Tatapan Shin mengikuti langkah Aira menuju ke tempat parkiran. Kemudian gadis itu mengambil sepeda dan pergi dari taman menyisakan Shin seorang diri.Sepeninggal Aira, Shin pun meninggalkan tempat itu dan meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya. Ia akan membuktikan kepada Aira jika ucapannya tadi sungguh-sungguh. Shin sedang tidak bermain-main. Tidak mengapa jika Aira tidak mau memberi tahu. Ia sendiri yang akan menguak teka-teki ini.***Mobil berbelok ke sebuah rumah mewah. Setelah melepaskan seat bealt, Shin turun, menuju rumah dimana dulu ia dibesarkan.Baru saja Shin menekan bel, Bi Inah yang bekerja di rumah itu muncul dengan senyum yang tidak pernah berubah. Masih sama seperti Shin pertama kali bertemu wanita bertubuh tambun tersebut."Oh, Shin kau datang. Masuklah."Terima kasih, Bi." "Kau terlihat semakin tampan saja," ujar Bi Inah sembari menepuk lengan Shin.Shin hanya menhangguk dan melewati Bi Inah, masuk ke dalam rumah. Ia dapat mendengar denting piano bergema dari
Shin baru saja selesai mandi ketika Alika tiba di rumah. Dokter cantik itu tampak kelelahan. Alika langsung ke dapur dan membuka kulkas. Mengambil minuman dingin lalu membawanya ke ruang tamu. "Leganya." Alika meneguk isi minuman kaleng tersebut menyisakan separuh. "Aku pikir aku akan pingsan karena banyaknya pasien hari ini," gumam Alika seraya menikmati minuman dinginnya. Risiko sebagai tenaga medis ya seperti itu. Harus siap setiap saat dan mengenyampingkan rasa lelah ketika pasien membutuhkannya. "Hai," sapa Alika ketika Shin muncul dari kamar mandi dengan tangan mengusap-usap rambutnya menggunakan handuk kecil. Oh, pemuda itu terlihat sangat seksi sekaligus panas. Alika tidak menyangka jika pikiran liarnya itu tidak jua berkurang setelah dua tahun ia menjadi Nyonya Shin. Malah semakin hari sepertinya semakin meningkat dan itu cukup meresahkan. "Ya. Baru pulang?" "Iya. Ngapain aja kamu setelah pulang dari rumah sakit tadi, Shin?" Shin mengambil tempat duduk di depan Alika
Malam baru saja menggulung tirainya ketika Shin sudah bersiap dan rapi. Dokter tampan itu mengenakan kemeja warna biru dipadu celana jins hitam. Penampilan Shin tidak pernah gagal. Selalu kerena dan memesona. Sebenarnya mau Shin memakai outfit apa saja tetap tampan. Entah kapan pemuda itu bisa terlihat jelek. Demagenya tidak main-main.Alika baru bangun tidur dibuat heran melihat suaminya sudah rapi bahkan ini adalah akhir pekan. Memangnya Shin mau pergi kemana? Seingatnya mereka tidak ada agenda pergi keluar hari ini. Alika turun dari tempat tidur dan mengikat asal rambutnya lalu menghampiri Shin."Morning." Alika mencium pipi Shin yang sedang berdiri di samping jendela. Sepertinya suaminya itu tidak menyadari kalau ia sudah terbangun sejak tadi. "Mau kemana Shin sudah rapi begini?" tanya Alika seraya memindai penampilan Shin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ah, Shin benar-benar tampan. Ia bahkan jatuh cinta setiap hari. Betapa beruntungnya dapat menikmati wajah tampan Shin dari
Shin merasakan kepalanya sakit seperti dipukul benda keras. Selain rasa sakit itu, keringat mengalir dari balik baju kemeja yang ia kenakan. Dengan langkah agak sempoyongan, Shin berhenti dan duduk di bawah pohon belimbing yang terdapat di halaman panti. Ia berharap rasa sakit di kepalanya berkurang walau sedikit.Satu lagi kenyataan yang ia ketahui dari pengurus panti. Wanita tua itu membenarkan jika Shin berasal dari panti ini. Itu artinya ia dan Aira dulu tinggal di panti yang sama. Itulah sebabnya meski Shin hilang ingatan, tetapi ia merasa tidak asing akan sosok Aira. Mungkin di masa lalu Aira adalah yang sosok berarti dalam hidupnya sehingga perasaan terhadap gadis itu bak magnet menariknya sangat kuat.Shin melepaskan kacamata dan memijit pangkal hidung. Ini benar-benar mengejutkan. Lalu ia teringat jika Aira tempo hati berkata jujur ketika ia menanyakan apakah sebelumnya mereka saling mengenal?Gadis itu menjawab bahwa mereka tidak saling mengenal sama sekali. Bagaimana bisa A
Alika merasa aneh sejak kepulangan Shin ke rumah. Suaminya itu hanya mengurung diri di kamar, bahkan Shin melewatkan makan malam. Ia hanya menjawab singkat ketika Alika mengajaknya bicara. "Shin kenapa ya," gumam Alika yang sedang menatap layar laptop. Shin bukanlah tipe moodyan. Kalau dingin iya. Dan selama ia mengenal suaminya itu, Shin selalu dingin, tapi tetap peduli kepadanya. Bagi Alika tidak masalah dengan sikap Shin selama pemuda itu adalah suaminya dan setia kepadanya. Alika tidak mau mengubah Shin menjadi seperti apa yang ia inginkan. Biarkan saja Shin menjadi dirinya sendiri selagi itu membuat pemuda itu nyaman.Alika mematikan laptop dan beranjak ke kamar. Saat ia membuka pintu, dilihatnya Shin sudah tertidur. Tumben cepet banget tidurnya. Baru juga jam delapan malam. Alika membatin.Alika menuju meja rias. Ia tidak lupa membersihkan wajah sebelum tidur seperti biasa. "Ai ... Ai."Alika menajamkan pendengarannya ketika ia mendengar Shin menyebut nama sesesorang tapi sa
Satu tahun bergulir ...Cahaya mentari baru saja muncul menghangatkan penghuni bumi ketika seorang pemuda di kursi panjang yang terdapat di bawah pohon akasia di sebuah taman. Gurat kesedihan di wajah pemuda itu tak dapat disamarkan sama sekali.Lalu lalang kendaraan dan suara klakson bersahut-sahutan tidak mengusik pemuda itu sama sekali. Ia fokus menatap ke depan, ke seberang jalan di mana objeknya seorang gadis sedang berjalan tergesa memasuki sebuah perkantoran.Sekali lagi ia dipertemukan dengan seseorang yang ingin sekali ia temui sekaligus hindari. Bagaimana mungkin perasaan itu bisa ia rasakan sehingga hidupnya kini berubah total. Pemuda itu tidak lain adalah Shin. Setahun ini hidupnya benar-benar berubah setelah ia dalam mengingat semuanya. Sekarang teka-teki itu telah terjawab sudah. Keresahan yang Shin rasakan setahun terakhir akhirnya menemukan muara.Kenyataan itu menampar Shin begitu kerasa. Membawanya pada arus penyesalan yang sangat dalam dan tidak akan bisa menyelam
Shin membawa Alika ke rumah sakit. Melihat wajah pucat dan berkeringat sang istri tak pelak membuat Shin khawatir. Alika itu jarang sakit dan tidak mudah mengeluh. Jadi jika ia sampai meringis seperti ini itu pasti sakit yang serius.Sementara itu, Alika yang sudah mendapatkan tindakan merasa lebih baik. Sudah tidak sesakit tadi. Dokter mengatakan nanti akan diperiksa lebih lanjut. Untuk sementara ini cukup diresepkan obat pereda rasa sakit."Makasih, Dok.""Sama-sama, Al. Besok kita periksa lanjutan," ujar dokter Iwan, dokter senior di rumah sakit ini. Rumah sakit yang tak lain milik keluarga Alika."Apa sakitnya ini serius?" Dokter Iwan tersenyum. "Besok kita lihat hasilnya ya. Sekarang kamu jangan berpikiran yang macem-macem dulu.""Oh, baiklah, Dok. Permisi.""Iya, Al. Hati-hati."Alika meninggalkan ruangan Dokter Iwan. Di luar Shin dengan setia menunggunya. Ketika melihat Shin, senyum Alika merekah. Ia merasa senang karena Shin ada di dekatnya saat dibutuhkan seperti ini. Shin s
Hampir satu jam lamanya Alika menangis di kamar mandi seorang diri sambil memegang secarik kertas. Dokter cantik itu benar-benar terpukul dan sedih. Ia merasa hidupnya berada di titik terendah. Tidak pernah sebelumnya Alika merasakan perasaan kecewa sedemikian dalam. Hingga rasanya semangat hidupnya tercabut begitu saja.Bayangan buruk tentang masa depan tak ayal menambah ketakutan Alika. Mengapa ia harus menanggung semua ini. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya sedang digerogoti penyakit berbahaya seperti ini.Hal yang paling Alika takutkan adalah ia tidak bisa memberikan Shin keturunan. Sedangkan ibu mertuanya hanya memberi waktu satu tahun untuk ia bisa melahirkan anak darah daging Shin. Sementara itu, Alika harus fokus kepada pengobatan kanker payudara yang telah merenggut kebahagiaan dan semangat hidupnya."Al, kamu di dalam."Mendengar suara Shin, buru-buru Alika menghentikan tangisan. Ia mencuci wajahnya, berusaha menyembunyikan jika ia baru saja menangis lama. Alika tidak m