Pak Maulana masuk ke dalam ruangannya di ikuti oleh Irma dan juga pak Roni. Aku tak mau tahu mereka akan di omeli seperti apa kali ini. Emang dasarnya sudah bermuka tembok makanya tidak kapok melakukan kesalahan apapun."Dara kamu sudah mendingan belom, makan itu camilannya atau enggak besok kamu cuti sehari. Sekarang pulang juga nggak apa-apa," ucap bu Sari."Tanggung lima dokumen lagi aku selesaikan terus ijin pulang ya," jawabku.Bu Sari menyetujuinya aku segera mengerjakan pekerjaanku tapi karena sedang sakit jadi agak lama dari biasanya. Teleponku berdering ada panggilan masuk dari Nungki tapi aku abaikan aku ingin fokus pada pekerjaanku dahulu."Telepon nggak diangkat Dara. Siapa tahu penting?" tanya bu Sari."Dari Nungki sih nanti saja deh bu. Aku mau fokus selesaikan dokumen ini," jawabku.Bu Sari mengerti seperti apa aku. Jika sudah fokus pekerjaan aku tidak akan melakukan hal yang tidak penting. Selang satu jam berlalu pekerjaanku selesai tepat
Irma berdalih kalau ibu Rania itu tidak tulus mencintai suami sirihnya kini. Kalau sudah berkeluarga untuk apa pisah harta segala berarti dari awal dia sudah menyiapkan untuk berpisah dengan pak Roni."Aku merebut apa, menikmati apa, Nungki kamu jangan menghinaku. Yang namanya suami istri itu ya harta harus bersama kenapa harus di pisah segala. Berarti dia tidak tulus mencintai pak Roni," ucap Irma."Sungguh kasihan kamu Irma tidak mendapatkan apa-apa setelah menghancurkan rumah tangga orang," ledek Nungki.Nungki mendorong Irma agar menjauh dari hadapannuya mungkin dia sudah terlalu jijik melihat Irma dan pamannya yang selalu ada di mana-mana. Ia juga berkata pada Irma untuk bekerja agar sibuk dan tidak terus-terusan mengganggu kehidupan orang."Dara ayo pulang sudah waktunya pulang besok ijin saja kita akan fitting baju pengantin," ucap Nungki padaku."Baiklah kalau begitu, semuanya aku pulang dulu ya," pamitku.Saat aku akan meninggalkan
Terjadi perdebatan antara bu Sri dan juga bu Endang. Bu Endang tak terima di doakan cepat mati sedangkan bu Sri memang hanya mengingatkan sesama tetangga karena hidup ini hanya ibarat mampir minum untuk apa selalu menjatuhkan satu sama lain."Bu Sri kamu sengaja doakan aku mati ya. Kalau ternyata kamu mati duluan bagaimana?" tanya bu Endang sewot."Saya ini hanya mengingatkan bu Endang aupaya cepat tobat bukan cepat mati. Hidup di dunia ini tidak lama bu hanya sebentar saja," jawab bu Sri.Bu Endang tak merasa melakukan kejahatan dia merasa apa yang ia lontarkan kepadaku adalah hal yang jujur dan benar. "Orang di kampung sini itu emang aneh. Siapa aih yang jahat sekarang gini saja ya. Dara itu emang tidak pernah to bergaul sama orang kelas atas. Apalagi orang tuanya hanya penjual ikan di pasar bau amis. bergaulnya juga pasti sama pedagang di pasar bau asem juga. Apa yang salah dari perkataanku!" seru bu Endang."Iya benar kok apa yang dikatakan bu Endang. T
Semua orang sudah tidak mempedulikan bu Endang lagi. Alih-alih enggan menawab pertanyaannya para ibu-ibu itu pulang ke rumah masing-masing mereka berkata tidak akan menggubris bu Endang lagi yang sekarang terlihat mulai stres karena memikirkan anaknya."Sudah ayo pulang jangan ladeni orang stres," ajak bu Lastri."Iya bu betul jangan ladeni orang yang hatinya dipenuhi kedengkian sama tetangga," balas bu Arum.Lucu sekali percakapan tetanggaku itu. Kadang mereka sohiban tapi kadang kalau satu nggak ada diomongin. Yah beginilah kehidupan di lingkunganku ini dikatakan tidak sehat tapi terlihat harmonis. Dikatakan harmonis tapi orangnya suka saling menusuk."Dar, sepertinya kita harus membawa bu Endang ke Dokter deh," ucap Doni."Lah apa bu Endang pingsan di luar karena kecapekan teriak-teriak?" tanyaku gugup siapa yang mau gotong karena tubuhnya gemuk begitu kalau pingsan kan berabe.Doni menjawab kalau bu Endang harus dibawa ke rumah sakit jiw
Ibu duduk di bangku meja makan lalu menceritakan apa yang terjadi. Warga sedang heboh dengan berita Fitri yang dilamar anak pemilik pondok yang sudah mempunyai dua istri."Ya seperti biasa dong dimana lagi gosip disini cepat tersebar kalau bukan di warung bu Sri," balas ibuku."Tidak usah mendengarkan cerita hoax yang belum tentu benar adanya bu. Ratna juga tidak akan tinggal diam kalau dilangkahi adiknya. Apalagi pak Nurdin mana mau anaknya dijadikan istri ketiga," jawabku.Ibu mengangguk dan berkata perkataanku ada benarnya juga. Tidak ada yang mengijinkan anaknya menjadi selir atau hanya menjadi istri kedua apalagi istri ke tiga.Pak Nurdin pasti tidak rela melepaskan anaknya begitu saja."Tapi kalau seandainya kejadian bagaimana Dar?" tanya ibuku."Ya mau gimana lagi sudah menjadi ketetapan yang maha kuasa," jawabku.Aku selesai sarapan lalu berangkat kerja. Bulan ini terakhir kerja di tempat pak Maulana aku diterima di perusahaan baru yang lebih besa
Aku menoleh ke sumber suara ternyata beberapa orang terlihat sedang melerai pertengkaran antara bu Lastri juga bu Mutia. Entah apa yang menjadi penyebabnya bukankah tadi mereka masih haha hihi mengomentari Fitri yang akan menjadi istri ke tiga. Kenapa sekarang jadi baku hantam seperti itu."Kehidupan di sini sungguh membuat kepala pusing," ucap Nungki."Yah seperti itulah tinggal di sini. sudahlah ayo jalan. Nanti juga ada yang mengabariku ada gosip apa di kampung ini," balasku.Nungki melajukan kembali mobilnya menuju perusahaan tempatku bekerja. Kami berpisah sementara karena bekerja di tempat yang berbeda."Sampai ketemu nanti sore ya," ucap Nungki sambil membunyikan klaksonnya."Hati-hati di jalan Nungki. Sampai ketemu nanti sore," balasku sambil melambaikan tangan.Hari ini pekerjaan terasa ringan dan cepat selesai. Aku pulang ontime sendirian karena Nungki masih ada banyak urusan. "Ibu, aku pulang," ucapku sambil duduk di dekat ibu yang memega
Pak Hansip datang melerai keduanya yang sedang bertengkar tak tahu waktu itu. Sudah malam masih jambak-jambakan seperti anak bocah yang berkelahi padahal sudah nenek-nenek."Hentikan apa kalian ini tidak ingat umur kalau berkelahi besoknya mati gimana hah!" bentak pak Hansip."Dia buat aku jengkel pak hansip. Janji hutang berdua bayarnya separoan tapi beberapa kali mangkir dan malah pamer perhiasan ke warga desa," jawab bu Mutia.Pak Hansip tetap menyalahkan perbuatan mereka yang tak tahu aturan itu. Apa nggak malu di lihat anak cucu mereka sendiri. Sudah tua harusnya pada taubat ingat mati ini semakin menjadi juga bertengkar seperti bocah."Iya saya tahu bu Mutia kalau bu Lastri mungkin salah tapi tidak pantas juga sudah nenek-nenek bau tanah berkelahi sampai jambak-jambakkan seperti ini. Kalau tiba-tiba struk gimana? Yang rugu kalian yang sengsara anak cucu yang mengurus," nasihat pak Hansip."Biarin saja pak hansip jangan melerai mereka, itu karena mereka
Bu Endang menolak dan juga mengatai aku sebagai pencari muka pada warga biar dianggap bijak juga ingin menjadi populer di depan para warga. Aku tak mempedulikan bu Endang berkata apa yang jelas sekarang adalah persetujuan dari warga."Setuju, kami setuju kalau anak bu Endang juga anak bu Mutia di hadirkan di sini untuk klarifikasi sebenarnya apa yang terjadi sehingga orang tuanya pada bertengkar masalah anak seperti ini," balas pak Hansip."Kalian ini sudah pada tua, pada bangkotan bau tanah juga kenapa menyetujui ocehan anak baru kemarin sore seperti Dara ini. Nanti dia semakin besar kepala dan tak hormat lagi pada kalian!" seru bu Endang.Beberapa warga meneriaki bu Endang sebagai orang yang gila hormat, gila jabatan, serta ingin selalu disanjung oleh warga desa sukma jaya.Orang tua tidak selalu benar, juga anak muda juga sepenuhnya salah. Tapi walaupun anak muda yang benar ya tetap kalah sama yang tua."Saya setuju saja sih bu Endang. Daripada kami penas