"Makanlah dahulu."
Weni menahan Haris yang ingin langsung berangkat bekerja, padahal Weni sudah memasak sejak pagi. Bahkan ia sudah membuatkan kopi, yang biasa menjadi rutinitas sang suami.
"Aku sudah telat," elak Haris.
"Ini masih jam berapa Mas, kamu …."
"Aku sudah bilang telat, ya telat."
Haris menepis tangan Weni yang tadi sempat menahannya. Ia bahkan tak mengecup kening dan memberi salam seperti dulu, saat awal dirinya menikah.
Weni yang kecewa, mengambil kopi yang dibuatnya dan meminumnya. Ia tidak nafsu makan belakangan ini, kopilah yang membuatnya sedikit tenang.
Di tengah pikirannya yang berkelana, ia terkejut. Tiba-tiba ia mengingat akan hal gila yang dilakukannya semalam, dengan segera ia ke kamar Rena dan mengambil ponselnya.
Beruntung Rena masih tertidur, ia pelan-pelan keluar kamar dengan ponselnya. Duduk kembali di kursinya dan menarik napas sebelum menyalakan ponselnya.
Betapa terkejutnya ia saat satu notifikasi yang berasal dari aplikasi itu menunjukkan adanya satu pesan. Weni kembali menarik napas sebelum membuka pesan tersebut.
Matanya tertutup meski pesan tersebut sudah terbuka, ia tak mampu untuk membuka matanya. Jantungnya berdebar tak karuan.
[Aku ingin kita rutin untuk video call, voice note, dan berkirim pesan seperti layaknya orang pacaran. Aku juga akan memperkenal mu pada seseorang.]
"Hanya itu?"
Itulah yang dipikirkan Weni saat membaca pesan tersebut, pasalnya untuk harga seribu dollar bukannya itu hal yang mudah?
Weni berpikir akan ada hal 'dewasa' di dalam permintaannya. Bukannya berharap akan hal itu, tapi itu sedikit aneh baginya.
'Hanya itu?'
Tangan Weni bergerak begitu saja, mengikuti keinginan dalam hatinya. Saat pesan tersebut terkirim, dirinya baru sadar dan terkejut.
[Apa kamu ingin hal lain?]
Weni terkejut saat balasan pria itu muncul tiba-tiba, membuatnya hampir saja berteriak.
'Bukan itu maksudku, aku hanya penasaran.'
Weni segera membalas berharap pria itu mengerti maksudnya, tapi belum sempat Weni berpikir lagi. Sebuah panggilan masuk dari aplikasi tersebut, terpampang di layar.
Weni kembali panik, pasalnya ia tak menyangka pria itu akan melakukan panggilan video saat ini. Terlebih dirinya kini masih berantakan karena sejak pagi sudah sibuk dengan kegiatannya.
Panggilan terhenti, membuat Weni bernapas lega. Tapi ketenangannya hanya sampai di sana, saat pesan kembali masuk.
[Angkat, kalau tidak. Berarti kamu tidak menyetujuinya.]
Deg!
Weni seketika menciut, ia butuh uang tersebut terlebih pekerjaan itu cukup mudah. Ia memutuskan segera berlari mencuci mukanya, memberi sedikit lip balm pada bibirnya.
Perkiraannya tepat, pria tersebut melakukan panggilan video kembali. Weni menenangkan perasaannya dan dengan tarikan napasnya ia menggeser tombol hijau di ponselnya.
Untuk kesekian kali betapa terkejutnya ia, terlebih saat melihat seorang pria tampan dengan sweater hitam berada di layar. Wajahnya sangat tampan dan memiliki aura tersendiri.
Weni merasa malu akan dirinya yang hanya pakai kaos berwarna putih, rambutnya dikuncir, mencerminkan dirinya yang tak terurus.
"Namamu Weni, bukan?"
Suara pria itu kembali mengejutkan Weni, pria itu memiliki suara yang berat dan juga sedikit serak. Sesuai dengan wajahnya yang tegas.
"Kenapa tidak jawab?" tanya pria itu kembali.
"I-Iya, aku Weni." Weni sedikit menunduk, ia merasa tak pantas.
"Angkat wajahmu, kenapa kamu tertunduk terus?" Pria itu mendekatkan wajahnya pada kamera, membuatnya lebih jelas terlihat oleh Weni.
Weni dengan segera membenarkan posisinya, ia juga mengangkat wajahnya. Menatap pria di layar yang entah mengapa membuat jantungnya berdebar.
"Matamu cantik, kenapa kamu menyembunyikannya?"
Napas Weni seakan terhenti, sudah lama rasanya ia tak menerima pujian apapun. Hal itu membuatnya tanpa sadar menatap haru pria itu.
"Kenapa tidak bicara? Aku Hajoon, kamu boleh memanggilku Joon."
"Baiklah," ucap Weni.
"Apa kamu menerima perjanjian itu?" Joon kembali menatap Weni.
"Apa hanya sebatas itu? Tidak ada yang lain bukan?" Weni memberanikan diri mengatakan apa yang dipikirkannya.
"Iya, aku bukan maniak hal seperti itu. Aku hanya ingin merasakan pacaran, aku juga butuh teman untuk bicara segala hal."
Pengakuan Joon terlihat sangat jujur, Weni bisa melihatnya dari cara bicara dan pandangan Joon. Sekarang tinggal Weni yang merasa tak layak akan hal itu.
"Aku sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan. Aku juga seperti ini, tidak cantik, dan tak memiliki apapun."
Kini Weni mengatakan segalanya dengan jujur, pasalnya ia juga tak mau nantinya menjadi masalah dan dia harus mengembalikan dana yang sudah diberikan.
"Aku tahu itu." Joon tersenyum, yang disambut keterkejutan Weni. "Kamu cantik, aku suka matamu."
Lagi dan lagi, pria di balik layar itu membuat perasaan Weni hangat. Rasanya seakan menemukan sesuatu yang telah hilang cukup lama.
"Aku akan minta lima ratus dollar saja." Weni menego, kini Joon-lah yang terkejut. "Aku juga membutuhkanmu untuk bicara dan menghiburku," ucap Weni dengan senyuman yang tulus terkembang di wajahnya.
Joon yang sempat tak mengerti, akhirnya mengerti. "Baiklah, aku akan menghubungimu seperti sekarang. Aku akan mengirimimu pesan terlebih dahulu," ucap Joon.
"Baiklah, terima kasih."
"Buatlah rekening, aku akan mengirimimu uang pertama."
"Apa? Secepat itu?"
"Mau atau tidak?"
"Mau! Baiklah, aku akan membuat rekening dan memberitahukan padamu."
"Baiklah, sampai jumpa."
"Sampai jumpa."
Panggilan terputus, seperti halnya Weni yang seakan ruh nya melayang. Ia seketika lemas dan membaringkan kepalanya di atas meja.
Wajah Joon yang tampan terngiang di matanya, bahkan mengingat suaranya saja membuat hatinya berdebar. Rasanya ia sudah gila hanya karena pria yang bahkan tak dikenalnya.
"Apa aku boleh seperti ini?" gumam Weni seraya menatap foto keluarga kecilnya di dinding.
Rasa bersalah kembali merayapinya, tapi memikirkan kenyataan yang ada membuatnya mau tak mau menerima itu. Bahkan Haris memintanya mencari uang bagaimanapun caranya dan inilah satu-satunya cara.
Jaman sekarang sangat sulit bahkan hanya untuk meminjam uang, semua orang tengah sibuk dengan kebutuhan mereka masing-masing.
"Lagipula dia tahu riwayat ku dan dia bahkan tidak di negara ini. Anggap saja ini konsultasi," gumam Weni mencoba membenarkan dirinya.
***
"Apa? Dia benar-benar membayarku?"
Weni baru pertama kalinya setelah sekian lama, melihat deretan angka di nomor rekening atas nama dirinya. Terlebih hal yang paling membuatnya senang adalah Joon membayarnya penuh tanpa potongan.
"Kenapa kamu membayarnya full?" Weni memegang telepon genggamnya dengan tangan satunya yang menggandeng Rena.
"Anggap aja uang jaminan," kekeh pria di seberang sana yang bukan lain adalah Joon.
"Terima kasih," balas Weni dengan sedikit terharu.
"Makanlah makanan yang enak dan belanjalah sesuatu untuk dirimu sendiri."
Rasa haru Weni kembali melandanya, rasanya ia sangat beruntung bisa bertemu Joon. Segalanya seakan mimpi yang datang di siang bolong.
"Terima kasih." Hanya itu yang bisa kembali diucapkan oleh Weni.
"Selamat bersenang-senang, aku akan menghubungimu lagi. Aku harus bekerja," ucap Joon siap mematikan panggilannya.
"Selamat bekerja, sekali lagi terima kasih. Semangat!" seru Weni yang membuat Rena terkejut.
"Mama kenapa?" ucap Rena.
"Bisa minta Rena bicara 'Semangat'?"
Permintaan Joon sedikit mengejutkan Weni, tapi itu tak lama. Weni segera mengajarkan Rena bicara semangat dalam bahasa Inggris.
Tentu itu membentuk kata yang tak jelas, tapi terdengar tawa kecil Joon di seberang sana yang membuat Weni ikut tersenyum.
"Sampai jumpa."
Joon mengakhiri panggilannya setelah Weni membalas salamnya.
"Rena mau jajan apa? Ayo makan yang enak!" seru Weni dengan senangnya.
Rena bersorak bahagia, Weni ikut tersenyum saat melihat wajah Rena yang benar-benar penuh semangat. Weni mulai merasakan benar-benar hidup, untuk saat ini.
***
"Bagus, kamu melakukannya dengan baik." Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni. Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali. Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong. "Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya. "Hati-hati di jalan."
“Mama ... Mama ....”Weni yang tengah tertidur, terbangun oleh suara kecil dan guncangan tangan kecil Rena di lengannya. Dengan mata yang masih berat, Weni mencoba membuka matanya.“Ah ...,” rintih Weni saat merasakan pipinya yang sedikit perih.Ia dengan berat hati mendudukkan tubuhnya dan menutup pipi yang terasa sakit dengan tangan dinginnya. Weni baru ingat apa yang terjadi semalam.Matanya yang bengkak dan rambut yang berantakan, terpantul dari kaca meja rias di hadapannya. Weni menghela napas berat dan beranjak dari duduknya.“Rena tunggu sini ya, Mama ke kamar mandi dulu.”Weni mencoba tersenyum perlahan karena sudut bibirnya terasa sakit. Namun tangan kecil Rena justru mencegahnya, ia menunjuk ponsel yang berada di atas kasurnya.“Itu, bunyi ....” Rena mencoba menjelaskan bahwa ponse
“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.“Aku
Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.“Benar, ini milik I
Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.“Weni, sapa Ibu Dian.”
“Jaga ucapan kalian!” Ghana berdiri di hadapan kedua orang yang sejak tadi asyik membicarakan Bianca maupun Weni. Hal itu mampu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, tanpa terkecuali sang tuan rumah. “Apa pantas wanita terhormat dan berkelas membicarakan seseorang sampai seperti itu?” ucap Ghana kembali penuh penekanan. Bianca dengan segera menghampiri Ghana, mencoba menahan Ghana yang tengah meluapkan kekesalannya. Bianca sangat tahu bagaimana bila Ghana sampai benar-benar marah. “Maafkan kami, kami hanya ....” “Ghana, mereka tidak bermaksud mengatakan hal itu.” Helen segera memotong pembicaraan salah satu wanita dan mendekati Ghana, mencoba menetralkan keadaan. “Maafkan mereka,” bisik Helen dengan sedikit memohon. “Iya, katanya kamu ingin bermain sama Rena. Ayo,” ajak Bianca segera membawa Ghana mendekat pada Weni yang tengah terdia
Makan telah usai, tapi Weni dan juga Bianca tak juga kunjung membuka pembicaraan. Mereka hanya sibuk makan dan berkutat dengan pikiran mereka sendiri, hingga tanpa sadar mereka sudah menyelesaikan makanan mereka.“Terima kasih banyak, Bia.” Weni merapikan bungkusan makanannya dan menjadikan satu di dalam plastik sampah.“Sama-sama, ini bukan hal yang patut mendapatkan ucapan terima kasih.”Bianca tersenyum dan ikut melakukan hal yang sama seperti Weni, kebisuan kembali terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya kebisuan mereka terisikan oleh tawa Rena dan Ghana yang baru saja datang.“Mama!” seru Rena saat pintu mobil di buka oleh Weni.Rena melepaskan pegangan tangannya dari Ghana dan berlari sekuat mungkin menuju tempat Weni berdiri. Dengan sigap Weni merentangkan tangannya dan menyambut pelukan Rena, Ghana dan Bianca yang melihatnya tersenyum
[Apa harimu menyenangkan?][Kenapa tadi kamu langsung memutus, sambungan video?][Kabari aku, bila kamu sudah selesai.][Jangan lupa untuk makan dan istirahat.]Weni tengah membaca semua pesan yang baru sempat ia baca, setelah kemarin dirinya sangat lelah dan langsung tertidur begitu sampai rumah. Beruntung Haris tidak membuat ulah, ia juga langsung pulang begitu sampai.Jadi Weni punya waktu untuk beristirahat dan baru bangun awal pagi, sebelum matahari terbit. Sekarang pun pekerjaannya sudah selesai, hingga dirinya memiliki waktu untuk sendiri setelah Haris berangkat kerja.Sementara anak semata wayangnya yang biasanya sudah bangun, untuk hari ini tertidur pulas. Hal itu biasa terjadi pada Rena, bila mereka bepergian jauh atau pergi ke acara yang memakan cukup waktu dan tenaga.Jadi Weni membiarkan anaknya untuk tidur cukup lama dan mem