Nungki hanya tersenyum mendengarkan pertanyaanku. Baginya berapa total ia membayar bakso tidaklah seberapa. Suamiku itu memberitahuku bahwa kedekatan dan membaur dengan masyarakat sekitar apalagi mendengarkan keluh kesah mereka adalah kebahagiaan sendiri."Sedikit saja aku bahagia bisa membaur bersama bapak-bapak dan ibu-ibu di kampung ini yang sebelumnya belum pernah aku rasakan," balas Nungki."Jadi nggak mau memberitahu berapa totalnya nih pengeluaran malam ini? Nggak apa-apa sih aku juga ikut senang bisa menyenangkan banyak pihak," balasku sambil merangkul Nungki berjalan pulang ke rumah.Akhirnya aku bisa tidur di kamar ini lagi setelah beberapa bulan aku tinggal. Aku tak pernah lagi menginap di sini setelah menikah paling hanya mampir sebentar saja."Bagaimana rasanya tidur dikamar gadis yang sekarang jadi istriku ini ya," gumam Nungki sambil rebahan di sampingku."Sekarang sudah merasakan 'kan. Maaf ya ranjangnya sempit dan sedikit berdebu maklum saja jarang digunakan," balasku
Bu Sri menotal berapa jumlah pembelianku lalu aku membayar seharga yang di ucapkan bu Sri. Ingin segera pergi meninggalkan warung sayur tapi ternyata ada Ratna dan ibunya yang sedang menuju warung sayuran bu Sri mereka sengaja menghadangku."Eh ada orang kaya. Kok belanjanya di warung sayuran kampung nggak ke swalayan, apa sudah turun kasta?" ucap Ratna."Maaf ya suamiku sedang menungguku di rumah, kalau tidak ada urusan lebih baik aku segera pulang dan memasak. Lagipula aku sedang menginap di rumah ibu apa salahnya memajukan usaha tetangga, di sini juga jauh dari swalayan," jawabku sambil mencoba menerobos halangan Ratna untuk segera ke rumah.Ratna masih menahanku untuk pulang dia masih tak terima mungkin masalah semalam yang mempermalukan dirinya. Bukan aku yang membuat dirinya malu atau bu Sri dan para ibu lainnya mencemooah Ratna tapi akibat ulahnya sendiri yang tidak masuk akal membelikan bakso tusuk untuk di bagi-bagikan."Kamu merasa bersalah ya ingin cepat pulang?" tanya Ratn
Aku langsung nggak selera makan karena melihat siapa yang masuk rumahku. Dia adalah bu Endang entah apa yang dia ingin lakukan. Membuatku ingin mengguyurkan sayur ke wajahnya sayang aku hanya bisa berangan-angan saja."Orang kaya punya restoran banyak cabang tapi makan sama sayur dan sambel saja," ledek bu Endang."Lah emang kenapa toh bu kalau punya restoran terus makan sederhana di rumah?" tanya ibuku.Sudah menerobos ke dalam dapur orang tapi masih mencemooh makanan orang. Dasar manusia nggak beretika berisik sekali bisanya. Membuat kami kesal sekali sarapan di ganti sama manusia seperti bu Endang ini."Ya setidaknya bawa makanan dari restoran ke rumah mertua kek. Pelit banget romannya," balas bu Endang."Loh ini kami mau ke restoran yang dekat sini apa bu Endang mau ikut? Lumayan kan makan gratis bu!" seru ibuku.Bu Endang nyengir saja dan menuding ibuku sengaja pamer kalau punya mantu kaya. Padahal hanya restoran saja semua orang nggak perlu sekolah tinggi asal punya modal bisa m
Ibuku menegaskan kalau menantunya bukan kurang ajar melainkan memang benar keadaannya begitu. Pagi-pagi memnuat ribut di rumah orang apakah itu sungguh perilaku terpuji sebagai seseorang yang lebih tua."Bu Endang ini sudah tua ya harusnya memberikan contoh yang baik dong, kalau nggak mau di tegur cobalah bertindak yang sesuai etika," jawab ibuku."Bagian mana dari saya yang nggak sesuai etika bu?" tanya bu Endang."Lebih baik bu Endang pulang pulang instropeksi diri. Daripada saya yang jelaskan nanti ibu makin kesal sama saya terus bergosip kemana-mana," balas ibuku.Bu Endang marah tak terima karena di suruh instropeksi diri oleh ibuku. Bu Endang mengatakan perilakunya wajar saja tidak ada yang aneh dan neko-neko. Pagi ini pun beliau merasa apa yang dikatakannya masih wajar saja karena memang benar ada tetangga mempunyai mantu kaya tapi makan di rumah cuma pakai sayur bening saja."Kalian itu yang harusnya instropeksi diri. Saya nggak punya salah saya ini lebih tua harusnya di horm
Bu Endang pergi karena sewot mungkin dia pergi langsung meninggalkan rumah kami. Yah karena tak ada yang dikerjakan lagi kami semua langsung mandi dan bersiap ke restoran."Bu kami pergi dulu ya, nanti di kirim deh makanan untuk makan siang," ucapku."Nggak usah kalau kamu sibuk," balas ibuku.Aku dan Nungki pergi ke depan menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Seperti biasa ada ibu-ibu yang nongkrong di bale-bale mereka tampak heboh bercerita apa saja yang mereka ingin ceritakan."Siapa ini yang beli dipan?" tanya bu Endang."Nggak tahu ayo kita lihat di anter ke siapa dipan itu," jawab bu Arum.Aku hanya nyengir kuda mendengarnya nasib-nasib punya tetangga seperti mereka ada yang beli barang barang baru aja langsung heboh sekampung. "Ke rumah bu Lastri kali kan anaknya habis nikahan kemarin," balas bu Mutia."Kok berhenti di situ sih, heh bocah tolong lihatin kemana itu turun dipan," pinta bu Endang ke beberapa bocah yang main.Bocah suruhan bu Endang pergi mengikuti tukang
Bu Endang ini memang terkenal suka kepo dengan urusan orang lain maksudnya apa coba seperti itu. Ibuku hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh bu Endang. .Baru juga nafas habis duit banyak buat nikahan masa mau nikahan lagi."Tidak bu ini mau dibuat sendiri, kebetulan ada rejeki jadi ya beli," ucap ibuku lalu masuk kedalam rumah. "Nanti juga Ratna katanya dapat perabotan rumah," celetuk bu Endang.Bu Endang mulai bercerita kalau nanti nikahan Ratna pihak lelaki akan membawakan seserahaan berupa perabotan rumah seperti, dipan, kulkas, bangku, dan permintaan dari pihak Ratna sendiri yakni bu Endang. Berbicara sesumbar seperti itu takutnya nanti tidak sesuai ekspektasi saat hati H."Walah emangnya itu orang mana sih bu Endang kok bawainnya perabot segala. Kalah dong si Dara?" kepo bu Mutia."Iya itu orang kebon mujaer, iya lah kalah si Dara menang di bawain uang lima puluh juta doang seserahannya juga biasa saja wajar seperti orang kampung pada umumnya," balas bu Endang.Tidak
Bu Mutia sangat kepo dengan pernikahan yang akan di selenggarakan oleh keluarga bu Endang. Aku sih pernah dengar kalau tetanggaku itu mintanya tinggi karena beralasan kalau putrinya mempunyai spek yang tinggi."Kata besan saya kemarin kalau mau nikahan di rumah di kasih hanya tiga puluh juta bu, kalau mau nikah di gedung nggak di kasih uang tapi semua biaya di tanggung pihak laki," jawab bu Endang."Terus bu Endang mau nikah di gedung apa di rumah?" tanya bu Sri kepo."Ya saya nggak mau kalau tiga puluh juta. Dara yang miskin dan nggak berprestasi kaya Ratna saja di kasih uang lima puluh juta terus nikah fi gedung kok," jawab bu Endang.Kenapa harus aku jadi patokan bu Endang sih perasaan di kampung sukma jaya ini orangnya ada banyak. Gadis yang seumuran sama Ratna bukan aku saja. Mendengar cerita ini dari tetangga aku sungguh ingin tertawa."Loh apa hubungannya sih sama Dara bu. Itu namanya rejeki Dara bagus bu Endang. Karena Rejeki itu tidak memandang kasta dan harta," balas bu Sri.
Bu Endang berkelit ketika ditanya ada berapa tabungan anaknya yang katanya berprestasi dan karirnya cemerlang itu. Harusnya kalau karir cemerlang sudah punya tabungan banyak dan kebeli ini itu."Tabungan mah jangan di tanya dong bu. Masa bu Siti pengen tahu dapur orang segala. Ya ada lah pokoknya tabungan," balas bu Endang."Asal bu Endang tahu ya. Uang bawaan lima puluh juta itu dipakai buat sewa gedung dan juga pernak pernik nikahan kurang. Kami pihak cewek juga mengeluarkan banyak dana. Apalagi setelah nikah di gedung selama dua jam kami masih mengadakan syukuran di rumah," ucap ibuku.Ibuku karena kesal merincikan setiap pengeluaran yang kami pakai untuk acara pesta pernikahanku beberapa bulan yang lalu. Jangan kira mentang-mentang pihak lelaki memberikan uang lima puluh juta lantas kami semua tidak mengeluarkan uang sepeserpun."Jadi seperti itu bu Endang. Jangan apa-apa di limpahkan pihak lelaki saja jadi tidak ada harga dirinya sama sekali nanti pihak perempuan," ucap ibuku."A