"Ayo ikut menyusul mereka makan bakso. Seger banget kelihatannya, nggak usah mikirin yang belum terjadi!" seru ibuku.Loh kenapa ibuku juga ikut ke bale-bale makan bakso bersama mereka ibu-ibu sukma jaya. Aku jadi semakin cemas karena sudah tahu watak bu Endang dan Ratna akan menuding kami yang tidak-tidak. Pikiranku kenapa jadi kemana-mana membayangkan akan terjadi pertempuran sengit Di bale-bale semakin ramai orang. Ada Husna dan kedua anaknya, pak hansip, pak rt juga mbak Janda yang selalu di gosipkan oleh bu Endang."Kamu nggak mau gabung sama kita. Sudah nanti aku yang urus kalau ada yang rese!" seru Nungki suamiku."Ba-iklah makan bakso mungkin akan menyegarkan pikiran apalagi yang pedes. Makan bersama seperti ini juga akan menyenangkan dan memberikan kenangan tersendiri, nanti kalau kita sudah aktivitas lagi momen seperti ini juga jarang," balasku padahal hatiku masih cemas dengan kemurkaan Ratna.Perasaanku jadi cemas awalnya setelah membaur dengan ibu-ibu juga mengobrol apa
Terjadi adu mulut antara bu Endang dan suaminya, pak hansip langsung melerainya karena ini adalah hal sepele tidak ada yang perlu diributkan."Kenapa harus malu pak, orang Ratna sudah memenuhi janjinya kok membelikan bakso yang penting kan judulnya bakso toh!" seru bu Endang."Sudah bu Endang kalau mau langsung pesan saja baksonya nggak usah bertengkar mumpung ada bos yang membayari bakso kita semua. malu masa perkara bakso saja ribut," ucap pak Hansip.Bu Endang melengos dan bertanya siapa bos yang membayar. Tentu saja mereka kompak yang membayar baksonya adalah suamiku dan juga makanan yang banyak juga minuman sirup dan teh manis itu ibu-ibu membawanya dari rumah.Sontak bu Endang menolak mendengar siapa yang menaktrir dia mengatakan ini adalah sebuah penghinaan yang diterima karena aku sengaja menaktrir warga kampung agar Ratna telihat jelek dan berada di bawahku."Ibu ini ngomong apa sih. Di traktir orang kok nggak mau. Itu tandanya menolak rejeki nggak baik tahu. Fitri boleh satu
Pak Nurdin menjawab kalau selama ini kekurangan bu Endang adalah selain egois juga sering ikut campur urusan tetangganya. Pak Nurdin sudah menegur berkali-kali istrinya itu tapi tak didengarkannya. "Ibu sering membuat malu bapak juga memberikan contoh yang tidak baik untuk anak-anak," ucap pak Nurdin."Memberikan contoh yang tidak baik bagaimana. Kalau aku asal-asalan mendidik Ratna dan Fitri tidak mungkin mereka semua berprestasi juga mendapatkan beasiswa semasa sekolah mereka," balas bu Endang.Pak Nurdin sekali lagi menasehati bu endang tidak baik bersaing dengan tetangga. Tidak baik juga sering membuly dan ikut campur urusan keluarga orang lain. Karena belum tentu mereka akan senang dengan apa yang dikomentari oleh lidah yang yang tak bertulang ini."Kalau bisa bapak bilangin minta maaf sama keluarga pak Harun. Kalau tidak bisa ya sudah bapak sudah angkat tangan ngurusin kalian," ucap pak Nurdin."Kok bapak tega sih pak sama ibu. Ibu itu cuma belain Ratna loh pak biar nggak di pa
Nungki hanya tersenyum mendengarkan pertanyaanku. Baginya berapa total ia membayar bakso tidaklah seberapa. Suamiku itu memberitahuku bahwa kedekatan dan membaur dengan masyarakat sekitar apalagi mendengarkan keluh kesah mereka adalah kebahagiaan sendiri."Sedikit saja aku bahagia bisa membaur bersama bapak-bapak dan ibu-ibu di kampung ini yang sebelumnya belum pernah aku rasakan," balas Nungki."Jadi nggak mau memberitahu berapa totalnya nih pengeluaran malam ini? Nggak apa-apa sih aku juga ikut senang bisa menyenangkan banyak pihak," balasku sambil merangkul Nungki berjalan pulang ke rumah.Akhirnya aku bisa tidur di kamar ini lagi setelah beberapa bulan aku tinggal. Aku tak pernah lagi menginap di sini setelah menikah paling hanya mampir sebentar saja."Bagaimana rasanya tidur dikamar gadis yang sekarang jadi istriku ini ya," gumam Nungki sambil rebahan di sampingku."Sekarang sudah merasakan 'kan. Maaf ya ranjangnya sempit dan sedikit berdebu maklum saja jarang digunakan," balasku
Bu Sri menotal berapa jumlah pembelianku lalu aku membayar seharga yang di ucapkan bu Sri. Ingin segera pergi meninggalkan warung sayur tapi ternyata ada Ratna dan ibunya yang sedang menuju warung sayuran bu Sri mereka sengaja menghadangku."Eh ada orang kaya. Kok belanjanya di warung sayuran kampung nggak ke swalayan, apa sudah turun kasta?" ucap Ratna."Maaf ya suamiku sedang menungguku di rumah, kalau tidak ada urusan lebih baik aku segera pulang dan memasak. Lagipula aku sedang menginap di rumah ibu apa salahnya memajukan usaha tetangga, di sini juga jauh dari swalayan," jawabku sambil mencoba menerobos halangan Ratna untuk segera ke rumah.Ratna masih menahanku untuk pulang dia masih tak terima mungkin masalah semalam yang mempermalukan dirinya. Bukan aku yang membuat dirinya malu atau bu Sri dan para ibu lainnya mencemooah Ratna tapi akibat ulahnya sendiri yang tidak masuk akal membelikan bakso tusuk untuk di bagi-bagikan."Kamu merasa bersalah ya ingin cepat pulang?" tanya Ratn
Aku langsung nggak selera makan karena melihat siapa yang masuk rumahku. Dia adalah bu Endang entah apa yang dia ingin lakukan. Membuatku ingin mengguyurkan sayur ke wajahnya sayang aku hanya bisa berangan-angan saja."Orang kaya punya restoran banyak cabang tapi makan sama sayur dan sambel saja," ledek bu Endang."Lah emang kenapa toh bu kalau punya restoran terus makan sederhana di rumah?" tanya ibuku.Sudah menerobos ke dalam dapur orang tapi masih mencemooh makanan orang. Dasar manusia nggak beretika berisik sekali bisanya. Membuat kami kesal sekali sarapan di ganti sama manusia seperti bu Endang ini."Ya setidaknya bawa makanan dari restoran ke rumah mertua kek. Pelit banget romannya," balas bu Endang."Loh ini kami mau ke restoran yang dekat sini apa bu Endang mau ikut? Lumayan kan makan gratis bu!" seru ibuku.Bu Endang nyengir saja dan menuding ibuku sengaja pamer kalau punya mantu kaya. Padahal hanya restoran saja semua orang nggak perlu sekolah tinggi asal punya modal bisa m
Ibuku menegaskan kalau menantunya bukan kurang ajar melainkan memang benar keadaannya begitu. Pagi-pagi memnuat ribut di rumah orang apakah itu sungguh perilaku terpuji sebagai seseorang yang lebih tua."Bu Endang ini sudah tua ya harusnya memberikan contoh yang baik dong, kalau nggak mau di tegur cobalah bertindak yang sesuai etika," jawab ibuku."Bagian mana dari saya yang nggak sesuai etika bu?" tanya bu Endang."Lebih baik bu Endang pulang pulang instropeksi diri. Daripada saya yang jelaskan nanti ibu makin kesal sama saya terus bergosip kemana-mana," balas ibuku.Bu Endang marah tak terima karena di suruh instropeksi diri oleh ibuku. Bu Endang mengatakan perilakunya wajar saja tidak ada yang aneh dan neko-neko. Pagi ini pun beliau merasa apa yang dikatakannya masih wajar saja karena memang benar ada tetangga mempunyai mantu kaya tapi makan di rumah cuma pakai sayur bening saja."Kalian itu yang harusnya instropeksi diri. Saya nggak punya salah saya ini lebih tua harusnya di horm
Bu Endang pergi karena sewot mungkin dia pergi langsung meninggalkan rumah kami. Yah karena tak ada yang dikerjakan lagi kami semua langsung mandi dan bersiap ke restoran."Bu kami pergi dulu ya, nanti di kirim deh makanan untuk makan siang," ucapku."Nggak usah kalau kamu sibuk," balas ibuku.Aku dan Nungki pergi ke depan menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Seperti biasa ada ibu-ibu yang nongkrong di bale-bale mereka tampak heboh bercerita apa saja yang mereka ingin ceritakan."Siapa ini yang beli dipan?" tanya bu Endang."Nggak tahu ayo kita lihat di anter ke siapa dipan itu," jawab bu Arum.Aku hanya nyengir kuda mendengarnya nasib-nasib punya tetangga seperti mereka ada yang beli barang barang baru aja langsung heboh sekampung. "Ke rumah bu Lastri kali kan anaknya habis nikahan kemarin," balas bu Mutia."Kok berhenti di situ sih, heh bocah tolong lihatin kemana itu turun dipan," pinta bu Endang ke beberapa bocah yang main.Bocah suruhan bu Endang pergi mengikuti tukang