Share

Chapter 4 - Desakan Mertua

Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai.

Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri.

Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah waktu dimana ia akan dipanggil bila ada operasi darurat yang membutuhkan dirinya untuk bertindak.Delapan tahun sudah mereka lalui, tanpa ada masalah berarti dalam pernikahan. Masalah justru mucil ketika Mamak, begitu panggilan Wuri terhadap Ratih, ibu dari Awan, memintanya untuk segera mengusahakannya untuk memiliki cucu. Awan adalah anak bungsu di keluarga mereka. Anak sulung Ratih meninggal dunia karena leukemia saat masih kecil. Itulah kenapa Awan dijadikan harapan Ratih dan suaminya, Gunawan, untuk menimang cucu dari Awan.

“Kamu kenapa?” tanya lelaki berkepala pelontos dan berkulit pucat itu. Lelaki itu duduk di kursi roda dengan tatapan kosong. Khoirul sudah tidak bisa melihat, sejak setahun lalu karena tumornya sudah menggerogoti syaraf penglihatannya.

“Tidak apa-apa. Ayah sudah makan?” tanya Wuri mengalihkan pembicaraan. Wuri menggantungkan tasnya, lalu berlalu ke belakang untuk meraih botol minum dari kulkas. Wuri menuangkan air bening dingin itu masuk ke dalam gelas. Wuri meneguk habis isi gelas itu.

“Duduklah, Nak.” Pinta Khoirul lembut. Khoirul sudah cukup mengenal anak bungsunya itu. Walaupun sekuat apapun Wuri menyembunyikan kegelisahannya, tapi Khoirul sadar bahwa Wuri sedang tidak baik-baik saja.

Wuri menuruti ayahnya, ia duduk di sofa di samping kursi roda Khoirul.  Khoirul membuka telapak tangannya. Wuri mengisinya dengan telapak tangannya. Khoirul menggenggam erat tangan Wuri, Wuri menundukkan kepala, lalu menangis tanpa suara. Wuri menyumpal mulutnya dengan tissue agar ia bisa menyembunyikan tangisnya yang sudah ia pendam sejak diperjalanan dari rumah Ratih dan Gunawan tadi.

“Ayah tau, Wuri sedang menangis. Tidak apa-apa, Nak. Menangislah. Sini, di pelukan Ayah..” ucap Khoirul lembut. Wuri bangkit dari duduknya, lalu memeluk Khorul. Sudah sangat lama. Terakhir kali Wuri menangis di pundak Khoirul, delapan tahun lalu, sesaat setelah Awan berhasil melewati ijab kobulnya. Wuri menangis sejadinya di pundak Khoirul. Ia yakin, setelah ini, dirinya pasti akan menyesal karena membuat Khoirul tau bahwa ia sedang bersedih.  Khoirul menepuk pundak putrinya beberapa kali. Setelah selesai menangis, Wuri duduk bersimpuh di lantai, sambil  kepalanya bersandar ke kedua lutut Khoirul yang tertekuk di atas kursi roda. Khoirul mengusap rambut Wuri perlahan, usaha dirinya untuk menenangkan Wuri hanya sebatas itu. Ia tidak bisa mengusahakan lebih dari itu.

“Wuri bukan Tuhan, Yah.” Ucap Wuri bergetar, “kata dokter, kami berdua bisa memiliki anak. Hanya saja, ketentuan memang bukan ada pada kami.” Ucap Wuri lagi. Khoirul sudah bisa menerka, tidak ada masalah Wuri dan Awan selain keturunan. Keduanya sudah sangat dewasa dalam menghadapi masalah pernikahan. Hanya, desakan orang sekitar yang kerap membuat Wuri terpuruk.

“Apa yang harus Wuri perbuat, Yah? Apa Wuri harus menyerah?” Wuri bertanya lagi, sesekali ia mengangkat tangan untuk menyeka tetesan air mata yang menetes di pipi. Hati Wuri hancur. Tiga hari sekali, seperti biasa, Wuri datang berkunjung ke rumah mertuanya. Di sana, biasanya Wuri di sambut dengan kehangatan. Namun nyaris dua tahun, Wuri mendapatkan sikap berbeda. Ia merasa di acuhkan. Awalnya Wuri merasa kalau kesibukan Awan, lalu ia jarang menemui kedua orangtuanya yang membuat Ratih dan Gunawan sensitif terhadap Wuri. Namun ternyata bukan itu. Mereka kini lebih tegas masalah cucu.

“Wuri. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha. Berdoa, itu juga termasuk usaha. Allah sudah mengatur semua urusan dan rezeki manusia di dunia. Tidak ada yang tau, tidak ada yang bisa memperkirakan semua kehendak-Nya.” Khoirul berkata lembut. Ratih dan Gunawan pernah mendesak Awan dan Gunawan untuk melaksanakan program bayi tabung atau IVF. Wuri dan Awan sudah lakukan. Tapi, usaha itupun belum kunjung berhasil.

“Sudah Mama bilang, kan? Mama dan Papa menyarankan kalian IVF di Singapore. Anak teman Mama ada yang berhasil di sana. Tapi, masih aja kamu ngeyel Wuri untuk tetap di sini! Apa sih yang kamu pertimbangkan selain punya anak?”

Perkataan sinis Ratih selalu terngiang di benak Wuri. Pada saat itu, memang Ratih dan Gunawan mendesak agar Wuri program di luar negeri. Namun Wuri menolak karena Wuri memikirkan ayahnya yang tidak bisa terlalu lama ia tinggalkan. Selain itu Awan mengatakan bahwa IVF di Indonesia ada yang lebih baik dibandingkan luar negeri. Kini, setelah gagal, Ratih dan Gunawan menyalahkan Wuri. Hanya Wuri.

“Nak, kalau bisa Ayah memohon permohonan yang bisa langsung dikabulkan oleh Allah. Allah mungkin akan lebih mendesak Dia untuk mengabulkan. Ayah ingin lekas pergi.. Toh, hidup Ayah tidak ada gunanya lagi di dunia ini. Tapi, Allah belum mengambil Ayah. Hikmahnya, Allah masih memberikan kesempatan kepada Ayah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.” Ucap Khoirul, “kamu juga harus seperti itu. Kamu, harus mengerti, bahwa setiap takdir yang digariskan oleh Allah itu ada hikmahnya.” Sambung lelaki tua itu.

“Ayah jangan bicara seperti itu. Wuri ingin selamanya dengan Wuri.” Wuri meraih tangan Khoirul dan mencium telapak tangan lelaki itu beberapa kali.

Harapan Wuri tinggal Awan. Wuri selalu berdoa agar Awan tidak bosan untuk selalu sabar menanti buah hati mereka, dan tidak tertekan oleh hasutan Ratih dan Gunawan.

“Sekarang tidurlah. Lalu hubungi Awan. Sedari pagi Awan belum pulang,” pinta Khoirul.

“Baik, Yah.” Wuri menghapus air matanya yang membasahi pipi. Lalu ia beranjak bangun, dan berjalan menjauhi Khoirul. Wuri nyaris melupakan Awan yang memang dari semalam mengatakan bahwa hari ini ia akan sangat sibuk karena ia akan membatu bakti sosial operasi bibir sumbing di rumah sakitnya. Bila seperti itu, Awan akan berangkat pagi dan pulang sangat larut.

Di tinggal dinas mendadak adalah risiko istri seorang dokter, terlebih dokter anastesi seperti Awan. Sejak awal menikah, Awan sudah sering melakukan hal seperti ini. Namun, tiga bulan terakhir, jadwa Awan sepertinya sangat padat, sampai beberapa kali, Awan harus menginap atau pergi ke luar kota untuk menjadi pembicara di beberapa seminar ilmiah. Bagi Wuri, selama Awan mendedikasikan dirinya untuk orang lain, Wuri tidak pernah mempermasalahkan itu.

Wuri menempelkan teleponnya di telinga setelah menekan layar datar di ponselnya. Terdengar suara nada sambung beberapa kali, agak lama, sebelum akhirnya terdengar suara lemas Awan.

“Awan, ini sudah jam delapan malam. Kamu masih ada operasi?” tanya Wuri.

“Hah, iya. Aku masih ada beberapa kali operasi lagi. Kamu tidur duluan saja. Kalau aku lelah, mungkin aku akan bermalam di kamar jaga, dan pulang besok pagi.” Jawab Awan.

“Baiklah. Jangan terlalu lelah sayang,” Wuri berkata lembut.

“Baiklah. Kamu juga ya. See you honey.” Tutup Awan.

Love you..” Wuri berkata, namun belum ia mendengar jawaban, telepon Awan sudah terputus. Wuri meletakkan gawainya ke sakul. Ia berjalan lunglai masuk ke dalam kamarnya. Kehidupan pernikahan seperti ini sudah ia jalani selama delapan tahun. Memiliki suami baik, lembut, dan bisa menerima segala kekurangan istri, ternyata tidak luput dari cobaan rumah tangga. Wuri dan Awan bisa saling menerima, namun tidak dengan mama dan papa Awan. Wuri membuka pintu kamar, berjalan ke atas tempat tidur, dan merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Kedua tangan Wuri renggangkan. Ia menatap lurus ke langit-langit kamar ia dan Awan.

Hal seperti ini sering I lakukan bila ditinggal Awan dinas malam. Seandainya Wuri memiliki anak, mungkin Awan tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama di rumah sakit.

“Ya Allah. Kabulkanlah doa kami.” Bisik Wuri pelan. Setetes air mata jatuh di ekor matanya. Doa itu yang selalu ia panjatkan tiap malam, tidak pernah bosan ia panjatkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status