu kirimin aku uang seratus lima puluh juta rupiah.] Sontak, aku kedua alisku langsung terangkat saat membaca pesan yang dikirimkan Dinda. Kentara sekali, jika dia ingin menguras harta keluargaku. [Bukannya hutangmu hanya seratus juta, untuk apa sisanya lagi?] [Mas, aku ini istrimu. Pantas saja aku meminta uang. Lagipula beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membeli tas] "Ada apa?" tanya seorang pria berpakaian kemeja putih yang kebetulan duduk tepat di sampingku. "Baca saja, Kak." Bang Willy--kakak laki-lakiku langsung menerima gawai yang aku lemparkan padanya. Keningnya nampak berkerut dengan mulut yang terus bergerak perlahan,
"Mau apa kalian kemari?" tanya Bu Aeni, raut wajahnya nampak masam, kedua tangannya terlipat di dada. Ibu yang berdiri di ambang pagar, langsung melenggang masuk. Diikuti olehku dan Bang Willy dari belakang. "Jangan pura-pura b*d*h! Lagipula, sepertinya kamu tahu, apa maksud kedatanganku kemari." Bu Aeni berdecak, sengaja dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara itu, Dinda dan Pak Joko batang hidungnya pun tidak terlihat. "Aku ingin menagih hutangmu, Aeni!" tegas Ibu tanpa mempedulikan tatapan kurang mengenakan Bu Aeni. "Tenang saja! Kami pasti akan membayarnya. Tidak usah khawatir, uang seratus juta tidak ada apa-apanya bagi kami," jawab Bu Aeni dengan begitu entengnya. Sontak saja, aku langsung menyeringai ketika mendengar ucapan Bu Aeni. Begitu pun dengan Bang Willy, dia nampaknya tertunduk sambil memainkan kakinya. Sombong sekali dia. Uang hasil jadi istri siri aja bangga! "Bang, menurutmu rencana kita akan berhasil?" Aku mendekatkan mulut ke samping telinganya.