Share

Bab 6. Pertemuan Keluarga

Dilihatnya perutnya yang masih rata.

Seminggu lalu dia mencoba testpack saat tamu bulanannya tak kunjung datang. Mey menangis sejadi-jadinya saat melihat hasilnya.

Garis Dua.

Mengapa takdir seolah mempermainkannya? Apa masih tidak cukup dia kehilangan mahkotanya, kini dia harus mengandung janin yang tidak diinginkannya? Kehadiran janin itu pula yang memaksanya untuk menerima tanggung jawab Ran dalam bentuk pernikahan.

Teringat pembicaraannya dengan sang mama tempo hari setelah sekian lama menyimpan semuanya sendiri.

“Ma ... Mey ha ... mil …” katanya sambil berderai air mata.

Tentu saja, mamanya kaget luar biasa.

Dia mengenal persis seperti apa pergaulan Mey dan sulit rasanya mempercayai fakta yang kini dikemukakan putrinya.

“Kenapa bisa Mey? Jadi kamu sama Ivan?” belum sempat mamanya menyelesaikan kalimatnya, Mey menggeleng sambil terus menangis.

Air matai Mey jatuh tanpa diminta, dia bercerita dengan terbata, sementara mamanya menutup mulut menahan tangis.

Saat itu, mamanya marah dan ingin segera menelepon sahabatnya untuk mencaci maki guna melampiaskan amarah. Tapi, dilihatnya Mey yang terus memohon sambil menangis ketakutan membuatnya menunda niatnya tersebut.

“Ran sudah terus menghubungi Ma, tapi Mey masih belum siap. Mey ta ... kut,” ujarnya ketika tangisnya mulai reda.

Mamanya memejamkan mata sambil menarik nafas panjang. Dia sadar, emosi dan amarah tidak akan pernah menjadi solusi.

“Sudah Mey, kita jalani bersama. Mama akan terus ada buat kamu. Pasti ada jalan ya nak,” sambil memeluk putrinya yang malang.

***

Mey menatap malas pantulannya di cermin.

Dia hanya berdandan seadanya. Mengambil asal dress hijau daun di lemari yang menurutnya masih sopan. Tidak ada persiapan khusus bertemu keluarga Ran untuk membicarakan pernikahan mereka.

Mengapa dia harus repot?Toh, dia tidak pernah menginginkan pernikahan ini.

“Sudah siap Mey?” Mamanya muncul dari balik pintu kamar. Dihampirinya sang putri dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak menyangka akan melepas putri semata wayangnya dengan cara seperti ini.

Pertemuan dengan Mama Ran yang merupakan sahabatnya semasa kuliah dulu malah berujung menjadi besan. Tapi, kenapa harus dengan cara seperti ini? Dalam bayangannya, justru Ivan lah yang akan mendampingi putrinya kelak, tapi lagi-lagi manusia hanya bisa berencana.

Ran datang bersama kedua orang tuanya.

Rambutnya sudah dicukur rapi pun bakal janggut juga jambangnya.

Hari ini dia mengenakan kemeja dengan aksen hijau dipadukan celana panjang hitam.

Dia menghembuskan nafas untuk menghalau gugup yang melanda saat kedua orang tuanya bergantian berbicara. Ran diam-diam menatap Mey yang duduk di depannya. Hatinya kembali berdenyut manakala melihat wajah Mey yang terus menunduk seolah enggan melihat kehadirannya.

“Papa mewakili Ran ingin mengucapkan permintaan maaf kepada Mey beserta keluarga. Ran salah, perbuatannya tidak patut. Namun percayalah, Ran bukan orang jahat,” ujar Papa Ran tanpa keraguan sedikitpun.

“Sekarang kamu juga anak kami Mey.Mohon, jangan sungkan jika ke depannya ada hal yang mengganjal dan ingin kamu sampaikan,” lanjut Mama Ran dengan lembut.

Sosok keibuan begitu kental terasa dari nada bicaranya. Mey mengangkat kepala yang sejak tadi menunduk demi melihat lawan bicaranya. Mey mengangguk kemudian menggigit bibirnya. Seolah ada batu yang mengganjal kerongkongannya hingga tiada suara yang keluar.

“Mey ... ” saat Ran memanggilnya mau tak mau matanya mengarah kepada Ran.

Dia merutuki dirinya kenapa tadi malah mengenakan dress hijau yang sekarang malah terlihat seperti janjian dengan kemeja Ran yang juga hijau.

Penampilan Ran lebih rapi dari yang terakhir kali Mey lihat di bar.

“Aku mau minta maaf atas hal buruk yang sudah kulakukan padamu Mey. Aku berjanji mulai hari ini hanya akan ada hal-hal baik yang akan aku lakukan kepadamu juga anak kita.” Ran menatap lekat mata Mey yang seketika berkaca-kaca, mata yang menyiratkan kesedihan mendalam.

Mey meremas sofa yang didudukinya mendengar kalimat terakhir Ran.

Pandangan matanya mengabur oleh air mata. Dia benci kenyataan yang dihadapinya. Dia benci kenapa harus hamil anak dari Ran. Dia menatap satu persatu wajah cemas bercampur gugup di hadapannya.

“Ma… maaf Mey permisi dulu,” ujarnya sambil bangkit berdiri menuju lantai atas.

Mey sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pembicaraan yang menyesakkan dadanya. Yang dia inginkan saat ini adalah menangis sepuasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status