Bu Endang masih berdebat dengan ibu-ibu yang akan berbelanja sayuran di warung bu sri entah apa yang ia ingin sampaikan. Entah kenapa ia sungguh tidak suka melihat aku yang setiap pagi berangkat kerja menggunakan pakaian rapi, rok sepan selutut berwana gelap, blouse dengan renda di bagian dada juga tas seperti orang kantoran membuatku terlihat anggun kata orang.
“Dara kerja di salah satu perusahaan kosmetik yang terkenal itu loh yang ada di televisi iklannya,” ucap bu Lastri.
"Ibu Lastri tahu darimana, masa sih cuma lulusan SMK bisa kerja kantoran apalagi di perusahaan kosmetik besar, duh aku nggak percaya!” balas bu Endang.
Aku melewati ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung bu Sri, Ku ucapkan permisi karena mengedepankan sopan santun yang diajarkan oleh orang tuaku. Senyuman ramah serta basa-basi di balas oleh para ibu-ibu. Aku sangat lega akhirnya bisa melewati mereka semua.
“Tuh bu, si Dara baru kerja jadi admin saja bajunya sudah sok formal banget,” cetus bu Endang.
“Kalau pakai daster itu namanya ibu-ibu yang mau kerja di dapur bu Endang,” sahut bu Sri.
“Nanti anakku kalau udah lulus kuliah terus kerja, pakai bajunya lebih mentereng dan status sosialnya lebih tinggi daripada Dara,” balas bu Endang.
Kalimat itu terdengar olehku walau samar-samar biarkan saja ibu Endang dan gengnya mau berkata apa, yang penting aku tidak menyusahkan mereka. Mempunyai tetangga biang gosip seperti ini emang membuat semua gerakan kita seperti di awasi cctv hidup.
***
Hari ini tepat pukul sebelas siang ada sebuah truk pengangkut barang berisi sebuah kulkas dua pintu besar. Bukan Endang namanya jika tidak kepo dan heboh sendiri ingin tahu siapa sih tetangganya yang membeli kukas baru. Truk pengangkut barang itu distop oleh bu Endang, ia bertanya pada sang supir.
"Pak nyari alamat rumah siapa?" kata bu Endang kepo.
"Oh ibu Sri penjual sayuran bu, di sebelah mana ya?” tanya si supir.
Bu Endang semakin menjadi ia berpura pura membeli ikan di rumahku padahal mah mau bergosip ria, karena dia menyaksikan ada tetangga membeli perabotan baru. Selain hatinya panas ia juga sangat iri jika ada tetangga membeli perabotan baru.
"Bu Siti, masih ada sisa ikan tonggol nggak?” tanya bu Endang.
“Kebetulan sisa satu bu,” jawab ibuku,
Bu Endang memutar matanya ke segala sudut rumahku yang tidak ada frezzer baru tempat menyimpan ikan dirumah. Yang ada freezer lama yang sudah mulai memudar warnanya, ini kesempatan bu Endang membuka topik tentang kulkas baru.
“Bu Siti kulkas penyimpan ikan udah lama begitu kok ndak beli baru sih, masa kalah sama bu Sri yang Cuma dagang sayur beli kulkas baru,” ucap bu Endang.
“Alhamdulilah bu Sri bisa beli kulkas baru bu, doakan saya segera menyusul beli kulkas baru juga ya,” jawab ibuku seraya masuk ke dalam rumah.
“Eh diajak ngobrol kok malah kabur, iri ya saya bilang bu Sri beli kulkas baru?” teriak bu Endang.
Bu Endang menggerutu sendiri karena ditinggal bu Siti masuk ke dalam rumah. Lagian niat beli ikan saja ngomongin orangnya berjam jam. Bu Endang tak kehabisan akal untuk mencari bahan gosip baru. Dia pergi ke warung sayuran bu Sri yang baru saja membeli kulkas.
"Walah bu Sri beli kulkas baru toh, tadi saya lihat loh truk pengangkut kulkasnya,” ucap bu Endang.
"Iya bu Endang, ini buat naruh frozen food," jawab Bu Sri.
Bu Endang memang benar-benar kebangetan menurutku, baru juga kulkasnya nyampe dan bu Sri masih membereskan dagangannya yang tadi dimaksud kedalam kulkas, ia mengucapkan kata-kata yang membuat ibu Sri tersinggung.
“Bu Sri kalau beli kulkas di mana, pasti kredit ya bu, biasanya kan kalau pedang beli perabot pada kredit, bayar harian apa bulan?” tanya bu Endang asal nyerocos saja.
“Eh bu Endang, mau saya beli kulkas chas atau kredit urusan sama bu Endang apa?!” gertak bu Sri dengan keras karena jengkel dengan kekepoan bu Endang yang menjadi-jadi.
Bu Endang menenangkan bu Sri yang keluar darah tingginya. Dia membela diri sendiri hanya bertanya dan bu Sri tidak perlu marah seperti itu. Bu Endang tetap membenarkan dirinya sendiri kalau biasanya para pedagang itu kalau mau kredit barang selalu disetujui cepat.
“Eh jangan marah bu, biasanya begitu kan, la wong bu Sri ambil ponsel saja kredit harian,” sahut bu Endang.
“Ambil ponsel kredit harian juga saya bayar sendiri tidak bu Endang yang bayar angsurannya!” seru bu Sri sewot.
"Lagian Bu Endang ini kepo nya minta ampun, ada tetangga beli apa langsung deh harus tahu apa yang di beli tetangga, mau tahu aja urusan tetangga," kata Bu Lastri.
Bu Endang masih menyangkal omongan dari bu Lastri sesama tetangga itu harus berbagi informasi. Kalau kredit perabotan atau apapun itu ya tetangga yang lain harus tahu. Siapa tahu ada yang membutuhkan informasi perkreditan untuk para ibu-ibu yang ingin perabotan baru tapi belum cukup uangnya. Kalau beli cash nanti uangnya tidak cukup. Solusinya ya kredit, istilah kerennya tidak kredit tidak punya barang.
"Loh bukan begitu bu, saya ‘kan pengen tahu kalau beli kulkas kredit itu di mana siapa tahu saya juga mau ambil kulkas baru juga," kata Bu Endang.
"Emang kulkas bu Endang rusak, kulkas banyak banyak buat apa bu?" tanya bu Lastri ikut sewot.
"Suka suka saya Bu, suami saya gajinya gede, mau beli apa saja suka suka saya," jawab bu Endang seraya meninggalkan warung bu Sri.
Bu Sri dan Bu Lastri geleng kepala melihat tingkah laku Bu Endang selalu kepo dengan urusan orang lain. Mungkin besok bu Endang juga akan membeli kulkas jika sudah melihat tetangganya membeli kulkas baru. Pertanyaan dari bu Endang sudah mengalahi seorang reporter. Begitu banyak yang ditanyakan dan jawaban dari yang diberi pertanyaan harus lengkap. Jika tidak ia akan terus bertanya sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan.
“Ini baru kulkas loh bu Lasti, bu Endang sudah sedemikian rupa keponya, dasar biang gosip desa Jati Asih,” celetuk ibu Sri.
“Sudah biarkan saja, kita di desa ini sudah hafal sekali perilaku bu Endang, jadi ya anggap saja angin lalu saja, bu Sri,” balas bu Lastri.
Mereka berdua tertawa sendiri mengingat kejadian yang barusan terjadi. Ada tetangga membali kulkas baru saja bu Endang sudah kebakaran jenggot. Apalagi kalau ada tetangga yang beli mobil aduh kebayang nggak sih seperti apa keponya bu Endang. Ada anak lulusan SMK jadi admin kantoran digosipkan juga, pokoknya tidak ada yang bisa lepas dari lambe lamisnya bu Endang ini.
“Coba tebak setelah ini akan ada gosip apa lagi dari bu Endang?” tanya bu Sri sembari tertawa.
~Bersambung~
Bu Lastri menggaruk kepalanya saat bu Sri memberinya sebuah pertanyaan apa lagi yang bisa di gosipkan oleh bu Endang di kampung ini. aduh mereka sudah tidak bisa menebaknya lagi karena hampir semua orang digosipkan oleh bu Endang. “Bukan gosip kali bu, tapi bu Endang juga akan membeli kulkas juga,” sahut bu Lastri. “Benar juga, selain jago gosip bu Endang ini suka ngiri ama tetangganya,” balas bu Sri. *** Tepat satu bulan aku bekerja menjadi admin, saatnya gajian untuk yang pertama kali bagiku. Aku teringat kalau dirumahku televisi masih televisi tabung jaman dulu dan itu juga sering rusak. Aku berniat sore ini pergi ke toko elektronik membeli televisi. Dalam perjalanan pulang aku bertemu bu Endang. Bukan bu Endang namanya jika tidak kepo dengan apa yang aku bawa. Bu Endang kepo dengan kotak kardus tipis panjang bergambar televisi yang aku bawa. “Eh Dara baru pulang kerja ya, emm itu bawa apa?” tanya bu Endang basa-basi. “iya bu baru pulang kerja, ini saya sengaja beli televisi
Aku tidak menggubris pertanyaan bu Endang. Karena sudah ada angkot yang datang aku segera naik ke angkot. Aku bisa gila jika meladeni bu Endang yang gemar bergosip ria itu. Aku menggerutu kesal di dalam angkot. “Sepertinya sudah aman, walau dia teriak-teriak seperti orang gila begitu aku tidak peduli,” gumam ku setelah angkot melaju. “Dasar tidak sopan ditanya orang tua tidak menjawab, awas saja berita heboh Dara mau kuliah akan segera aku sebar di desa ini. Semalam ia pulang di antar mobil sekarang mau kuliah, pasti dia sekarang menjadi simpanan om-om,” gerutu bu Endang sambil jalan. Bu Endang kembali ke warung sayuran milik bu Sri dan kembali bergosip di sana. Masih banayk ibu-bu yang silih berganti ke tukang sayuran itu. Dengan nada tinggi biar semua ibu-ibu mendengarkan bu Endang memulai gosipnya. "Dara itu kerja apa to, sebenarnya?" tanya bu Endang yang pura-pura memilih sayuran. "Admin kan bu, di kantoran," Jawab bu Sri. "Aku kok mulai curiga lo sama anaknya bu Siti itu, b
Jadi certianya bu Lastri menghubungi ponsel ibuku. Tapi berhubung ibuku itu sedang ke kamar mandi aku yang angkat telepon itu. Beliau juga minta ijin karena ingin menjenguk aku yang sedang di rawat di rumah sakit. Kebiasan di desa Sukma Jaya ini memang masih memiliki rasa tenggang rasa walupun banyak tukang gosipnya. Mereka akan datang membesuk tetangganya yang sakit atau menolong tetangga yang kesusahan itulah sisi baiknya hidup di desa ini."Bu siti, apa benar anak ibu di rawat di rumah sakit, boleh kan kami menjenguk?” tanya bu Lastri lewat sambungan telepon.“Betul bu Lastri saya memang di rawat di rumah sakit, maaf ya saya yang angkat telepon ibu sedang berada di toilet,” jawabku.“Eh nak Dara, kata Doktter kamu sakit apa?” tanya bu Latri lagi.“Oh hanya kecapekan saja bu, saya ada telat makan, jadi lambung saya kena,” jawabku atas pertanyaan bu Lastri.Aku juga menegaskan kepada bu Lasti
Aku yang menjawab pertanyaan bu Endang itu. Tentu saja bu Endang belum pernah melihat teman-teman kerjaku sebelumnya karena semuanya bukan penduduk asli desa Sukma Jaya tempat tinggalku.“Mereka adalah teman-teman kerjaku bu Endang,” jawabku singkat.“Ayo-ayo silahkan masuk,” ajak Bu Endang.Aku memperhatikan gerak-gerik bu Endang yang mungkin mulutnya sudah gatal ingin bertanya banyak kepada teman-temanku. Beruntung bu Lastri berinisiatif mengajaknya pulang sebelum mengorek informasi lebih kepada teman kerjaku.“Bu Endang ayo kita pulang, gantian yang berkunjung. Kita kan sudah lama mengobrolnya,” ajak bu Lastri.“Loh kok buru-buru ngapain sih bu Lastri, saya belum selesai mengobrol dengan anak-anak uda ini. dandanan necis mirip sales panci ini pada kerja dimana. Bener to bu mereka ini berpakaian mirip sales panci yang suka keliling desa?!” ucap bu Endang asal saja.Aku ingin marah mendengar u
Menurut informasi yang aku dengar dari tetangga Bu Endang membawa anaknya untuk periksa ke Dokter. Keluhan yang dia rasakan adalah mual muntah, kepala pusing seperti penyakit lambung yang aku alami beberapa hari lalu karena kecapekan kerja dan telat makan.“Dokter kok antrenya ngalahin antre sembako ya ma,” ucap Fitri sambil menahan mual.“Namanya juga Dokternya terkenal bukan Dokter abal-abal ya ngantri lah Fit, kamu ini gimana,” balas bu Endang.Fitri ke toilet karena tidak tahan dengan mualnya. Dia lemas di dalam toilet dan mengingat apa yang ia lakukan. Ia sampai ketakukan sendiri tidak berani segera keluar toilet. Sampai bu Endang menggedor pintunya karena sebentar lagi gilirannya periksa.“Fitri kamu tidak pingsan di toilet ‘kan, jangan buat mama khawatir sebentar lagi giliranmu periksa loh,” ucap bu Endang dari luar toilet.“Enggak kok ma Fitri baik-baik saja, tunggu sebentar ya,” jawab F
Aku sudah sampai rumah segera mandi dan ganti baju. Dari balik kamarku terdengar gosip kalau bu Endang sedang bertengkar dengan suaminya. Ia protes karena tak tega mendengar Fitri menangis dan tidak betah berada di pondok pesantren. Waktu telepon dengan keluarga juga terbatas. Bu Endang dan pak Nurdin beradu debat masalah ini.“Ibu nggak mau tahu pak, pindahkan Fitri ke sekolah agama dekat sini saja, nggak perlu di pesantren segala. Bapak nggak kasihan sama anak?!” seru bu Endang.“Ibu sendiri toh yang bilang ke tetangga kalau anak kita sedang memperdalam ilmu agama, kenapa sekarang berubah pikiran,” jawab pak Nurdin.“Memperdalam ilmu agama nggak harus ke pesantren ‘kan pak, sekarang banyak berdiri sekolah agama terpadu kok,” balas bu Endang.“Ibu kalau terus-terusan membela Fitri yang berbuat salah. Bapak masukkan ibu ke pesantren saja sekalian biar enggak ngegosip saja kerjaannnya sama tetangga, kalau sud
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa ditambah atau dikurangai. Aku memang menunggu Rendi anaknya bu Lastri di depan gang. Kenapa tidak di rumah karena Rendi dari arah tempat kerjanya jika harus pulang masuk gang menjemputku masuk gang itu akan sangat merepotkan bukan?“Begitu ceritanya pak RT dan warga sekalian, lagipula kami sudah menjelaskan kepada bu Endang kenapa bertemu di depan gang,” ucapku.“Dara betul pak kami memang janjian berangkat ke kampus bersama. Hari ini kami pertama masuk itu juga bu Endang sudah tahu. Beliau kan suka kepo sama urusan orang. Kenapa jadi malah bertengkar dengan ibu saya?” tanya Rendi.Warga yang mendengar klarifikasiku dan Rendi langsung langsung menyoraki bu Endang yang emang pembawa malapetaka alias tukang fitnah yang tidak jelas sehingga menyebabkan keributan di rukun tetangga sini. Untung pak RT di sini bisa menjadi penengah dan tidak membela salah satu pihak.“Tenang bapak-b
Aku tertawa mendengar pertanyaan pak Nurdin ke istrinya. Ya sudah pastilah pak istrinya kepanasan kalau enggak kenapa julid terus minta pasang dirumah. Eit tunggu biasanya kalau sedang bertengkar dengan suami atau permintaanya tidak keturutan bu Endang tetanggaku itu akan membuat ulah. Kira-kira akan membuat ulah apa ya?“Dara ini mangga dari kampung, saya bagi sedikit ya daripada nggak kemakan,” ucap bu Sri.“Wah terima kasih ya bu Sri, semoga rejekinya semakin berkah,” jawabku.“Amin sama-sama Dara, saya kan sering ngerepotin ibumu, jadi ya ada sedikit rejeki saya bagi,” balas bu Sri lagi.Bu Sri sudah berjalan meninggalkan rumahku. Aku lihat bu Sri berjalan ke rumah bu Arum dan bu Lastri. Namanya bertetangga kan emang rumahnya berdekatan. Waduh sepertinya mangga yang bu Sri tadi bawa sudah habis.“Loh bu Sri kok nggak ke rumah bu Endang?” gumamku.“Kenapa toh Dar?” tanya ibuku ya