Share

Chapter 5 - Kegundahan yang Sama

Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan.

Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan.

“Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hinggap, Wuri takut Ratih menyarankan hal yang tidak sepantasnya kepada Awan.

Wuri bangun dari tidurnya, ia melihat bayangan tubuh lunglainya di depan cermin. Bayangan hitam di bawah matanya mulai terlihat akibat tangisan Wuri semalam. Kehidupan Wuri berjalan begini saja selama ini, Wuri selalu menjadi istri penurut, setia kepada suaminya yang kerap meninggalkannya pergi untuk bekerja.

Drrt.. Terdengar suara ponsel Wuri bergetar.

Wuri buru-buru mengangkat panggilan telepon.

“Hm,” Ucap Wuri malas. Telepon dari Gian, salah satyu dari dua sahabat Wuri. Orang yang dekat dengan Wuri hingga sekarang hanya tersisa Gian, dan Umara. Keduanya sudah menjadi sahabat Wuri sejak sekolah menengah pertama. Tidak ada lagi teman lain selain mereka di tengah kehidupan Wuri, karena Wuri tidak memikirkan berteman. Melihat Gian dan Umara membawa serta anak-anak mereka saat bertemu, sudah membuat Wuri berkecil hati.

“Kenapa lagi Wu, kenapa lemes begitu?” tanya Gian penuh semangat,

“Baru bangun,” jawab Wuri malas.

“Hah? Jam segini?” Gian menyindir.

“He-em..”

“Wu, gue kasih saran deh sama lu, kalau bisa lu jangan kebanyakan makan jajanan pinggir jalan. Lu kan lagi promil..” ucap Gian,

Wuri mengerutkan alis, terlihat bayangannya yang sedang berada di depan cermin westafle di kamar mandi, “maksud lo apaan, Gi?” tanya Wuri bingung.

“Iya, maksud gue, lu kalau bisa, gak usah deh beli makanan pinggir jalan. Lu itu harus makan yang sehat-sehat.” Sambung Gian.

“Siapa yang makan jajanan pinggir jalan, Giii? Gue udah hampir tiga tahun ga makan begituan.” Jawab Wuri sedikit meninggikan suaranya. Gian terdiam, suasana telepon hening, sesekali terdengar tangisan anak kedua Gian yang menandakan Gian masih tersambung dengannya,

“Gi? Halo?” Wuri memanggil Gian yang tiba-tiba diam, berbeda seperti semula yang terus bicara nyaris tanpa jeda, “pingsan?” ejek Wuri.

“Eh, i-itu, berarti gue salah lihat ya. Hahaha..” tawa Gian pecah, namun kali ini tidak seperti biasa, tawa Gian terdengar seperti dipaksakan.

“Apaan sih, Gi? Udah deh ya, gue mau mandi, gue mau jemput Awan ke rumah nyokapnya,”

“Jemput? Awan di rumah mertua lu?” tanya Gian lagi,

“Iya. Semalam Awan ada operasi. Pagi ini baru balik, dia langsung ke rumah Mama.”  Jelas Wuri.

“Oh, iya deh. Ya udah, lu mandi dulu deh Wu. Oh ya, sore ini jadi ke rumah Umara?” tanya Gian sebelum menutup sambungan telepon.

“Gue kayaknya ga bisa deh. Awan baru balik, masa gue jalan.” Tolak Wuri.

“Oke.” Jawab Gian mengerti. Wuri menutup sambungan teleponnya. Wuri termenung sebentar di depan cermin. Ada perasaan menolak untuk kembali melangkahkan kaki ke rumah Ratna dan Gunawan setelah perkataan mereka kemarin. Namun Wuri tidak bisa bersikap seperti itu, karena bagaimanapun mertuanya itu sangat wajar bila sudah sangat merindukan kehadiran cucu. Karena Awan adalah harapan mereka satu-satunya. Mungkin sama seperti Khoirul, hanya saja Khoirul mungkin tidak berani mengungkapkannya.

Khoirul sudah memiliki satu cucu, namun ayah dan ibunya nyaris tidak pernah mengajaknya menemui Khoirul. Kalaupun bertemu, sangat sebentar, belum cukup mengobati rasa rindunya.

***

Wuri mendatangi tempat tidur yang di atasnya ada Awan yang sedang tertidur tengkurap, kepala Awan di miringkan. Terlihat Awan sangat lelah. Wuri duduk di bibir tempat tidur itu perlahan. Wuri melihat dari dekat wajah lelaki yang setiap hari ia nantikan di rumah. Awan adalah lelaki lembut yang nyaris tidak pernah membuat Wuri bersedih. Awan dan Wuri tidak pernah ribut besar dalam rumah tangganya. Awan selalu menuruti semua keinginan Wuri, ia juga membebaskan semua gerak Wuri, tidak pernah mengekang apalagi sampai menyurigai istrinya. Begitu juga dengan Wuri, Wuri percaya, Awan adalah lelaki baik yang tidak akan mengecewakannya.

Sebelum masuk ke dalam kamar Awan di rumah mertuanya ini, Wuri bertemu Ratna yang sedang menyusun sarapan bersama asisten rumah tangganya. Wuri mendatangi Ratna, dan menjulurkan tangannya, seperti biasa setiap kali bertemu, Wuri akan mencium tangan mama mertuanya itu.

“Awan tidur. Dia terlihat lelah sekali,” ucap Ratna setelah memberikan punggung tangannya untuk menyambut salam dari Wuri, “coba saja kalau kalian punya momongan, pasti Awan lebih semangat untuk pulang ke rumah. Di rumah juga dia jenuh mungkin.” Sambung Ratna, kali ini ia sambil menuangkan susu ke dalam gelas Gunawan yang duduk dengan rentangan koran di tangannya.

“Mama,” Gunawan terlihat menegur.

Wuri hanya bisa membalasnya dengan senyum getir. Sudah terlalu lelah untuk menanggapi. Siapa yang tidak ingin memiliki keturunan, Wuri dan Awan sudah berusaha, Tuhan belum mengabulkan. Awan mengatakan, ia akan mengajak Wuri kembali melakukan program IVF untuk kedua kalinya, di tempat yang sama namun dengan profesor berbeda. Awan mendapatkan rekomendasi pakar yang bagus dari teman-temannya. Tetapi tetap saja, Wuri masih memiliki trauma melakukan itu

Wuri mengusap kening Wuri perlahan, sentuhan tangan Wuri membangunkan Awan yang tertidur.

“Hm, hei sayang, sudah datang?” tanya Awan dengan mata masih setengah terkatup. Wuri tersenyum ke arah Awan, ia tidak tau lagi apa yang ingin ia utarakan. Mengutarakan kecewa mendalam kepada Ratna, itu bukanlah sesuatu yang benar. Awan masih milik ibunya, Wuri tidak memiliki hak mengadukan hal itu kepada Awan. Bisa-bisa, Wuri yang akan disungkurkan Awan.

“Hm, apa tidak lebih baik, kamu tidur di rumah kita saja, sayang?” tanya Wuri lembut.

“Oh, hm..” Awan bangun, rambutnya yang sudah mulai memanjang terlihat acak-acakan, “tolong, kacamataku.” Pinta Awan seraya menunjuk kaca mata yang terlipat di atas meja. Wuri tertegun sejenak, perlahan ia meraih frame kacamata milik Awan yang terletak di atas sebuah kartu bertuliskan undangan baby shower, sekilas Wuri membaca tulisan di kertas selembar itu, “Jennifer dan Vaz.” Baca Wuri dalam hati.

“Undangan baby shower, Jenn dan Vaz. Anak kedua.” Jelas Awan seakan bisa mendengar ucapan yang enggan untuk Wuri utarakan. Wuri menyerahkan kacamata itu kepada Awan, Awan menerimanya dan langsung memakainya.

“Begitu mudah Jenn hamil.” Ucap Wuri pelan. Tenggorokannya sudah tebal, menahan tangis yang tidak ingin ia tunjukkan. Awan menggeser duduknya, mendekatkan tubuhnya ke Wuri. Awan menarik Wuri masuk ke dalam pelukannya. Sudah sering Awan melakukan ini kepada Wuri. Hanya pelukan yang dapat mendamaikan Wuri. Tidak bisa dipungkiri, perasaan dengki terkadang kerap muncul saat ada seorang teman yang meminta datang dalam kebahagiaannya.

“Nanti kita juga buat yang banyak, ya?” Awan terdengar menghibur. Tujuh tahun terakhir, Awan hanya bisa membesarkan hati Wuri disetiap bulan tamu bulanan Wuri selalu hadir. Awan sangat sabar menghadapi Wuri yang mudah merasa sedih mengenai itu.

Awan mengusap pundak Wuri. Wuri menyembunyikan wajahnya ke dalam pelukan Awan. Kalau saja Wuri bisa mengatakanyang sebenarnya kepada Awan, mengenai kegundahan yang diciptakan Ratna, mungkin perasaan sakit yang begitu besar ini masih bisa ia tahan, tidak sesakit ini.

"Sayang, kamu ganti parfume?"

Awan melepaskan pelukannya setelah mendengar pertanyaan Wuri.

"Maksudmu?" Tanggapan Awan berbeda. Wuri kenal siapa suaminya. Awan mudah alergi dengan wewangian menyengat, dan Wuri sudah hafal dengan pewangi yang selain wangi juga cocok di penghidu Awan.

"Ini juga bukan wangi parfume ku." sambung Wuri. Awan terlihat menelan ludah, Wuri menatap Awan dalam. Awan semakin salah tingkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status