Share

Malam Pertama

“Hah, akhirnya kita sampai di rumah barumu, Sayang.”

Aku yang sedari tadi bersandar di bahu Mama akhirnya bangkit, ikut melihat rumah yang bisa dibilang lumayan mewah untuk orang biasa sepertiku. Ya, rumah ini yang akan menjadi tempat tinggal baruku dengan manusia menyebalkan itu. 

“Gimana Bel, bagus kan?” dengan mata berbinar Mama bertanya kepadaku.

“Iya, bagus kok Ma."

“Kamu tahu, rumah ini yang milihin kakeknya Gavin. Kakeknya Gavin bahkan menanyakan dekorasi yang kamu sukai, mulai dari warna dan barang-barang favoritmu. Pak Wira berharap dengan begitu kamu akan betah tinggal disini. Baik banget memang beliau itu,” Mama sepertinya sangat menghormati Pak Wira, kakek Gavin yang belum pernah kutemui. Beliau saat ini sedang dinas diluar negeri, jadi beliau tidak bisa menghadiri pernikahan kami tadi.

Setelah turun dari mobil, aku langsung masuk kedalam rumah dengan menarik koper merah yang berisi sebagian kecil pakaianku. Sedangkan sisanya masih ada di mobil dan beberapa masih ada di rumah. Aku hanya membawa barang terpenting, karena pindahan ini dadakan jadi tak sempat untuk mengemas semuanya.

Kalian pasti penasaran, kemana pria itu. Dia pasti di dalam sekarang, mungkin saat ini dia sedang bersantai atau mungkin juga sedang rebahan dikamar. Sebenarnya orang itu sudah pindahan sejak kemarin, jadi setelah acara selesai tadi dia langsung pulang kesini. Sedangkan aku masih disibukkan dengan semua barang-barangku. 

“Assalamu’alaikum,” aku memasuki rumah dengan mata terbuka lebar. Pemandangan yang sangat menyilaukan. Desain rumah yang terlihat biasa dari luar, tapi setelah masuk aku bisa melihat keindahan rumah ini. Ini rumah impian semua orang, sangat elegan dengan berbagai perabotan yang terlihat mewah, sangat menyilaukan mata.

“Bel! Ngapain bengong ditengah pintu? Ini barang-barangmu masih ada yang tertinggal dimobil loh. Sana buruan diambil!” tepukan Mama di pundakku membuatku tersadar.

“Ah, iya Ma,” dengan cepat-cepat aku mendorong koper ke dekat sofa di ruang tamu lalu bergegas keluar mengambil sisa barang.

“Eh, Tante juga ikut nganter ya,” sesosok pria dengan celana pendek dan baju oblong warna putih turun dari tangga. Rambutnya terlihat basah dan sedikit acak-acakan, sepertinya dia baru selesai mandi.

“Tunggu! Kok kamu manggilnya Tante? Seharusnya Mama dong, kan kamu sekarang sudah jadi suami Bella, itu artinya sekarang kamu itu anak Mamah juga.”

“Eh i-iya, maaf ya Tan. Eh Mah,” Gavin tergagap, ekspresinya sangat lucu sekarang. Campuran antara tidak enak hati dan sedikit gugup. Ternyata dia masih punya sopan santun juga sama orang tua.

“Sudah Papa bawa semua kok, Bel,” Ujar Papa yang sedang kerepotan membawa dua tumpuk kardus besar yang sampai menutupi wajahnya.

‘Sebentar Pa, aku bantu,” Gavin berlari menghampiri Papa, mengangkat satu kardus dari tangan Papa. 

“Nggak salah aku menyerahkan Bella padamu!” ujar Papa sembari tertawa ringan.

“Ini mau dibantuin sama Mama atau nggak nih beres-beresnya?” 

Sebenarnya aku sih malah seneng kalau dibantu beres-beres sama Mama. Aku juga ingin mereka lama-lama disini, atau kalau boleh sekalian saja mereka menginap. Tapi masalahnya, aku bukan orang yang berkuasa di sini jadi aku tidak berani berpendapat lebih.

“Mama! Kamu itu nggak peka banget sih! Masak mau lama-lama dirumah penganten baru. Biarkan mereka menghabiskan waktu bersama. Kayak nggak pernah malam pertama saja Mama ini,” belum juga jawaban keluar dari mulutku, Papa sudah dengan peka pada situasi. Alhasil keinginan Mama untuk membantu dan keinginanku untuk ditemani lebih lama sirnalah sudah. 

Sekarang mereka sudah pulang, meninggalkan aku yang mematung memandangi koper dan bawaanku lainnya. Tidak tahu harus dibawa kemana semua barang ini. 

“Woi! Cepetan beresin barang-barangmu! Jangan cuma nglamun aja,” suara beratnya menyadarkanku.

“Em, kamarnya yang mana?” dengan berat hati aku bertanya padanya.

“Kamu di kamar itu, jangan pernah berani masuk ke kamar sampingmu. Karena itu kamarku!” tegasnya.

“Setelah semua beres nanti turun ke bawah, ada yang mau aku bahas tentang aturan selama kita tinggal bersama disini.”

Begitulah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebelum aku berkutat membereskan barang bawaan. Bukan, lebih tepatnya aku hanya memindahkan barang-barang itu ke kamar, untuk sisanya akan kulakukan nanti. Aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan Gavin, agar bisa segera tidur. Tubuh sangat butuh diistirahatkan.

“Mau bahas apa?” 

Aku menghampiri Gavin yang sedang memainkan ponsel di sofa. Dia menoleh kearahku sekejab, lalu kembali fokus pada ponselnya. Dingin, cuek dan menyebalkan, itulah gambaran Gavin dipikiranku saat ini. 

“Duduk,” Ujarnya tanpa memalingkan wajahnya.

Untuk saat ini aku hanya akan menurutinya saja. Aku sungguh sangat lelah, baik fisik maupun batin. Setelah melalui semua hal melelahkan, mulai dari pernikahan, pindahan sampai penolakan dari suami dihari pertama pernikahan. Siapa yang masih punya semangat kalau ditempatkan dalam posisiku. Untuk sesaat seperti duniaku berubah jadi hitam dan putih saja, tanpa warna, alias buram.

“Oke,” Gavin meletakkan ponselnya ke meja. Sepertinya dia akan mulai bicara.

“Langsung ke intinya saja ya. Aku sudah menulis semua aturan yang harus kita sepakati selama hidup sebagai pasangan suami istri,” dia menyodorkan kertas yang sedari tadi sudah ada dimeja itu padaku. Dibagian atas tercetak dengan jelas tulisan 'Surat perjanjian’. Sepertinya aku tau apa isinya walaupun aku belum membaca poin per poin. Hal seperti ini sering kan ditayangkan dalam drama-drama, terutama drama tentang pernikahan kontrak. Dan rata-rata salah satu isinya pasti ‘tidak boleh saling jatuh cinta’, begitulah seingatku. Tapi pernikahanku ini kan bukan pernikahan kontrak. Aku menikah dengannya dengan sah menurut agama maupun negara, walaupun tanpa dasar cinta sih. 

“Ini kamu baca baik-baik, terus kalau ada poin yang mau kamu tambahkan silahkan tulis, besok pagi baru kita bahas kelanjutannya.”

Setelah mengatakan itu dia langsung bangkit sambil mengambil ponselnya, lalu melenggang pergi tanpa pamit.

“Dasar cowok nyebelin, seenak jidat ninggalin orang!”

Terhitung sudah dua kali ini aku ditinggalkan dalam diam oleh orang yang sama hari ini. Jujur, aku tipe orang yang tidak suka dicuekin, atau tidak dianggap keberadaannya seperti ini. Karena sudah pasti akan menyisakan rasa sesak dan sakit setelahnya.

Setelah melamun sesaat, dengan gontai aku naik ke kamar. Akan ku baca besok saja perjanjian ini. sekarang aku harus tidur dulu untuk memulihkan semua tenaga. Sepertinya kedepannya kehidupanku akan berubah menjadi medan perang, aku perlu banyak amunisi.

Tititit.., tititit.., tititit.

“Aaah, aku masih ingin tidur,” racauku dengan mata masih terpejam. Alarm ponselku berdering, artinya sekarang sudah pukul 05.00, waktunya bangun sholat. 

Biasanya bahkan sebelum alarm hidup aku sudah bangun, karena Mamah sering ngajak sholat berjamaah sama Papah. Tapi kali ini aku harus melewati pagiku seorang diri, terlebih lagi rasa lelah ditubuhku belum a pulih. Akibatnya mata ini berat sekali untuk dibuka.

“Aaaaahh.., masih ngantuk banget, cepet banget sih paginya,” aku bangkit sembari mengacak asal rambut yang semula sudah awut-awutan, tak lupa mematikan alarm sebelum bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Setelah selesai sholat, pandanganku tertuju pada kertas yang semalam diberikan Gavin. Aku mulai membaca setiap poinnya satu persatu. 

“Apa-apaan ini?” mataku melebar dengan mulut menganga, tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status