Share

Bab 9. Babak Baru

Mey menatap penampilannya yang sempurna tanpa cela. Kini dia sudah mengenakan gaun pengantin yang mengambil konsep International untuk digunakan saat resepsi.

Dia melihat cincin yang melingkar pada jari manis tangannya.

Hari ini dia sudah resmi berubah status menjadi seorang istri. Dia menghela nafasnya panjang, hatinya gamang. Apakah keputusannya menikah dengan Ran sudah tepat? Namun, kenapa hanya ada keraguan di hatinya? Saat ini, dia berada di salah satu kamar Hotel Emperor yang digunakan sebagai ruang ganti.

Bunyi pintu di belakangnya membuyarkan lamunannya. Sang mama tercinta masuk menatap Mey dengan tatapan takjub bercampur haru.

“Anak mama hari ini cantik sekali. Bagaimana perasaan kamu nak?” Ditatapnya sang putri dengan penuh kasih sayang.

Melihat kesungguhan hati keluarga Ran dalam menyiapkan segala keperluan pernikahan yang tanpa sedikit pun campur tangan Mey, membuatnya tak enak hati.

Ran dan keluarganya begitu sabar menghadapi Mey yang apatis dan keras kepala.

“Kamu sudah menjadi seorang istri sekarang Mey dan sebentar lagi menjadi seorang ibu. Melihat kesabaran dia menghadapi kamu, mama yakin Ran memang orang baik. Dia bersungguh-sungguh menebus kesalahannya. Ada baiknya Ran diberi kesempatan.” Sambil menggenggam tangan Mey, dia berusaha memberi pengertian dengan harapan Mey mau mempertimbangkan ucapannya.

Mey yang sedari tadi hanya diam kembali menghela nafasnya.

“Untuk sementara Mey tinggal di rumah dulu ya Ma, please … ” mohonnya dengan tatapan memelas.

Mendengar jawaban putrinya, tentu saja membuatnya terkejut sekaligus tidak menyangka. Namun, sebelum menyanggah jawaban Mey, ketukan pintu di belakang mereka yang disusul dengan kemunculan Ran dan Mbak Mira membatalkan niat mamanya.

Ran tampak gagah dengan setelan jas berwarna pear white yang senada dengan gaun Mey.

“Selamat siang, Mbak Mey. Sekali lagi selamat atas pernikahannya. Kurang lebih dua puluh menit lagi resepsinya akan dimulai. Nanti, team kami akan datang untuk mengantar kalian berdua menuju ballroom. Pak Ran bisa menunggu di sini dulu ya,” ucap Mbak Mira dengan senyum yang lebar.

Sepeninggal Mama dan Mbak Mira, Ran memandang Mey yang memalingkan wajahnya ke arah lain seolah enggan bertemu dengannya.

Kenyataan bahwa status mereka yang kini berubah menjadi suami istri tetap tidak mampu mengubah sikap Mey padanya.

“Acaranya sebentar aja supaya kamu tidak terlalu capek, Mey. Setelah selesai, kamu bisa istirahat dulu di sini atau mau langsung ke apartemen terserah kamu.” Ran membuka pembicaraan demi memecah keheningan yang selama beberapa saat terjadi.

Mey memejamkan mata sambil menarik nafas panjang.

Apa dia bilang? Apartemen?

Seumur hidup, Mey tidak akan mau menginjakkan kakinya di tempat terkutuk itu. Tempat di mana nasib buruknya bermula.

Tak perlu waktu lama untuk mengutarakan penolakannya, Mey menjawab dengan nada sinis, “Untuk sementara, aku akan tinggal dengan orang tuaku. Aku butuh waktu,” tegasnya tanpa sedikit pun menoleh ke arah Ran.

Seperti yang sudah Ran duga, Mey tidak mungkin sudi untuk tinggal satu atap dengannya.

Ran akan berusaha untuk lebih bersabar lagi menghadapi sikap Mey sekalipun terkadang dia hampir frustrasi. Masih dengan tatapannya yang lekat kepada Mey, Ran tidak bisa menutupi raut kecewanya.

“Baiklah, tapi jangan blokir lagi contactku. Sekarang, kalian tanggung jawabku. Biar bagaimanapun aku harus tau kondisi kalian,” ujarnya dengan tegas.

Mey merasa ada yang berbeda dari kata-kata Ran barusan. Ketika dia mengalihkan pandangannya, Ran sudah bangkit berdiri mengambil rokok dari sakunya dan berjalan menuju balkon kamar melewatinya tanpa menoleh sedikit pun.

Marahkah dia?

***

Dengan bergandengan tangan, mereka memasuki aula ballroom diiringi musik romantis yang begitu pas dengan dekorasi serba putih.

Semuanya begitu indah tiada cacat. Tapi, entah mengapa semua itu tak tersentuh oleh hatinya.

Mey merasa risih, terlebih dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya.

Tamu undangan yang merupakan manajemen serta staf Emperor Hotel bukanlah orang asing bagi Mey. Semua dari mereka sudah pernah Mey lihat sewaktu terlibat proyek kerja sama dengan Madiya Group.

Sebagian besar menatapnya dengan pandangan mencemooh, ada yang sambil berbisik-bisik seolah sedang membicarakannya. Hanya sebagian kecil yang menatap simpati padanya.

Mey bukannya tidak tahu menahu soal gosip yang beredar perihal pernikahannya dengan Ran. Gosip yang lebih banyak menyudutkan dirinya. Padahal, dia lah yang paling dirugikan dalam hal ini. Namun, lagi-lagi Mey memilih diam, tidak mungkin baginya mengatakan yang sebenarnya. Dia terlalu malu untuk jujur.

Sementara itu, Mey melihat orangtua dan mertuanya sudah berdiri di atas pelaminan dengan senyum semringah menyambut kedatangan mereka.

Seperti perkataan Ran, acara resepsinya berlangsung tidak lama. Dan kini Mey sudah kembali ke kediaman orang tuanya. Setelah mengantar kepulangan mertuanya, Mey langsung menaiki tangga menuju kamarnya melewati Ran yang masih duduk di ruang tamu.

“Mey … ” panggil Ran

Akan tetapi, Mey yang sudah lelah mempercepat langkahnya tidak menghiraukan panggilan Ran sama sekali. Saat hendak menutup pintu kamarnya, tangan kanan Ran menghalanginya.

“Mey… aku ingin bicara. Sebentar saja. Setelah itu, aku akan pergi,” ujarnya.

“Bicara apa lagi? Bukannya semuanya sudah jelas?!” Mey bersuara dengan nada tinggi.

Ran pun mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu yang diletakkan di atas meja.

“Pakai ini, untuk membeli apa pun keperluan kalian. Mey, aku akan berusaha sering berkunjung. Jika aku berhalangan, aku mohon sama kamu untuk angkat panggilan aku atau setidaknya pesanku kamu balas. Bisa kan?” ucap Ran panjang lebar.

Melihat Ran menyodorkan kartu debitnya dan memerintahnya begitu saja membuat Mey sebal bukan main.

“Ran, selama ini aku baik-baik saja bersama orang tuaku. Jadi, kamu tidak perlu mengatur apa yang harus aku lakukan. Apa kamu tahu kalau telepon dan pesanmu sangat mengganggu? Kalau bukan karena anak ini aku tidak akan menikah denganmu!” teriaknya frustrasi.

Ran menggenggam erat tangannya berusaha untuk tidak tersinggung atas ucapan Mey.

“Penuhi janjimu untuk menjaganya, aku akan berusaha untuk tidak mengganggumu.” Ran berbicara dengan nada datar setelah menghembuskan nafas kasar dan berlalu dari kamar Mey.

Mey pun terduduk di atas ranjangnya.

Dia membekap mulutnya agar tangisnya tak terdengar. Setelah melampiaskan amarahnya pada Ran, sesaknya tak jua berkurang. Perasaannya semakin semrawut.

Mey bukan orang yang mudah marah maupun suka mencaci maki. Ucapannya tadi keluar begitu saja dari bibirnya. Seketika, ada rasa menyesal yang hinggap di hatinya manakala mengingat raut wajah Ran yang berubah sendu ketika meninggalkannya tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status