Mey terduduk di lantai sembari memeluk lutut. Air matanya luruh bersama guyuran shower di atasnya.
Dia tidak ingat persis mengapa bisa berakhir di ranjang Ran. Tapi, satu hal yang pasti adalah dirinya sudah tak lagi utuh.Setelah lelah menangis dan kedinginan, dia bangun dan menatap bayangannya di cermin dan mendapati sosok yang menyedihkan. Dengan rambut berantakan dan mata sembab serta beberapa tanda di tubuhnya, dia merasa jijik pada diri sendiri.Sekuat apa pun dia menggosok hingga tubuhnya sakit, bekas itu masih ada.Mey tidak tahu mana yang lebih mendominasi, sakit pada beberapa bagian tubuhnya atau sakit pada hatinya.Bersyukur tidak ada orang di rumah. Kemarin, Mama dan papanya pergi ke Bandung selama dua hari menghadiri pernikahan kerabat.Mey merasa kotor, malu, takut, dan juga marah pada dirinya sendiri. Dia juga marah pada keadaan dan juga pada Randy, hingga berteriak histeris meratapi nasib buruknya.Teringat kembali dengan kejadian satu bulan yang lalu saat dia bertengkar hebat dengan Ivan, pria yang sudah menjalin kasih dengannya selama satu tahun.Ivan sosok pria yang baik dan sopan juga humoris. Pria itu dikirim ke Jepang untuk meninjau proyek kerja sama oleh kontraktor tempatnya bekerja.Seminggu sebelum keberangkatannya, Ivan mengutarakan niatnya untuk memiliki Mey seutuhnya demi menguatkan jalinan kasih mereka yang akan berjauhan.“Kita juga udah setahun Mey, pulang dari Jepang aku langsung ngelamar kamu. Aku akan pake pengaman Mey, kamu ga usah takut,” ujarnya dengan mantap.Mey kaget juga kecewa, pasalnya dari awal dia sudah mengemukakan prinsipnya menolak sex before marriage dan Ivan sudah setuju.Jadilah mereka menjalani pacaran sehat yang hanya nonton dan makan. Ciuman pun hanya sebatas di bibir. Mey tidak peduli anggapan bahwa prinsipnya dibilang kuno. Toh, yang menjalani dan merasakan kehidupannya dia sendiri. Dia juga tidak pernah menghakimi mereka yang biasa having sex meskipun belum menikah.Emosi pun menguasai keduanya.Merasa mampu mencari pengganti masing-masing, kata putus pun terucap dan hubungan mereka berakhir begitu saja. Padahal, Mey sudah memantapkan hati kalau Ivan adalah pilihan terakhirnya.Ivan bahkan sudah akrab dengan kedua orang tuanya. Kedekatan itulah yang juga membuat Mey belum menceritakan kalau hubungannya dengan Ivan sudah berakhir.Mereka sudah menganggap Ivan seperti anak sendiri, tidak etis rasanya menjelaskan alasan yang menurutnya sangat privat di hadapan orang tuanya.“Mama beli baju buat Ivan, tapi kenapa lama ga main ke rumah ya Mey?” tanya mamanya kala itu sambil menunjukkan baju kemeja berwarna khaki.“Mm itu ma, dia ke Jepang ada tugas kantor, emang mendadak makanya ga sempat bilang. Mey juga ga ikutan nganter kok,” dalihnya. Dia harus memikirkan waktu yang tepat untuk mengatakan pada orang tuanya.Tapi kini, takdir seolah menertawakannya.Dirinya yang kemarin mati-matian memegang teguh prinsipnya di depan Ivan, kini malah sudah tidur dengan pria yang belum terlalu dikenalnya.Mey merasa menjadi manusia paling munafik di dunia.***Mey menatap marah pada deretan angka yang muncul pada ponselnya.Mey tidak perlu mengangkatnya untuk tahu bahwa Ran adalah orang yang telah menghubunginya.Menyebut namanya saja, Mey geram bercampur takut. Bagaimana jika bertemu nanti? Sungguh dia tidak bisa membayangkan!Terlebih lagi, dia masih terlibat beberapa project bersama Emperor Hotel mulai bulan depan. Mey kalut dan entah lah segala rasa berkecamuk dalam dadanya.Bagaimana dia bisa bersikap baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa? Ingin dia bercerita tapi entah kepada siapa. Mey merasa malu juga hina.Hari ini, Ran tiba di Jakarta setelah perjalanan bisnisnya selama satu bulan. Selama itu pula, dia selalu menerima laporan dari Riko asistennya untuk memantau kegiatan Meylinda. Menurut informasi yang didapat Riko dari orang Madiya, Mey masih bekerja seperti biasa. Tidak ada perubahan signifikan yang berarti. Namun, Ran tidak bisa untuk tidak gundah, entah kenapa firasatnya mengatakan semuanya tidak baik-baik saja. Bagaimana keadaan Mey yang sesungguhnya?Dari bandara, Ran langsung menuju hotel mengingat tiga puluh menit lagi meeting bersama Madiya akan dilaksanakan. Mey harusnya ikut serta karena mereka terlibat project bersama. Jadi, Ran ingin memastikan secara langsung keadaan perempuan itu.“Lancar Ran roadshownya? Rajin amat udah langsung ngantor, Dion aja kagak ikutan meeting,” kata Romi saat mereka bertemu di loby.“Aman kok.. yukk,” Ran mengacungkan jempolnya dan menepuk pelan bahu Romi sambil menuju ruangannya. Ran duduk di ku
Dilihatnya perutnya yang masih rata. Seminggu lalu dia mencoba testpack saat tamu bulanannya tak kunjung datang. Mey menangis sejadi-jadinya saat melihat hasilnya. Garis Dua. Mengapa takdir seolah mempermainkannya? Apa masih tidak cukup dia kehilangan mahkotanya, kini dia harus mengandung janin yang tidak diinginkannya? Kehadiran janin itu pula yang memaksanya untuk menerima tanggung jawab Ran dalam bentuk pernikahan.Teringat pembicaraannya dengan sang mama tempo hari setelah sekian lama menyimpan semuanya sendiri.“Ma ... Mey ha ... mil …” katanya sambil berderai air mata. Tentu saja, mamanya kaget luar biasa. Dia mengenal persis seperti apa pergaulan Mey dan sulit rasanya mempercayai fakta yang kini dikemukakan putrinya.“Kenapa bisa Mey? Jadi kamu sama Ivan?” belum sempat mamanya menyelesaikan kalimatnya, Mey menggeleng sambil terus menangis.Air matai Mey jatuh tanpa diminta, dia bercerita dengan terbata, sementara mamanya men
Meylinda POVKubanting pintu kamarku menahan amarah dalam dada. Aku muak dengan pertemuan ini. Aku benci berada dalam situasi menyakitkan ini. Segera, kulepas dress yang melekat di tubuhku dan menggantinya dengan kaos rumahan, entah kenapa aku jadi membenci warna hijau. Setelah malam naas itu, aku melihatnya lagi. Dia duduk di depanku bersama kedua orang tuanya. Jarak kami begitu dekat hanya dibatasi sebuah meja. Udara di sekelilingku mendadak hilang. Dadaku sesak menahan segala rasa. Aku ingin berteriak di depannya, menampar, dan melayangkan pukulanku berkali-kali. Sayangnya, itu hanya ada dalam ekspektasiku. Kenyataannya, aku malah menyambut kedatangannya. Menerima pernikahan yang ditawarkannya. Aku bagaikan pesakitan yang tidak punya pilihan. Kini, statusku berubah menjadi wanita malang yang menyedihkan. Aku keluar dari pekerjaanku. Padahal, tinggal menunggu hitungan bulan aku akan sign contract sebagai karyawan tetap. Tapi, dengan j
“Hahh? Serius lu Ran?” tanya Dion“Gilaa ... gercep juga lu,” kata Ariel tak mau kalah“Yang mantan model waktu ketemu di resto itu bukan?” Tak ketinggalan Romi ikut berkomentar saat Ran mengutarakan niatnya untuk melaksanakan acara pernikahan di Emperor Hotel. Tiga minggu lagi, siapa yang tidak gempar? Ran yang selama ini mereka kenal selalu sendiri dan gila kerja, tiba-tiba ingin menikah? Saat itu, Romi yang sedang dinner dengan sang istri, pernah tanpa sengaja berpapasan dengan Ran yang mengajak seorang gadis di restoran. Itu pun hanya sekali dan saat bertemu Ran sedikit pun tidak berniat mengenalkan siapa gerangan yang digandengnya. Dari sang istri yang menekuni dunia modeling, Romi mengetahui kalau gadis tersebut juga sempat terjun di dunia modeling hanya saja sudah vakum. Namun ,ketika Romi bertanya lebih jauh, Ran selalu menutup rapat kisah kasihnya. Di antara mereka bertiga hanya Ran dan Ariel yang masih single. Sementara Dion d
Mey menatap penampilannya yang sempurna tanpa cela. Kini dia sudah mengenakan gaun pengantin yang mengambil konsep International untuk digunakan saat resepsi.Dia melihat cincin yang melingkar pada jari manis tangannya. Hari ini dia sudah resmi berubah status menjadi seorang istri. Dia menghela nafasnya panjang, hatinya gamang. Apakah keputusannya menikah dengan Ran sudah tepat? Namun, kenapa hanya ada keraguan di hatinya? Saat ini, dia berada di salah satu kamar Hotel Emperor yang digunakan sebagai ruang ganti. Bunyi pintu di belakangnya membuyarkan lamunannya. Sang mama tercinta masuk menatap Mey dengan tatapan takjub bercampur haru.“Anak mama hari ini cantik sekali. Bagaimana perasaan kamu nak?” Ditatapnya sang putri dengan penuh kasih sayang. Melihat kesungguhan hati keluarga Ran dalam menyiapkan segala keperluan pernikahan yang tanpa sedikit pun campur tangan Mey, membuatnya tak enak hati. Ran dan keluarganya begitu sabar menghadapi Mey yang a
Setelah perdebatan mereka, Ran setuju untuk tidak menghubungi Mey agar tidak dianggap mengganggu. Sebisa mungkin, Ran berkunjung saat pulang kerja hanya untuk mendapati Mey yang menghindarinya dengan memilih mengurung diri dalam kamar. Kalaupun Ran menginap, dia terpaksa tidur di kamar tamu. Begitu juga ketika makan bersama, Mey akan lebih dulu menyudahi acara makannya karena mual dan kembali ke dalam kamar. Mey benar-benar berniat membangun jarak di antara mereka dan tidak memberikan celah sedikit pun kepadanya. Pagi itu, Mey yang baru keluar kamar melihat Ran yang berdiri sedang memegang ponsel seolah sedang menunggunya. Mey pun berusaha mengabaikan dengan melangkah melewati Ran begitu saja. Namun, panggilan Ran menghentikan langkahnya.“Mey, sebentar saja kumohon,” ujarnya. Dengan posisi yang masih berdiri, Ran melangkah mendekat namun tetap memberi jarak.“Aku ada tugas ke Surabaya selama empat hari.” Ran masih belum melanjutkan kalimatnya seol
“Tu… tunggu, begini Ran,” ujar Mey dengan nada panik. “Kondisi kehamilan juga kaki kamu belum memungkinkan untuk naik turun tangga dulu. Cobalah untuk tidak bersikap egois,” potong Ran dengan cepat. Mey yang merasa tersindir hanya menunduk lesu. Kejadian hari ini memang murni karena ulah dirinya yang egois dan tidak memikirkan kalau kini ada nyawa yang bergantung padanya. Setiap mengingatnya, Mey jadi ingin menangis lagi. Ran benar, Mey tidak mungkin tinggal di rumah orang tuanya dimana kamar tidurnya terletak di lantai atas. Sementara, untuk bertukar tempat dengan kamar orang tuanya di lantai bawah lebih tidak mungkin lagi. Membiarkan mereka yang sudah berumur dan mengalah demi dirinya yang sudah ceroboh, Mey merasa menjadi seorang anak yang jahat. Saat Ran mendengar kabar bahwa Mey terjatuh dan mengalami pendarahan, dia sangat marah. Ran mengira kalau Mey pasti sengaja tidak menjaga kehamilannya dengan benar. Namun, Ran tidak bisa untuk tidak kasihan ketika melihat kon
Tidak terasa sudah satu minggu Mey dirawat di rumah sakit. Di satu sisi dia merasa lega karena sudah diperbolehkan pulang. Namun, di sisi lain dia juga merasa cemas karena mulai hari ini dia akan tinggal bersama Ran. Apakah apartemen itu apartemen yang sama? Apartemen yang menjadi saksi bisu perubahan besar pada hidupnya? Jika memang benar, masih punyakah dia kesempatan untuk menolaknya? Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya hingga dia tidak sadar Mamanya datang menghampiri. “Cuma dua tas ini aja ya Mey?” tanya Mama yang menyela lamunannya. “Mama sama Papa tidak ikut mengantar ke apartemen ya Mey, besok saja kita ke sana,” tambahnya. “Hahh?” Mey memberi respons atas keterkejutannya. Bisa dipastikan mulai dari di dalam mobil hingga tiba di tujuan dia akan berdua bersama-sama Ran. Mey bingung bukan main, tidak mungkin selama di apartemen Ran akan bekerja saja seperti saat menunggunya di rumah sakit bukan? Tapi, dia teringat pembicaraan mereka tempo hari.