Share

Tetangga Yang Membesuk

Jadi certianya bu Lastri menghubungi ponsel ibuku. Tapi berhubung ibuku itu sedang ke kamar mandi aku yang angkat telepon itu. Beliau juga minta ijin karena ingin menjenguk aku yang sedang di rawat di rumah sakit. Kebiasan di desa Sukma Jaya ini memang masih memiliki rasa tenggang rasa walupun banyak tukang gosipnya. Mereka akan datang membesuk tetangganya yang sakit atau menolong tetangga yang kesusahan itulah sisi baiknya hidup di desa ini.

"Bu siti, apa benar anak ibu di rawat di rumah sakit, boleh kan kami menjenguk?” tanya bu Lastri lewat sambungan telepon.

“Betul bu Lastri saya memang di rawat di rumah sakit, maaf ya saya yang angkat telepon ibu sedang berada di toilet,” jawabku.

“Eh nak Dara, kata Doktter kamu sakit apa?” tanya bu Latri lagi.

“Oh hanya kecapekan saja bu, saya ada telat makan, jadi lambung saya kena,” jawabku atas pertanyaan bu Lastri.

Aku juga menegaskan kepada bu Lasti untuk tidak usah repot-repot datang ke rumah sakit karena tinggal nunggu Dokter untuk memeriksa aku sudah bisa pulang. Kemungkinan habis magrib aku sudah bisa pulang ke rumah. Ibu-ibu bisa datang ke rumah jika ingin membesuk pasti pintu rumahku akan terbuka lebar. Juga aku berjanji akan menjawab semua pertanyaan yang akan diberikan oleh ibu-ibu semua yang penasaran kenapa bisa aku masuk rumah sakit.

“Oh begitu ya Dara, baik kalau begitu semoga lekas sembuh ya dara,” ucap bu Lastri sambil mematikan teleponnya.

Aku merasa lega karena sudah menjelaskan kepada bu Lastri tentang penyakit apa yang menimpaku. Para warga desa sukma jaya yang mendengar aku sudah sampai di rumah terutama ibu-ibu mereka bersiap untuk datang ke rumahku. Informasi ini aku dapatkan dari ibu Lastri yang selalu mengirim pesan ke ponsel pribadi.

Singkat cerita ibu Endang si biang gosip ini aku dengar berteriak di rumah bu Sri si penjual sayuran. Maklum jarak rumah kami hanya dua rumah jadi kan ya kedengeran.

“Bu Sri, jadi ke rumah ke ibu Siti nggak menjenguk anaknya yang baru pulang dari rumah sakit, saya sudah siap ini bu!” teriak bu Endang sambil mengetuk pagar rumah bu Sri.

“Eh bu Endang, ngapain teriak-teriak di depan rumah orang seperti ini, cukup bunyikan bel saja saya sudah dengar. Ganggu orang ibadah saja ini kan masih waktu magrib!” teriak suami dari bu Sri.

Bu Endang mendebat perkataan dari suami bu Sri yang semakin aku pusing mendengarnya. Beliau berdua terdengar semakin keras beradu argument sehingga mengganggu warga sekitar. Bu Endang ini memang keras kepala sekali.

“Bu Endang ini loh kok nggak mau kalah, suami saya ‘kan benar ini masih masuk waktu magrib jadi banyak warga yang masih ibadah,” ucap bu Sri.

“Di muhola saja sudah selesai solat kok, emang keluarga bu Sri ini doa apa kok lama banget. Apa jangan-jangan ikut aliran sesat?” tanya Bu Endang.

Terdengar pula dari rumah kalau suami bu Sri semakin kesal dengan ulah bu Endang yang semakin menjadi. Aku sampai kesal juga mendengarnya dari rumah karena suaranya bu Endang ini sungguh super keras sekali. Memang benar sih mengganggu orang yang masih beribadah. Untung suami bu Sri ini tidak menanggapi karena di katakan menganut aliran sesat.

“Sudah pak masuk rumah saja sana, bu Endang mulutnya juga jangan kelewatan untuk yang ibu hadapi ini suami saya, coba kalau sama orang lain bisa di tampar mulut ibu!” seru ibu Sri.

“Gitu aja marah, udah itu telpon bu lastri juga ibu-ibu yang lainnya keburu malam nanti,” balas ibu Endang sewot.

Aku mengintip dari balik jendela kamarku yang berada di lantai atas. Terlihat ibu Sri sedang memainkan ponsel mungkin menunggu ibu-ibu yang lainnya yang akan menjenguk ke rumah. Duh harus kuat mental kalau menghadapi bu Endang dan ibu-ibu lainnya ini. Mereka akan senang jika ada gosip juga akan membicarakannya selama berhari-hari.

“Akhirnya bu Lastri datang juga, dandan lama amat sih sampai jamuran aku menunggu di rumah bu Sri,” ucap bu Endang.

“Saya sebelum keluar rumah itu menyiapkan makanan untuk suami yang baru pulang kerja juga buat anak-anak memangnya saya terlihat dandan menor apa?” tanya bu Lastri yang kesal dengan kalimat yang keluar dari bu Endang.

Suara mereka terus terdengar dari dalam rumahku. Bu Endang terus memprovokasi ibu Lastri yang tampak sudah kelihatan sewot itu. “Anak sudah pada gede juga ditinggal besuk tetangga sebentar juga bisa kali,

Aku juga masih mendengar bu Endang mengoceh yang mungkin jika aku jadi bu Lastri akan merasa sakit hati dan tidak mau lagi berteman dengannya. Sungguh mulut tetangga yang tidak bisa dikontrol.

“Bu Lastri ini jaman sudah canggih loh. Bisa pesan online makanan jika istri sedang ada urusan sebentar, suami kok manjanya minta ampun,” ibuh bu Endang.

“Bu Endang harusnya paham, kenapa istri harus pandai memasak dan mampu melayani suami, karena jaman sekarang banyak pelakor. Kalau bu Endang santai-santai saja bagaimana kalau suami bu Endang tiba-tiba kawin lagi hayo?” tanya bu Lastri.

Aku tertawa sendiri dari dalam kamar mendengar obrolan mereka, sungguh tetangga yang unik apa-apa di bahas kena mental nggak tuh bu Endang di skak sama bu Lastri. Bu Endang masih bisa bercanda kalau suaminya berani kawin lagi akan memotong burungnya. Sungguh membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Terdengar pula itu Sri meminta mereka berdua untuk segera berhenti berdebat karena masih menunggu satu ibu-ibu lagi geng mereka namanya bu Arum.

“Jangan berantem lagi coba kamu telpon bu Arum untuk segera datang karena hari sudah malam,” pinta bu Sri.

“Halo ibu-ibu maaf ya menunggu lama,” ucap bu Arum sebelum di telpon sudah muncul di antara mereka.

Sepertinya aku mendengar kegaduhan lagi. Karena terdengar dari pertanyaan bu Endang yang penasaran dengan apa yang dibawa oleh ibu Arum. Waduh gawat nih pasti ada gosip apa lagi ya setelah ini. Aku kembali menguping percakapan mereka.

“Lama banget sih sih bu Arum, eh tapi bu Arum sedang bawa apa itu?” tanya bu Endang yang siap bergosip.

“Ini brosur biaya pendidikan di kampus anak saya, ini buat Dara!” tegas bu Arum.

Aku masih setia menguping percapakan mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh bu Endang setelah mengetahui aku memang titip ambil brosur kuliah di tempat anaknya bu Arum tetanggaku yang dulu satu smk denganku.

“Brosur kampus? Aku jadi penasaran gajinya Dara itu berapa untuk lulusan SMK juga kerja dimana sih sebenarnya?” tanya bu Endang mulai kepo.

“Bu Endang ini kenapa sih, gaji kecil kalau mau hidup prihatin juga bakal kesampaian apa yang diimpikan, sudah ayo lekas ke rumah bu siti jangan menggosip terus!” seru bu Arum.

Aku mengintip dari jendela kamar mereka berempat sudah berjalan menuju rumahku. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu kalau mereka akan menjenguk aku. Duduk diam di kamar saja agar tidak kelihat habis mengintip dan menguping pembicaraan mereka.

“Assalamualaikum bu Siti!  Kita datang rame begini ganggu enggak ya?” seru bu Endang.

“Masuk bu ibu, enggak apa-apa kok, ayo silahkan duduk,” balas ibuku.

Ibuku memanggil aku yang ada di dalam kamar untuk turun ke bawah menemui ibu-ibu yang datang menjenguk. Sebenarnya aku sangat malas sekali karena harus meladeni ibu tukang gosip seperti ibu Endang ini.

“Gimana Dara keadaan kamu, kata Dokter sakit apa?” tanya bu Endang yang sudah tidak sabar mengorek informasih.

“Hanya asam lambung naik karena telat makan dan juga kecapekan kerja,” jawabku singkat.

Aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang ditanyakan oleh ibu Endang yang kepo tingkat dewa. Seakan memancing keributan. Aku hanya bisa menahan amarah karena merasa ibu Endang lebih tua tidak pantas kan kalau aku harus membantahnya apalagi di depan orang banyak. Asyik mengobrol dengan para ibu-ibu ini sebuah rombongan datang ke rumahku.

“Assalamualaikum, ibu Siti kami datang menjenguk Dara,” ucap seseorang dari rombongan yang baru datang ke rumahku.

“Walaikumsalam, eh siapa ya kok pakai pakaian formal dan wajahnya cantik dan bagus? Aku belum pernah melihat kalian loh di Desa ini!” celetuk bu Endang yang tingkat kekepoannya tinggi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status