Share

Taman Depan Rumah

“Nak Bella, sini-sini,” ajak seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Mama. Dia adalah ibu Gavin, ibu Mertuaku. Tadi Mama memperkenalkanku dengan belau sebelum pernikahan berlangsung.

“Gavin, gandeng Bella dan ajak berkenalan dengan keluarga kita,” Nyonya Farah Wardhana menyuruh anak bungsunya itu untuk membawaku berkeliling menemui satu persatu sanak saudaranya.

“Bella ikut sama Gavin, ya.” Aku mengangguk, mengikuti Gavin yang sudah berjalan mendahuluiku.

Semenjak pertemuan kita tadi, sampai acara pernikahan ini hampir selesai, belum ada percakapan diantara kami. Sama sekali belum ada. Bahkan kalau diingat lagi, kami belum berkenalan. Dia hanya diam, sorot matanya pun terlihat dingin. Tapi tak bisa dipungkiri, hal itu malah membuat aura tampannya semakin meningkat. Dasar Bella aneh.

Gavin mengajakku, ah bukan. Lebih tepatnya aku mengikuti Gavin, menyapa semua keluarganya. Bahkan disaat kami menyapa keluarganya pun dia tidak memperkenalkanku sama sekali. Hanya menyapa mereka lalu asyik berbincang sendiri setelahnya. Jangan tanya bagaimana dengan diriku sekarang. Seperti orang bodoh, iya hanya diam mematung memandangi mereka yang asyik berbincang. Menunggu salah seorang sadar akan kehadiranku, baru setelah itu bisa memperkenalkan diri. Miris sekali.

Padahal harapanku tadi tidak seperti ini. Aku kira setelah akad kami jadi semakin dekat. Aku bisa berbicara panjang lebar dengannya, bisa lebih mengenal dia dan akhirnya kami berdua hisup bahagia sebagai pasangan suami istri. Tapi apa ini, aku hanya didiamkan saja seperti makanan basi.

Semua keluarga Gavin sudah kusapa satu persatu. Sekarang tinggal keluargaku, sesuai dengan perintah Mamah tadi. Setelah selesai menyapa keluarganya, aku harus membawa Gavin untuk menyapa keluargaku juga. Tapi pertanyaannya, bagaimana caraku membuka percakapan sekarang. Bahkan untuk berdiri disampingku saja dia terlihat tidak nyaman. 

“Em, tadi Mama nyuruh untuk ngajak kamu kenalan sama keluarga besarku.”

Kuberanikan diri untuk membuka percakapan, walaupun masih terdengar kaku. Itupun aku sudah berusaha semaksimal mungkin, sampai tubuhku dari tadi tak hentinya bergetar karena menahan takut.

“Hm,” akhirnya satu kata keluar dari mulutnya. Dan itu pun sangat singkat, bahkan menurutku itu bukan sebuah kata, hanya gumaman.

“Nak Gavin, sini-sini,” dengan senyum sumringah Mama melambaikan tangannya, memanggil kami berdua.

Keluargaku yang datang tidak terlalu banyak, hanya sekitar 10 orang, keluarga inti saja. Kebetulan mereka kini berkumpul jadi sepertinya tidak akan butuh waktu lama seperti tadi saat berkenalan dengan keluarga Gavin yang terpisah-pisah.

“Wah, ganteng banget,” tante Yuni yang memang datang terlambat, melongo melihat Gavin. 

“Sini, tak kenalin sama keluarga Mama,” Mama menarik tangan Gavin lembut.

“Ini Tante Yuni dan ini anaknya, Fira. Kalau ini Om Iqbal sama istrinya, Tante Mila,” Mama menunjuk satu persatu orang yang memang mengelilingi kami.

“Salam kenal semuanya, saya Gavin,” sapa Gavin sangat ramah. Tak lupa pula dia bubuhkan senyuman manisnya diakhir. Jangan diteruskan, aku bisa meleleh kalau lama-lama melihat senyumanmu, suamiku. Dasar Bella, mode abnormalnya hidup lagi. 

Tanpa terasa bibirku melengkung dengan sendirinya, ikut tersenyum dalam ketidaksadaran. Pipi, aku yakin ada rona merah disana. Bagaimana ini, jangan sampai semua orang melihat  dipipiku yang seperti kepiting rebus.

“Kak Gavin, boleh minta kontaknya gak? Kita kan sudah jadi sepupu, boleh dong dikasih kontaknya biar bisa semakin dekat.”

Dengan mata berbinar, Fira menghampiri Gavin. Bahkan dia menggeser posisiku, untuk bisa berdiri lebih dekat dengan Gavin. Nada bicaranya yang dibuat-buat semanis dan semanja mungkin, terdengar menjijikan ditelingaku. Sejak kapan Fira jadi centil seperti ini.

Usia kami memang sama, hanya terpaut dua bulan saja. Aku tidak terlalu dekat dengan sepupuku yang satu ini. Selera kami sangat bertolak belakang, kalau bersama pun lebih sering bertengkar daripada akurnya.

“Boleh ya Kak,” Fira masih berusaha merayu Gavin dengan memasang wajah seimut mungkin.

“Fira, jangan dipaksa Gavinnya. Nanti kalau sudah waktunya juga kalian bisa dekat sendiri. Ini juga kita baru ketemu pertama kali, tolong jaga sikap sedikit ya, Nak,” Mamah memperingatkan Fira dengan halus. 

Rasain Si Fira kena tegur Mama. Siapa suruh dia kecentilan sama suami sepupu sendiri.

“Halah, kamu itu lho Mbak. Sombong banget, mentang-mentang punya mantu ganteng. Cuma mau kenal saja kamu sudah ribet banget kayak gitu,” sahut Tante Yuni yang tak terima.

“Sudah, bawa Gavin keluar dulu, Bel. Kalian kan pasti belum kenal satu sama lain. Sana ngobrol-ngobrol di depan,” perintah Mama.

“Ya Tante, kan Fira mau ngobrol juga sama Gavin,” Fira merengek tak terima setelah kepergian kami.

Bagaimana ini, suasananya amat sangat canggung. Sudah hampir 5 menit kami berdua duduk di kursi dekat taman, tapi tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua.

Ingin rasa memulai percakapan, tapi bingung apa yang harus kuucapkan. Tidak mungkin kan aku memperkenalkan diri lagi, rasanya aneh. Kalau langsung sok kenal nanya-nanya juga aneh. Terlebih dia juga tidak mau memulai pembicaraan terlebih dulu. 

Bukankah dalam situasi seperti ini biasanya cowok dulu yang nanya-nanya. Walaupun aku suka sama dia, bukan berarti aku bisa bersikap centil dan tak tau malu seperti Fira tadi. Aku bukan tipe cewek seperti itu.

“Heh!”

Ditengah lamunan, aku masih bisa mendengar suara Gavin. Dia memulai percakapan denganku, akhirnya momen ini datang juga. Tanpa pikir panjang aku langsung memalingkan wajah kesamping, menghadapnya degan senyum lebar.

“Iya,” jawabku seadanya.

“Pernikahan ini hanya diatas kertas, jadi ingat dari sekarang. Status kita dibelakang keluarga hanya orang asing! Jangan pernah berharap lebih padaku. Karena kamu sama sekali bukan tipeku!” 

Deg.

Dadaku serasa dihujani ribuan peluru sampai berdarah-darah. Dua kalimat singkat yang sangat menyakitkan keluar dari mulut Gavin, dan itu sukses membuat hatiku sangat sakit.

Sebulir cairan bening menetes ditangan. Aku merutuki diri sendiri yang dengan bodohnya berharap banyak dengan sosok Gavin. Padahal kalau dipikir lagi, pernikahan ini sebenarnya hanya menguntungkan keluarganku dan tidak untuk keluarga Gavin. Mungkin Gavin menerima pernikahan ini karena paksaan dari orangtuanya. Mengingat bagaimana ekspresinya yang terlihat muram selama acara berlangsung. Sangat beda denganku yang sangat bahagia.

Sekarang Gavin sudah pergi meninggalkanku termenung sendiri di taman depan rumah. Tentunya dengan air mata yang masih setia mengalir. Persetan dengan riasan, kalau memang luntur biarlah luntur saja sekalian. Biar hancur seperti hatiku yang ditolak mentah-mentah oleh suaminya di hari pertama pernikahan.

Lalu bagaimana aku akan menjalani hidup kedepannya, sedangkan ini aku harus tinggal serumah dengan manusia itu.

“Bella bodoh, seharusnya kemarin kamu tolak saja penikahan ini. Barang cuma disodorin foto orang ganteng saja langsung melempem. Kalau sudah begini mau bagaimana coba? Mau kamu makan tuh ketampanan suamimu? Tampan juga cuma covernya saja, dalamnya sangat busuk. Masih saja kamu idam-idamkan.”

“Bodoh! Bella bodoh!” teriakku tak jelas memaki diri sendiri.

Sudah cukup, jangan sampai ada orang yang melihat. Bisa-bisa besok viral, karena menangis sambil teriak-teriak kayak orang gila ditaman. Apalagi ini hari pernikahankui. Memikirkannya saja sudah membuatku geli. Lebih baik aku kembali saja kedalam dan menghadapi semua ini dengan keren.

Bella, kamu pasti bisa!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status