Bu Endang menimpali karena para ibu-ibu di sini selalu memuja dan memuji keluarga kami. Padahal yang berprestasi itu adalah Ratna. yang pantas di sanjung itu adalah Ratna."Kamu bisa saja ngelesnya ya bu Arum. Kamu dan para komplotanmu itu selalu memuji Dara dan suaminya. Baru bisa beli emas batangan begitu saja pada heboh nggak ketulungan. Emang berapa sih harganya. Kalau palsu bagaimana. Kaya saya nggak mampu beli aja!" seru bu Endang."Ya belilah kalau mampu. Kalau asli ada hologramnya bu. Ada barcode scannya bisa di cek saja. Masa kalah sama tukang sayuran kaya saya punya investasi emas batangan sampai lima puluh gram loh," ucap bu Sri. Bu Endang memusuhi bu Sri jadinya. Bilang katanya tukang bual tukang bohong. Tukang tipu suka adu domba buat apa sih pamer-pamer. "Sudahlah bu Endang, bu Sri jangan adu debat terus. Saya dan suami saya niat baik datang ke sini bukan untuk ribut seperti ini," ucapku."Halah Dara kamu mah sama saja. Pengen banget di akui sebagai istri orang kaya. N
Bu Endang sedikit berubah raut wajahnya karena mendengar pertanyaan Nungki. Ia mengatakan kalau tidak jadi di gedung. "Saya tidak jadi di gedung mengingat rundingan kerabat di rumah saja. Biar semuanya bisa menikmati masakan di hajatan saja. Biar ngirit juga soalnya setelah menikah nanti banyak keperluan yang akan di tanggung pengantin," ucap bu Endang."Bilang saja nggak ada duitnya," sahut bu Sti.Bu Endang terlihat adu mulut sama bu Sri perihal nggak jadi nikahan di gedung. Mau nikahan di gedung atau tidak yang penting sah tidak ngutang. Tidak ngerepotin tetangga juga. Itu adalah pembelaan dari bu Endang."Mulut kamu kok beracun sih. Emangnya yang punya uang cuma kamu doang hah?" tanya Bu endang kesal."Loh kalau ada duitnya mah sudah nikah di gedung terus pakai tukang riasnya yang mahal. Ngapain juga loh ngomong bebelit begitu. Banyak omong tapi kenyataan kosong," balas bu SrI.Suasana tidak seperti yang ku bayangkan mendingan sekarang aku melerai mereka kemudian pulang. Tinggal
Bu Endang mendengus kesal atas pertanyaan bu Sri. Karena hari sudah sore dan larut bu Endang istirahat karena besok adalah acara pernikahan anaknya tercinta. Gadis paling berprestasi yang selalu ia banggakan."Ratna kamu adalah gadis cantik di kampung ini. Di dandani mangklingi," ucap bu Endang memuji anaknya."Ya jelas dong bu. Aku ini putri paling cantik di kampung ini. Walau nikahan hanya di rumah dandanan dari MUA yang aku pilih pasti yang paling baik," balas Ratna memuji dirinya sendiri.Acara akad tiba. Akhirnya Ratna sah menjadi istri orang. Tamu dari besan sudah pulang. Mendadak sepi rumah bu Endang."Undangan yang katanya seribu orang itu mana sih?" tanya bu Sri sambil kipas-kipas wajahnya."Iya sesumbar mulu undangan seribu orang. Katanya di rumah saja biar teman kerja Ratna pada datang. Mana sih aku juga ingin cuci mata melihat Dokter, perawat dan petugas medis lainnya yang cakep-cakep," balas bu Arum.Rumpian tetangga mulai terdengar. Aku dan Nungki masih di tempat nikahan
Nungki hanya mengatakan kalau selama ini bu Endang selalu menindasku. Lalu selalu menggunjing keluargaku. Kami semua tahu kalau bu Endang saat kami menggelar acara resepsi. Dia yang paling depan menghujat apa saja yang kami lakukan. Sekarang mungkin dia sedang mendapatkan karma atas perbuatannya tempo hari."Itu aku menertawakan orang yang gemar menggunjing orang. Segala makanan dan riasan dan tega juga dikomentari orang. Emang enak apa dia perlakukan seperti itu sama tetangga," balas Nungki."Iya juga sih tapi kan kasihan Nungki. Sudah yuk kita salaman kasih selamat. Lalu kita pulang saja," pintaku.Aku dan suamiku memberikan selamat kepada pengantin yang berada di atas altar pengantin. Kami berfoto bersama kemudian segera pulang. Daripada mendengarkan bisik-bisik tetangga yang beracun lebih baik segera pulang saja. Nanti juga ada yang mengabari lewat telepon atau chat pesan singkat."Selamat ya Ratna sudah menjadi istri sah sekarang. Semoga langgeng sampai kakek nenek ya," ucapku."
Bu Lasti mengatakan memang itu adalah daging burung dara bukan daging ayam. Memang ada ayam tapi tidak banyak. Yah mungkin memang dananya tidak ada. Ada sih tapi ya mungkin sedikit."Memang itu burung dara siapa bilang ayam," balas bu Lastri."Pantas kecil sekali. Ya ampun kalau aku pasti sudah malu banyak omong ini itu tapi ya begitu deh. Tidak sesuai kenyataan," ucap bu Sri.Mereka saling mengobrol dan membicarakan keburukan bu Endang yang sedang hajatan. Ketika sore tiba memang datang orang dari rumah sakit tapi hanya sedikit saja. Mereka kembali menggunjing di pojokan."Eh tahu nggak sih kalian kalau teman Ratna sudah pada datang?" tanya bu Arum."Yang sebelah mana teman Ratna? Apakah banyak yang datang rumah sakit kan besar pasti temannya banyak ya," balas bu Mutia yang sudah tidak sabar ingin mengetahui seperti apa teman Ratna.
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua